Kamis, 05 April 2012

OPINI

Ulama jadi Umara: why not..?
Oleh: M. Zainul Asror

Islam merupakan agama yang rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam. Salah satu risalah dasar dalam ajaran islam adalah menahan atau mencegah terjadinya kemunkaran (nahy anil munkar) dan melakukan aksi menyeru kepada perubahan yang baik (amr bil ma’ruf) (Abdurrahman:2003). Nilai-nilai luhur dari ajaran islam inilah yang kemudian dihajatkan bias masuk dan meresap di dalam hati masyarakat. Nah, disinilah peran ulama sangat penting untuk berdakwah  memberikan pencerahan dan membuka pikiran umat dengan ilmu agama yang mereka miliki.
Sosok ulama mungkin bagi sebagian masyarakat  adalah orang yang hanya berdakwah dengan tausyiahnya, baik secara langsung melalui halaqah-halaqah dan majlis-majlis ataupun secara tidak langsung melalui media-media massa dan elektronik. Dimana dengan konsep-konsep dan cakrawala pemikirannya berusaha membawa umat menuju kepada kehidupan yang bermoral. Namun dalam kenyataannya metode-metode dakwah seperti itu sekarang ini kurang optimal dan belum bias secara maksimal menyentuh sampai pada lapisan-lapisan masyarakat. Sehingga muncul terobosan-terobosan baru tentang bagaimana metode/cara dakwah yang efektif, salah satunya dakwah dengan cara structural melalui institusi politik dimana para pemimpin umat (ulama’) dipercaya untuk terlibat langsung dalam struktural pemerintahan (umara), guna membangun masyarakat yang adil dan makmur. Cara dakwah inilah yang diungkapkan seorang tokoh politik dan pemikir islam legendaries Indonesia Nurcholis Majid, disebut “berdakwah dengan politik” (Zulkarnain:2008).
Fenomena yang terjadi, muncul permasalahan ketika ulama’ ingin terjun dalam dunia politik (menjadi umara) dan mencoba menerapkan moralitas politik yang berbasis syariat. Tapi justru mereka dicela , dituduh menjual agama, dan meninggalkan ‘kandang’ (maksudnya harusnya mereka hanya bertugas untuk berdakwah dan mengurus pesantren saja). Padahal dalam islam urusan politik dan manajemen pemerintahan harusnya diserahkan pada ulama, karena ulama (ahli ilmu) bukan hanya ahli dalam ilmu agama saja akan tetapi menyangkut banyak aspek kehidupan umatnya termasuk urusan Negara.
Dahulu, para Khulafa’ur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali) selain sebagai seorang pemimpin (umara) mereka juga adalah para ulama di kalangan sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Begitu pula dengan Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah dizaman dinasti Umayyah ini adalah seorang pemimpin yang tegas dan bijaksana dalam memerintah. Tapi sangt tawaddhu, wara, zuhud, dan dalam hal khazanah keilmuan beliau mendapat gelar “gurunya para ulama”.
Namun pada saat sekarang ini, konsep pemikiran masyarakat sudah banyak dipengaruhi oleh paham-paham sekuler. Dan ketika semangat keagamaan mulai melemah otomatis politik yang diterapkan saat ini bukanlah siyasah syar’iyah (politik yang sesuai syariat), melainkan politik kepentingan yang menghalalkan segala cara untuk melanggengkan kekuasaan. Sehingga ketika Ulama akan menjadi Umara itu menjadi suatu hal yang tabu.
Wallahu A’lam.

Referensi:
-Abdurrahman,Muslim.2003.islam sebagai kritik social.Jakarta:Erlangga
-Zulkarnain.2008.Tuan Guru Bajang,  berpolitik dengan dakwah dan berdakwah dengan
politik.Jawa timur:Kyasamedia
-http://beritapks.com/ulama-berpolitik-why-not-or-no-way/