Ulama jadi Umara: why not..?
Oleh: M. Zainul Asror
Islam merupakan agama yang rahmatan lil alamin, rahmat
bagi seluruh alam. Salah satu risalah dasar dalam ajaran islam adalah menahan
atau mencegah terjadinya kemunkaran (nahy anil munkar) dan melakukan aksi
menyeru kepada perubahan yang baik (amr bil ma’ruf) (Abdurrahman:2003).
Nilai-nilai luhur dari ajaran islam inilah yang kemudian dihajatkan bias masuk
dan meresap di dalam hati masyarakat. Nah, disinilah peran ulama sangat penting
untuk berdakwah memberikan pencerahan
dan membuka pikiran umat dengan ilmu agama yang mereka miliki.
Sosok ulama mungkin bagi sebagian masyarakat adalah orang yang hanya berdakwah dengan
tausyiahnya, baik secara langsung melalui halaqah-halaqah dan majlis-majlis ataupun
secara tidak langsung melalui media-media massa dan elektronik. Dimana dengan
konsep-konsep dan cakrawala pemikirannya berusaha membawa umat menuju kepada
kehidupan yang bermoral. Namun dalam kenyataannya metode-metode dakwah seperti
itu sekarang ini kurang optimal dan belum bias secara maksimal menyentuh sampai
pada lapisan-lapisan masyarakat. Sehingga muncul terobosan-terobosan baru
tentang bagaimana metode/cara dakwah yang efektif, salah satunya dakwah dengan
cara structural melalui institusi politik dimana para pemimpin umat (ulama’) dipercaya
untuk terlibat langsung dalam struktural pemerintahan (umara), guna membangun
masyarakat yang adil dan makmur. Cara dakwah inilah yang diungkapkan seorang
tokoh politik dan pemikir islam legendaries Indonesia Nurcholis Majid, disebut
“berdakwah dengan politik” (Zulkarnain:2008).
Fenomena yang terjadi, muncul permasalahan ketika
ulama’ ingin terjun dalam dunia politik (menjadi umara) dan mencoba menerapkan
moralitas politik yang berbasis syariat. Tapi justru mereka dicela , dituduh
menjual agama, dan meninggalkan ‘kandang’ (maksudnya harusnya mereka hanya
bertugas untuk berdakwah dan mengurus pesantren saja). Padahal dalam islam
urusan politik dan manajemen pemerintahan harusnya diserahkan pada ulama,
karena ulama (ahli ilmu) bukan hanya ahli dalam ilmu agama saja akan tetapi
menyangkut banyak aspek kehidupan umatnya termasuk urusan Negara.
Dahulu, para Khulafa’ur Rasyidin (Abu Bakar, Umar,
Utsman, dan Ali) selain sebagai seorang pemimpin (umara) mereka juga adalah
para ulama di kalangan sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Begitu pula dengan Umar bin Abdul
Aziz, seorang khalifah dizaman dinasti Umayyah ini adalah seorang pemimpin yang
tegas dan bijaksana dalam memerintah. Tapi sangt tawaddhu, wara, zuhud, dan
dalam hal khazanah keilmuan beliau mendapat gelar “gurunya para ulama”.
Namun pada saat sekarang ini, konsep pemikiran
masyarakat sudah banyak dipengaruhi oleh paham-paham sekuler. Dan ketika
semangat keagamaan mulai melemah otomatis politik yang diterapkan saat ini bukanlah
siyasah syar’iyah (politik yang sesuai syariat), melainkan politik kepentingan
yang menghalalkan segala cara untuk melanggengkan kekuasaan. Sehingga ketika
Ulama akan menjadi Umara itu menjadi suatu hal yang tabu.
Wallahu A’lam.
Referensi:
-Abdurrahman,Muslim.2003.islam sebagai kritik social.Jakarta:Erlangga
-Zulkarnain.2008.Tuan Guru Bajang, berpolitik dengan dakwah dan berdakwah dengan
politik.Jawa timur:Kyasamedia
-http://beritapks.com/ulama-berpolitik-why-not-or-no-way/