Senin, 14 Mei 2012

indonesia mengajar: kisah pengajar muda di pelosok negeri

"The Old Man said, Everyday has its miracle. I am not the Old Woman, but I believe it too: EVERYDAY HAS ITS MIRACLE"
Kisah ini hadir setelah seorang guru di SD terpencil berlari-lari riang selama 45 menit sembari membawa parang bersama tiga muridnya yang menggenggam bambu runcing untuk menghalau babi -jika sewaktu-waktu ketemu- menuju "Bukit Harapan". Demikian bukit itu diberi nama baru-baru ini karena di bukit itu telah ditemukan sinyal GPRS. Diketik dengan penuh kesabaran di atas keyboard ponsel, inilah kisah yang ingin diceritakan oleh guru SD terpencil itu.
Tentang Rizki
Teman-temannya,
murid kelas 3, bercerita tentang ia kepada saya. Anak itu bernama Rizki. Rizki Ramlan. Sembilan tahun. Sejak empat bulan belakangan, ia tak pernah berangkat ke sekolah. Tanpa alasan. Namun, desas-desus menyebutkan, bahwa ia malas bangun pagi. Dengan kehadirannya yang tak lebih dari 20 kali dalam satu semester, teman-temannya mengenalnya sebagai anak pandai. Rizki tinggal di Tamaluppu.
Tentang Tamaluppu
Ialah sebuah tempat yang lebih terpencil dari Passau —tempat terpencil di mana saya tinggal saat ini.
Ini adalah statistik tentang Tamaluppu (T) vs. Passau (P).
*Jumlah rumah: 13 (T) vs. 60 (P).
*Listrik: sama sekali tidak ada (T) vs. genset desa dari pukul 19.00–22.00 (P).
*Sinyal GSM: sama sekali tidak ada (T) vs. maksimal untuk SMS di spot tertentu (P).
*Jarak dari jalan poros Majene–Mamuju: 6–7 km/1,5–2 jam perjalanan (T) vs. 3 km/45 menit perjalanan (P).
*Dapat dicapai menggunakan: hanya dengan jalan kaki dari Passau (T) vs. motor, jika tidak turun hujan (P.)
Tentang Ide Mengajar di Tamaluppu
Pada hari ketika saya mengemukakan ide bahwa saya ingin seminggu dua kali memberi pelajaran tambahan bagi anak-anak di Tamaluppu. Banyak orang menganjurkan untuk tidak usah karena itu jauh, susah, dan repot. Anak-anak Tamaluppu juga lebih pemalu dari anak-anak superpemalu di Passau. Buat apa? Kenapa tidak menyuruh mereka saja yang ke sini untuk mendapatkan pelajaran tambahan?
Saya bergeming. Hanya tersenyum dan dengan halus menjawab keberatan orang-orang, "Saya akan tetap ke sana meski sendirian."
Tentang Tamaluppu yang Saya Kenal
Sudah tiga minggu ritual ini berjalan: pukul 15.00, setiap Selasa dan Jumat, pergi ke Tamaluppu mengajar anak-anak di sana. Kami belajar di mana saja: di rumah Ali (murid kelas 6), di halaman langgar, dan di bawah pohon kelapa (yang sedang tidak berbuah). Saya mengenang Tamaluppu dalam beberapa potongan memori:
·         ialah suatu tempat di mana 8 dari 63 murid saya tinggal. Yang jika hari hujan, dipastikan anak-anak itu tidak akan berangkat sekolah;
·         jika hari hujan, jalan setapak yang sedianya mereka lewati berubah menjadi sungai dan air terjun;
·         anak-anak itu berangkat ke sekolah dengan membawa bambu runcing sebab di perjalanan dari Tamaluppu menuju Passau, sering kali mereka musti berhadapan dengan babi hutan.
Antara Saya dan Rizki Ramlan
Saya tidak pernah mengenal anak itu. Menyentuhnya. Berbicara dengannya. Saya tidak mampu. Ia begitu tak tersentuh. Begitu jauh. Setiap kali saya berusaha mendekatinya sehabis saya mengajar anak-anak Tamaluppu yang lain, ia selalu lari. Menjauh. Mengintai saya dari tempat yang menurutnya paling aman sedunia: persembunyiannya. Saya mengalah. Saya memilih tidak memaksa.
Hingga pada suatu sore yang berhujan deras, yang tak henti-henti sampai petang dan malam tiba, saya memutuskan untuk menerima kebaikan orangtua Ali yang menawarkan saya bermalam di rumah mereka.
Singkatnya malam itu, Rizki yang malu-malu itu, pada suatu kesempatan saat saya habis salat Isya, dari balik pintu ia melemparkan selembar kertas yang bulat karena diremas, dua lembar, tiga lembar, sampai enam lembar. Lalu, ia lari.
Ia berlari dan menjauh. Tak tersentuh untuk kali kesekian.
Saya membuka kertas-kertas itu. Isinya, membuat saya mematung.
Coretan soal-soal Matematika yang tiga minggu ini kuajarkan pada anak-anak Tamaluppu kelas 4 dan kelas 6.
Di kertas yang lain, coretan soal yang ia buat sendiri, dan ia jawab sendiri. Dan 80% jawabannya adalah benar. Padahal, itu materi kelas 4 dan 6. Rizki, kelas 3, sudah empat bulan tidak masuk sekolah.
Aku tertegun. Mematung.
Dalam nyala obor, aku menulis di sesobek kertas: "Pintar sekali kamu! Sekolah di mana?". Kuremas kertas itu.
Lalu, keluar rumah, mencari sosoknya di kegelapan dan menemukannya sedang mengintaiku dari bawah tangga. Kulempar kertas itu di tempat yang terlihat, tetapi agak jauh darinya, lalu pergi seolah-olah yang barusan kulempar adalah sampah.
Tak lama, dari jendela yang sengaja kubuka, masuklah segumpal kertas:
“Tidak sekolah. Tidak ada yang diajarnya. Tidak ada gurunya.”
Aku tersenyum. Benar dugaanku bahwa ia akan membalas suratku. Tanpa sempat menutup jendela, aku tertidur. Tak tahu bahwa seorang anak meringkuk di bawah jendela, menanti ada balasan atas segumpal kertas yang dilemparnya. Hanya karena ia berpikir bahwa jendela itu masih terbuka. Ketika pagi, baru aku sadar. Jendela terbuka, aku melongok, menemukan tubuh kecil meringkuk di atas bangku dari bambu. Tertidur. Tangannya menggenggam kertas dan pulpen.
Tentang suatu Hari Bernama Selasa, 14 Desember 2010, Sekitar Pukul 15.30 WITA
Hari hampir hujan. Tiga puluh menit perjalanan dari Passau sudah saya tempuh. Lima belas menit lagi saya tiba di Tamaluppu. Antara ya dan tidak, sembari menatap langit berawan pekat, saya memutuskan melanjutkan perjalanan. Tak sampai lima menit, hujan turun. Langsung sangat deras. Saya berteduh di bawah pohon jambu mete, bersama kakak angkat saya yang juga guru sukarela, Kak Yani. Semenit, dua menit.
Di kejauhan, di bawah butiran air yang menyamarkan pandangan mata, samar-samar kulihat sesosok bocah. Bertelanjang dada, bercelana yang warnanya seperti cokelat. Parang di tangan kirinya, daun pisang di tangan kanannya. Ia mendekat. Semakin dekat dan ia menuju kami. Menuju saya. Mengulurkan daun pisang di tangan kanannya, satu untuk saya, satu untuk Kak Yani.
Aku dan Kak Yani saling bertatapan.
Aku bertanya yang segera diterjemahkan oleh Kak Yani yang intinya, "Ngapain kamu di sini? Dari kebun?"
Ia tak menjawab.
Dadanya naik turun. Naik, turun. Naik, turun. Naik turun dengan cepat. Air hujan, mungkin, telah mengaburkan —jika benar—air matanya.
Ia menangis.
Ya, ia menangis.
Lalu, dengan bahasa Mandar yang kacau, saya bertanya, "Mangappai i'o sumangiq, Rizki? [Mengapa kamu menangis, Rizki?]"
Aku mengulurkan tangan. Meraih tubuh basah kuyupnya. Untuk kali pertama, ia diam. Tak berlari. Tak menjauh. Rizki, akhirnya, aku dapat menyentuh tubuh kecilnya.
Lalu, tiba-tiba saja ia menyambutku. Memeluk pinggangku. Melingkarkan tangannya yang masih memegang parang di pinggangku.
"Puang, yakkuq meloq massikola."
Dalam hujan, ia menenggelamkan kepalanya di perutku, mengalahkan derasnya suara hujan dengan suaranya, "Puang, saya mau sekolah."
Ia memelukku. Erat.
Aku mematung. Haru. Sakit. Sesak. Bahagia. Sesak oleh perasaan bahagia.
Teringat olehku tentang pagi itu, ketika bocah itu masih meringkuk tertidur di bangku bambu bersama segenggam kertas dan pulpen, saat kuletakkan segenggam kertas di dekat kepalanya, "Pergilah ke sekolah. Aku guru di sana. Akan kuajari kau rahasia-rahasia yang ingin kau tahu. Semua rahasia. Pergilah ke sekolah."
Pagi Ini, 15 Desember 2010
Kebahagiaan adalah ketika dari jendela rumah saya melihat anak-anak Tamaluppu tiba di sekolah. Ada Rizki di sana, dengan seragam kusut robek-robeknya. Saat saya masuk halaman sekolah, ia tengah memegang raket badminton.
Saat kutatap, ia melengos. Pura-pura tak melihat. Ia masih malu-malu.
Saat kudekati, ia kembali berlari.
Ia kembali menjauh.
Ia kembali tak tersentuh.
Namun, saya tahu, hari-hari esok, ia akan melemparkan bola-bola kertasnya kepada saya. Lagi. Seperti tadi siang ketika tiba-tiba ia melemparku segenggam kertas, "Kapan Tamaluppu akan mengalami musim salju seperti di Amerika?"
***
Ya, sekarang saya tahu, “when we do the best that we can, we never know what miracle is wrought in our life, or in the life of another.”