"The Old Man said, Everyday has its miracle. I am not the Old Woman, but I believe it too: EVERYDAY HAS ITS MIRACLE"
Kisah
ini hadir setelah seorang guru di SD terpencil berlari-lari riang
selama 45 menit sembari membawa parang bersama tiga muridnya yang
menggenggam bambu runcing untuk menghalau babi -jika sewaktu-waktu
ketemu- menuju "Bukit Harapan". Demikian bukit itu diberi nama baru-baru
ini karena di bukit itu telah ditemukan sinyal GPRS. Diketik dengan
penuh kesabaran di atas keyboard ponsel, inilah kisah yang ingin diceritakan oleh guru SD terpencil itu.
Tentang Rizki
Teman-temannya,
murid kelas 3, bercerita tentang ia kepada saya. Anak itu bernama
Rizki. Rizki Ramlan. Sembilan tahun. Sejak empat bulan belakangan, ia
tak pernah berangkat ke sekolah. Tanpa alasan. Namun, desas-desus
menyebutkan, bahwa ia malas bangun pagi. Dengan kehadirannya yang tak
lebih dari 20 kali dalam satu semester, teman-temannya mengenalnya
sebagai anak pandai. Rizki tinggal di Tamaluppu.
Tentang Tamaluppu
Ialah sebuah tempat yang lebih terpencil dari Passau —tempat terpencil di mana saya tinggal saat ini.
Ini adalah statistik tentang Tamaluppu (T) vs. Passau (P).
*Jumlah rumah: 13 (T) vs. 60 (P).
*Listrik: sama sekali tidak ada (T) vs. genset desa dari pukul 19.00–22.00 (P).
*Sinyal GSM: sama sekali tidak ada (T) vs. maksimal untuk SMS di spot tertentu (P).
*Jarak dari jalan poros Majene–Mamuju: 6–7 km/1,5–2 jam perjalanan (T) vs. 3 km/45 menit perjalanan (P).
*Dapat dicapai menggunakan: hanya dengan jalan kaki dari Passau (T) vs. motor, jika tidak turun hujan (P.)
Tentang Ide Mengajar di Tamaluppu
Pada
hari ketika saya mengemukakan ide bahwa saya ingin seminggu dua kali
memberi pelajaran tambahan bagi anak-anak di Tamaluppu. Banyak orang
menganjurkan untuk tidak usah karena itu jauh, susah, dan repot.
Anak-anak Tamaluppu juga lebih pemalu dari anak-anak superpemalu di
Passau. Buat apa? Kenapa tidak menyuruh mereka saja yang ke sini untuk
mendapatkan pelajaran tambahan?
Saya bergeming. Hanya tersenyum dan dengan halus menjawab keberatan orang-orang, "Saya akan tetap ke sana meski sendirian."
Tentang Tamaluppu yang Saya Kenal
Sudah
tiga minggu ritual ini berjalan: pukul 15.00, setiap Selasa dan Jumat,
pergi ke Tamaluppu mengajar anak-anak di sana. Kami belajar di mana
saja: di rumah Ali (murid kelas 6), di halaman langgar, dan di bawah
pohon kelapa (yang sedang tidak berbuah). Saya mengenang Tamaluppu dalam
beberapa potongan memori:
· ialah
suatu tempat di mana 8 dari 63 murid saya tinggal. Yang jika hari
hujan, dipastikan anak-anak itu tidak akan berangkat sekolah;
· jika hari hujan, jalan setapak yang sedianya mereka lewati berubah menjadi sungai dan air terjun;
· anak-anak
itu berangkat ke sekolah dengan membawa bambu runcing sebab di
perjalanan dari Tamaluppu menuju Passau, sering kali mereka musti
berhadapan dengan babi hutan.
Antara Saya dan Rizki Ramlan
Saya
tidak pernah mengenal anak itu. Menyentuhnya. Berbicara dengannya. Saya
tidak mampu. Ia begitu tak tersentuh. Begitu jauh. Setiap kali saya
berusaha mendekatinya sehabis saya mengajar anak-anak Tamaluppu yang
lain, ia selalu lari. Menjauh. Mengintai saya dari tempat yang
menurutnya paling aman sedunia: persembunyiannya. Saya mengalah. Saya
memilih tidak memaksa.
Hingga pada suatu sore yang
berhujan deras, yang tak henti-henti sampai petang dan malam tiba, saya
memutuskan untuk menerima kebaikan orangtua Ali yang menawarkan saya
bermalam di rumah mereka.
Singkatnya malam itu, Rizki
yang malu-malu itu, pada suatu kesempatan saat saya habis salat Isya,
dari balik pintu ia melemparkan selembar kertas yang bulat karena
diremas, dua lembar, tiga lembar, sampai enam lembar. Lalu, ia lari.
Ia berlari dan menjauh. Tak tersentuh untuk kali kesekian.
Saya membuka kertas-kertas itu. Isinya, membuat saya mematung.
Coretan soal-soal Matematika yang tiga minggu ini kuajarkan pada anak-anak Tamaluppu kelas 4 dan kelas 6.
Di
kertas yang lain, coretan soal yang ia buat sendiri, dan ia jawab
sendiri. Dan 80% jawabannya adalah benar. Padahal, itu materi kelas 4
dan 6. Rizki, kelas 3, sudah empat bulan tidak masuk sekolah.
Aku tertegun. Mematung.
Dalam nyala obor, aku menulis di sesobek kertas: "Pintar sekali kamu! Sekolah di mana?". Kuremas kertas itu.
Lalu,
keluar rumah, mencari sosoknya di kegelapan dan menemukannya sedang
mengintaiku dari bawah tangga. Kulempar kertas itu di tempat yang
terlihat, tetapi agak jauh darinya, lalu pergi seolah-olah yang barusan
kulempar adalah sampah.
Tak lama, dari jendela yang sengaja kubuka, masuklah segumpal kertas:
“Tidak sekolah. Tidak ada yang diajarnya. Tidak ada gurunya.”
Aku
tersenyum. Benar dugaanku bahwa ia akan membalas suratku. Tanpa sempat
menutup jendela, aku tertidur. Tak tahu bahwa seorang anak meringkuk di
bawah jendela, menanti ada balasan atas segumpal kertas yang
dilemparnya. Hanya karena ia berpikir bahwa jendela itu masih terbuka.
Ketika pagi, baru aku sadar. Jendela terbuka, aku melongok, menemukan
tubuh kecil meringkuk di atas bangku dari bambu. Tertidur. Tangannya
menggenggam kertas dan pulpen.
Tentang suatu Hari Bernama Selasa, 14 Desember 2010, Sekitar Pukul 15.30 WITA
Hari
hampir hujan. Tiga puluh menit perjalanan dari Passau sudah saya
tempuh. Lima belas menit lagi saya tiba di Tamaluppu. Antara ya dan
tidak, sembari menatap langit berawan pekat, saya memutuskan melanjutkan
perjalanan. Tak sampai lima menit, hujan turun. Langsung sangat deras.
Saya berteduh di bawah pohon jambu mete, bersama kakak angkat saya yang
juga guru sukarela, Kak Yani. Semenit, dua menit.
Di
kejauhan, di bawah butiran air yang menyamarkan pandangan mata,
samar-samar kulihat sesosok bocah. Bertelanjang dada, bercelana yang
warnanya seperti cokelat. Parang di tangan kirinya, daun pisang di
tangan kanannya. Ia mendekat. Semakin dekat dan ia menuju kami. Menuju
saya. Mengulurkan daun pisang di tangan kanannya, satu untuk saya, satu
untuk Kak Yani.
Aku dan Kak Yani saling bertatapan.
Aku bertanya yang segera diterjemahkan oleh Kak Yani yang intinya, "Ngapain kamu di sini? Dari kebun?"
Ia tak menjawab.
Dadanya
naik turun. Naik, turun. Naik, turun. Naik turun dengan cepat. Air
hujan, mungkin, telah mengaburkan —jika benar—air matanya.
Ia menangis.
Ya, ia menangis.
Lalu, dengan bahasa Mandar yang kacau, saya bertanya, "Mangappai i'o sumangiq, Rizki? [Mengapa kamu menangis, Rizki?]"
Aku
mengulurkan tangan. Meraih tubuh basah kuyupnya. Untuk kali pertama, ia
diam. Tak berlari. Tak menjauh. Rizki, akhirnya, aku dapat menyentuh
tubuh kecilnya.
Lalu, tiba-tiba saja ia menyambutku. Memeluk pinggangku. Melingkarkan tangannya yang masih memegang parang di pinggangku.
"Puang, yakkuq meloq massikola."
Dalam
hujan, ia menenggelamkan kepalanya di perutku, mengalahkan derasnya
suara hujan dengan suaranya, "Puang, saya mau sekolah."
Ia memelukku. Erat.
Aku mematung. Haru. Sakit. Sesak. Bahagia. Sesak oleh perasaan bahagia.
Teringat
olehku tentang pagi itu, ketika bocah itu masih meringkuk tertidur di
bangku bambu bersama segenggam kertas dan pulpen, saat kuletakkan
segenggam kertas di dekat kepalanya, "Pergilah ke sekolah. Aku guru di
sana. Akan kuajari kau rahasia-rahasia yang ingin kau tahu. Semua
rahasia. Pergilah ke sekolah."
Pagi Ini, 15 Desember 2010
Kebahagiaan
adalah ketika dari jendela rumah saya melihat anak-anak Tamaluppu tiba
di sekolah. Ada Rizki di sana, dengan seragam kusut robek-robeknya. Saat
saya masuk halaman sekolah, ia tengah memegang raket badminton.
Saat kutatap, ia melengos. Pura-pura tak melihat. Ia masih malu-malu.
Saat kudekati, ia kembali berlari.
Ia kembali menjauh.
Ia kembali tak tersentuh.
Namun,
saya tahu, hari-hari esok, ia akan melemparkan bola-bola kertasnya
kepada saya. Lagi. Seperti tadi siang ketika tiba-tiba ia melemparku
segenggam kertas, "Kapan Tamaluppu akan mengalami musim salju seperti di
Amerika?"
***
Ya, sekarang saya tahu, “when we do the best that we can, we never know what miracle is wrought in our life, or in the life of another.”