Rabu, 22 Oktober 2014

Guruku Tersenyum Aku Menangis





Ketika aku mulai menuliskan kata-kata ini, air mataku meleleh tanpa bisa aku bendung. Bertemu hanya sesaat tapi beliau mampu membuat aku menangis dengan senyum dan tawanya.

Banyak sekali orang termasuk aku sendiri merasa memiliki persoalan yang banyak dan sulit, sehingga memaksa diri harus bertindak seolah-olah hanya dia sendiri yang punya masalah atau dengan bangga mengatakan masalahku lebih rumit dari pada yang lain. Tapi seorang yang istimewa baru saja merubah jalan fikiranku, kalimat sederhananya membuat aku terdiam dan merenung, beliau berujar “Seberat apapun persoalan jika itu tidak ada hubungannya dengan kematian itu bukan masalah, orang sering berkata ..ah ujian ini sulit pusiiiingg, itu bukan masalah. Jika ujian membuat kamu mati barulah ia menjadi masalah”. Betapa cengengnya aku yang selalu mengeluh menghadapi persoalan sepele, padahal beliau yang sedang bergelut menghadapi kematian masih bisa tertawa tanpa sedikitpun gurat kesedihan di wajahnya.

Kerinduanlah
yang membawaku berkunjung menjenguk beliau, setelah sekian lama tidak pernah berjumpa, baru setelah selesai menjadi sarjana aku dapat bertemu. Beliau guru yang mengajar aku ketika masih sekolah di Madrasah Tsanawiyah. Guru serba bisa yang ketika santri bertemu di luar atau di dalam kelas pasti akan tersenyum bahkan tertawa dengan tingkah lucunya. Beliau seorang pelukis yang luar biasa, beliau Guru bahasa arab yang fasih, beliau Guru Bahasa Inggris yang handal, Beliau juga mahir kitab kuning. Sebutan guru mungkin kurang tepat, kalau boleh beliau lebih pantas disebut Professor atau Guru Besar. Beliau tidak sekedar mengajar murid-muridnya tapi juga mendidik dengan penuh keteladanan.

Aku mencoba mengingat kambali memori lama. Sekitar tahun 2001 beliau melukis di tembok asrama, gambar sederhana sekor kucing yang mencoba menankap ikan namun selalu gagal, dibawahnya ada pesan singkat “selalu ada harapan teruslah berusaha”. Dulu aku hanya melihat itu sebuah gambar yang unik dan lucu, membaca tulisannya tapi belum memahami apa pesan yang disampaikan. Ternyata baru sekarang pesan itu menjadi filosofi hidup yang begitu bermakna, menjadi motivasi yang sangat kuat dalam hidupku mengajarkan bahwa kegagalan tidak boleh menjadi penghalang untuk sukses, selalu ada harapan jika kita tetap mau berusaha.

Akupun ingat, dulu ketika beliau masuk kelas mengajar kami bahasa arab. Wajah beliau tampak sedikit aneh, terbagi dua sebelah kiri mulai setengah wajah terlihat putih sedangkan di bagian wajah sebelah kanan sedikit menghitam. Akhirnya kami baru tau ternyata beliau baru saja selesai melakukan operasi. Beliau bercerita awalnya tidak punya uang, hingga satu ketika beliau mengikuti pameran lukisan dan berniat menjual lukisannya seharga 2 juta rupiah, tapi ternyata lukisan tersebut laku dengan harga 11 juta. Dari hasil penjualan lukisan itulah menjadi biaya beliau untuk operasi dan sel kanker itu disinar menggunakan laser yang menyebabkan wajah beliau terlihat menghitam.

Untuk beberapa lama sepertinya penyakit itu mati, tapi tidak mati ternyata semakin mengganas. . .
***
Sampai dirumah, kami menunggu beliau yang masih didalam. Ketika beliau keluar aku sangat terkejut, karena aku tidak menyangka penyakit itu sudah sedemikian kejam dan ganas menguasai tubuh beliau. Untuk menyembunyikan rasa terkejutku aku mencoba tetap tersenyum dan mencium tangan beliau. Dengan sangat hati-hati beliau bersandar ditembok menggeruskan punggung untuk kemudian bisa duduk, sepertinya keseimbangan tubuhnya mulai berkurang akibat penyakit itu.

Setelah posisi duduknya nyaman dengan bersandar di tembok beliau langsung memulai pembicaraan.
 “Dua hari yang lalu saya baru pulang dari Sanglah Denpasar, saya memutuskan untuk melakukan pengobatan lanjutan apapun resikonya walaupun saya mati sudah siap”. Aku termenung

Beliau lanjut bercerita,
“dari semua cerita teman-teman yang memutuskan untuk melakukan pengobatan lanjutan, semuanya meninggal dan saya pun siap. Tapi ternyata setelah diperiksa chek darah dan sebagainya dokter mengatakan sudah tidak bisa dengan pengobatan medis”.

Ketika kami serius mendengarkan, dengan nada bercanda sambil tersenyum beliau menunjuk kami, “disini. . .ada yang bisa pengobatan non medis?”
sungguh pertanyaan yang membuat aku hampir meneteskan air mata, dalam kondisi yang begitu parah beliau masih saja bisa bercanda.

“Dua hari di Bali saya akhirnya pulang, kalo sekarang cuma sebentar dua hari, dulu 2 tahun”
Saya bertanya tidak percaya, “dua tahun. . .ustadz?”
“iya, dua tahun 2010 sampe 2012”, “makanya pernah ada teman beliau yang sms
lagi dimana miq?” Beliau jawab, “di rumah sakit”.
Setahun kemudian teman beliau itu kirim sms lagi, dengan bahasa yang sama
lagi dimana miq?” Beliau jawab, “di rumah sakit”. Temannya bilang “Yaook, makat de isah lalok lek rumah sakit miq?”(kenapa betah sekali di rumah sakit-pen) _”brembe ntan te ndek isah santer melet te sehaat”(gimana gk betah, saya sangat ingin sembuh). cerita beliau sambil tertawa.

Disela-sela beliau selesai bercerita, aku bertanya
“Ustadz, sudah berapa lukisan ustadz?”
“Sekarang ini baru beberapa” jawab beliau
“dari awal, ustadz?”
“Oh, kalo dari dulu sudah banyak nian”
“dijual semua, ustadz?” tanyaku lagi
“Iya, kalo ada yang berminat ya dijual”, “ini kan satu-satunya keahlian saya untuk penghasilan, disuruh nyangkul gak bisa, cangkulnya lebih besar dari tubuh saya”, katanya sambil tertawa.

Entah mengapa setiap kata-kata dan tawa beliau bukan membuat aku ikut tertawa justru semakin air mataku  menyeruak keluar.

“ini belum ada yang membawa istri ?” tanya beliau kepada kami berempat.
“belum ustadz, belum punya keahlian untuk menghidupi anak orang”, jawabku sedikit canda
Beliau menjawab “Apapun keahlian kita Jika istiqomah menjalankan keahlian itu maka Allah akan mengaturkan jalan kepada rizkinya”. “misalnya tau dirinya jago nulis, eeh. ..malah pergi ke malaysia”, kata beliau “Saya dulu seneng nulis tapi sekarang mata sudah tidak kuat lagi, Kalau tekun melakukan satu hal maka insyaAllah berkah”.

Ketika pamit untuk pulang aku sengaja terakhir untuk bersalaman, sambil mencium tangan beliau tiba-tiba air mataku tumpah tidak bisa ku tahan lagi, kali ini aku biarkan air mataku mengalir membasahi pipi setelah sepanjang kami ngobrol  aku coba tahan. aku berbisik “ustadz tiang minta doa, semoga dapat melanjutkan kuliah dengan beasiswa”. Singkat beliau menjawab “Iyaa. . .Aamiin” lanjut beliau berkata “Kullun Muyassarun lima khulika lahua”. Aku kurang paham tapi sederhanya aku terjemahkan “setiap apa yang diciptakan untukmu akan diberikan kemudahan”. Sebuah motivasi yang sangat bermakna bagiku.

Sebelumnya juga beliau bercerita,
Beberapa waktu yang lalu saya ke Selong dan ketemu seorang pak haji, dia bertanya. . .
“sudah lama sakit?”
 “sudah lama”
“berapa tahun” tanya pak haji itu
“sudah 26 tahun”
Lantas pak haji itu berucap “semoga diberikan ketabahan dan kesabaran oleh Allah”
Saya jawab “alangkah lebih baik jika bapak mendoakan saya untuk sembuh daripada mendoakan saya sabar, karena itu sudah saya jalani selama 26 tahun”.

KARENA PESANMU ITU AKUPUN AKAN SELALU BERDOA UNTUK KESEMBUHANMU BUKAN MENDOAKAN AGAR ENGKAU BERSABAR, KARENA AKU YAKIN PREDIKAT “ASSHOBIRIN” SUDAH ENGKAU RAIH SELAMA 26 TAHUN HIDUP BERSAMA PENYAKIT ITU. SEMOGA ALLAH DENGAN SIFAT RAHMAN RAHIMNYA BERKENAN MEMBERIKAN KESEMBUHAN UNTUKMU GURUKU. :’(

**Beliau juga berpesan SAMPAIKAN SALAM SAYA KEPADA ORANG TUA, SEMUA TEMAN, MURID BELIAU, SAHABAT dan KERABAT. Maka melalui note ini saya sampaikan Salam Beliau untuk kita semua. Keadaan beliau sekarang jauh lebih parah daripada terlihat di foto.