المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأص
Menggagas “Sosiologi Profetik”:
Sebuah Tinjauan Awal
Sunaryo Tianotak
Abstract
Prophetic sociology is academic study in
sociology that tries to explore prophetic idea into observation or
social research. By exploring history of prophets critically, scientific
idea of prophecy included in sociological studies. Basic principle of
the study is its character that is not-value-free and based on
interdisciplinary sociology, as well as having multi-paradigms.
Reflecting on realities those are showed by prophets, sociologist should
involved in “historical activism” to create valuable social change.
Three main principles of this project are: liberation, emancipation, and
transcendence. The principles are being integral part of prophet
process in reflecting social realities they faced. Henceforth,
disenchantment of meaningful life to be explored critically through
prophetic sociology
Keywords: prophetic
sociology, value-free, multi-disciplines, liberation, emancipation,
transcendence, activism, history, consciousness, paradigm
“Kenekadan”, adalah sebuah ungkapan yang
akan terlontar dari beberapa orang ketika mendengar istilah “Sosiologi”
disandingkan dengan kata “Profetik”. Adalah sebuah “omong kosong”
manakala sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu sosial yang ilmiah,
obyektif, dan rasional diletakkan “bermesraan” dengan sebuah term yang
memang masih bersifat teologis-keagamaan –begitulah tanggapan dari
beberapa orang bila mendengar istilah “baru” ini. Sebenarnya, tulisan
ini merupakan sambungan dari wacana yang sedang berkembang dalam sebuah
milis (www.groups.yahoo.com/group/sosiologi_profetik),
yang telah beberapa bulan ini penulis gagas. Tapi, pencetus awal ide
seperti ini adalah Pak Kuntowijoyo, sejarawah dan budayawan dari Yogya,
lewat gagasan “Ilmu Sosial Profetik” (ISP) yang pernah mencuat dan
dilontarkannya pada tahun 1997-an.
Berangkat dari gagasan awal Pak Kunto
itulah penulis mencoba menariknya secara lebih spesifik pada bidang
sosiologi. Pak Kunto sendiri baru melontarkan gagasan ISP-nya melalui
sebuah artikel beruntun dalam Harian Republika pada tanggal 7-9
Agustus 1997, dengan judul “Menuju Ilmu Sosial Profetik”. Tapi, embrio
dari wacana ISP yang digagas Pak Kunto ini sebenarnya pernah mencuat
lama sekali dalam buku magnum opus-nya, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi
(1991). Yang menarik dalam gagasan Pak Kunto adalah beliau memandang
bahwa sesungguhnya substansi ajaran universal agama (profetika –sebagai adjective
dari agama) bisa menjadi ilmiah dan dipakai sebagai pisau analisa dan
paradigma keilmuan apabila memulainya melalui proses “obyektivikasi”
berserta ilmu-ilmu modern lainnya. Dalam profetika terjadi –katakalah–
“melampaui teologi” (beyond theological) dan bernuansa
transformatif dalam ranah keilmuan yang obyektif, tidak lagi bernuansa
normatif, melulu persoalan teologis. Penamaan dengan “ilmu sosial” akan
lebih efektif dibandingkan dengan “teologi sosial”. Makanya, Pak Kunto
tidak sepakat dengan penamaan “Teologi Islam Transformatif”. Ia berbeda
pendapat dengan Dawam Rahardjo dan Moeslim Abdurrahman.
Apa sih yang digagas Pak Kunto
melalui ISP-nya? Beliau memandang bahwa paradigma yang dipakai dalam
ilmu-ilmu sosial selama ini tidak efektif karena tidak ada muatan
transformatif keilmuannya. Sebuah ilmu (sosial) hanya bersikap diam dan
observatif ketika diperhadapkan dengan realitas obyek penelitiannya.
Prinsip-prinsip yang dibangun dalam paradigma Ilmu Sosial Profetik
berangkat dari penterjemahan secara ilmiah terhadap bunyi sebuah teks
ayat Al-Qur’an, yang berbunyi: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah” (Ali Imron, 3 : 110). Ada beberapa
term filosofis yang terkandung pada ayat ini, yaitu “masyarakat utama” (khairu ummah), “kesadaran sejarah” (ukhrijat linnas), “liberasi” (amr ma’ruf), “emansipasi” (nahy munkar), dan “transendensi” (al-iman billah).
Adalah “keberanian” Pak Kunto yang telah mampu menterjemahkan proposisi
pada makna teks ayat disesuaikan dengan konteks keilmiahan.
Konsep-konsep ISP Pak Kunto ini akan kita
bahas secara mendalam pada gagasan mengenai sosiologi profetik
lanjutan. Perlu dicatat, tujuan ISP adalah ingin membangun sebuah
komunitas atau masyarakat yang ideal atau utama (khairu ummah) –mirip dengan “Negara Utama”-nya Al-Farabi (al-Madinah al-Fadhilah).
Untuk mencapai tujuan itu diperlukan kerja aktif tangan-tangan manusia,
atau istilahnya perlu “kesadaran aktif sejarah” umat manusia. Manusia
telah diberikan kekuatan dan kemauan untuk melangkah ke arah yang lebih
baik dengan kesadaran individual dan kolektifnya dalam membentuk sebuah
komunitas ideal. Manusia diturunkan ke muka bumi (ukhrijat linnas) adalah demi keterlibatan aktif mereka untuk melakukan perubahan sosial dan membentuk peradaban yang menjadi miliknya.
Berangkat dari pemikiran siapakah
pemikiran Pak Kunto dalam ISP ini? Beliau mengklaim bahwa asal-usul
pikiran tentang Ilmu Sosial Profetik dapat ditemukan dalam
tulisan-tulisan Muhammad Iqbal dan Roger Geraudy. Yang ingin diambil
oleh beliau dari kedua pemikir itu adalah sisi “realitas kenabian” (prophetic reality)
yang telah menjadi bagian penting dalam proses kesejarahan umat
manusia. Muhammad Iqbal, dengan mengutip ucapan Abdul Quddus, seorang
sufi besar Islam dari Ganggoh, mengatakan bahwa Nabi Muhammad telah
memberikan “kesadaran kreatif” (creative consciousness) dalam
menciptakan suatu dunia ide baru (Islam) dalam menghadapi
kekuatan-kekuatan sejarah. Berbeda dengan kalangan sufi umumnya yang
lebih mengandung dimensi mistis, sedang kemunculan Nabi di muka bumi
telah memasukkan unsur-unsur kenabian yang menancap dalam akar kehidupan
duniawi. Artinya, realitas “perjuangan” Nabi lebih membumi dan masuk
pada kancah zaman dan pergolakan sejarah manusia. Roger Geraudy
menyatakan bawah di tengah hancurnya peradaban umat manusia di mana
filsafat Barat memiliki banyak kelemahan maka kita sebaiknya
menghidupkan kembali warisan Islam yang telah ada. Yang diambil adalah
“filsafat kenabian” (filsafat profetika) dari Islam. Kenapa? Karena,
yang menjadi pertanyaan sentral dalam filsafat Islam adalah: bagaimana
wahyu (kenabian) itu mungkin? Yaitu, bagaimana keterlibatan aktif
sejarah kenabian dalam proses penyampaian wahyu itu telah mampu mengubah
sejarah masyarakat menjadi positif. Geraudy mengklaim bahwa bangunan
filsafat itu telah dilakukan oleh para filosof Muslim sejak dari
Al-Farabi sampai dengan Mulla Shadra, dengan puncaknya pada Ibn ‘Arabi.
Gagasan ISP Kuntowijoyo tersebut terlihat
berangkat dari “ide”, yaitu bagaimana ada sisi memungkinkan bagi
pemikiran tentang kenabian itu bisa digunakan dalam melihat realitas.
Tentu saja, hal ini meniadakan prinsip ilmu sosial yang bebas nilai.
Ilmu sosial, dengan paradigma profetis, harus melakukan pembebasan
seperti apa yang pernah dilakukan oleh para Nabi. Jika kita perhatikan,
sejarah Nabi-nabi itu memiliki kadar kedalamaan ilmiah yang tinggi,
yaitu bagaimana cara kerja pikir dan sikap mereka dalam memahami
realitas. Para Nabi melakukan “pembebasan sosial” (liberating)
di mana ketidakadilan dan penindasan begitu menghantui kehidupan
masyarakat. Mereka tetap berangkat dari substansi ajaran agama
(transedensi) yang itu harus “diaktivasi” dalam realitas kesejarahan
manusia. Ada tiga unsur yang menjadi bagian dari kerangka kerja ilmiah
dalam memahami realitas, yaitu liberasi, emansipasi, dan transendensi.
Ketiga unsur itu harus digerakkan dalam aktivisme sejarah. Tapi, gagasan
mengenai sosiologi profetik yang akan dikaji dalam tulisan ini baru
beranjak dari upaya mengembangkan ilmu sosiologi yang multi-disiplin,
tidak menafikan adanya kepentingan “nilai” (prophetic as a value),
dan berkewajiban untuk melakukan pembebasan dan perubahan sosial.
Gagasan sosiologi profetik tidak cukup hanya dengan kontribusi tulisan
ini saja, perlu perluasan wacana di masa mendatang.
Paradigma-paradigma Sosiologi
Secara sederhana paradigma kita artikan
sebagai kacamata atau sudut pandang dalam melihat obyek sesuatu yang
diamati. Istilah “paradigma” (paradigm) pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya berjudul The Structure of Scientific Revolution
(Chicago: University of Chicago Press, 1970). Menurutnya, paradigma
adalah satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar
keyakinan atau pijakan suatu teori. Dalam buku itu Kuhn mejelaskan
tentang perubahan paradigma dalam ilmu, dan menurutnya disiplin ilmu
lahir sebagai proses revolusi paradigma. Bisa jadi, suatu pandangan
teori ditumbangkan oleh pandangan teori yang baru yang mengikutinya.
Dalam bidang sosiologi, pandangan ini dikembangkan secara sistematis dan integrated oleh George Ritzer dalam bukunya Sociology: A Multiple Paradigm Science
(Boston: Allyn and Bacon, Inc, 1980). Hanya saja, dalam penjelasan di
bawah ini penulis tidak memakai buku asli versi Bahasa Inggrisnya, tapi
cukup menggunakan buku hasil saduran Alimandan dalam versi terjemahan
yang berjudul Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.
Dalam buku itu, Ritzer memetakan tiga paradigma besar dalam disiplin
sosiologi. Tapi, dari ketiga paradigma itu Ritzer menjelaskan, seperti
dikutip Mansour Fakih, bahwa kemenangan satu paradigma atas paradigma
lain lebih disebabkan karena para pendukung dari paradigma yang menang
itu lebih mengandalkan kekuatan dan penguasaan dari atas pengikut
paradigma yang dikalahkan, bukan karena persoalan benar atau salah dalam
struktur dan makna teori itu. Sehingga, pada ketiga paradigma itu
terdapat kekurangan dan kelemahannya masing-masing.
Paradigma pertama adalah Fakta Sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh Emile Durkheim, seorang sosiolog “integrasi sosial” asal Perancis, melalui dua karyanya, The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide
(1897). Durkheim mempertegas bahwa pendekatan sosiologinya
berseberangan dengan Herbert Spencer, yang menekankan pada
“individualisme”. Spencer lebih tertarik pada perkembangan evolusi
jangka panjang dari masyarakat-masyarakat modern, dan baginya, kunci
untuk memahami gejala sosial atau gejala alamiah lainnya adalah hukum
evolusi yang universal. Ada kemiripan pandangan Spencer dengan August
Comte, “Bapak Sosiologi” dan pencetus “positivisme” dalam ilmu-ilmu
sosial. Keduanya sama-sama ingin menerapkan teori evolusionisme pada
alam dan biologi ke dalam wilayah kajian ilmu-ilmu sosial. Spencer lebih
memperhatikan terhadap perubahan struktur sosial dalam masyarakat, dan
tidak pada perkembangan intelektual.
Menurut paradigma ini, “Fakta sosial”
menjadi pusat perhatian penyelidikan dalam sosiologi. Durkheim
menyatakan bahwa fakta sosial itu dianggap sebagai barang sesuatu (thing)
yang berbeda dengan ide. Ia berangkat dari realitas (segala sesuatu)
yang menjadi obyek penelitian dan penyelidikan dalam studi sosiologi.
Titik berangkat dan sifat analisisnya tidak menggunakan pemikiran
spekulatif (yang menjadi khas filsafat), tapi untuk memahami realitas
maka diperlukan penyusunan data riil di luar pemikiran manusia. Dan
penelitian yang dihasilkannya pun bersifat deskripstif dan hanya berupa
pemaparan atas data dan realitas yang terjadi. Fakta sosial terdiri atas
dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social instistution).
Menurut Ritzer, teori-teori yang
mendukung paradigma fakta sosial ini adalah : Teori Fungsionalisme
Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro.
Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton, yang
menjadikan obyek analisa sosiologisnya adalah peranan sosial, pola-pola
institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial,
dan sebagainya. Penganut teori ini cenderung melihat pada sumbangan satu
sistem atau peristiwa terhadap sistem lain, dan secara ekstrim
beranggapan bahwa semua peristiwa atau struktur adalah fungsional bagi
suatu masyarakat. Sedangkan Teori Konflik, yang tokoh utamanya adalah
Ralp Dahrendorf, sebagai kebalikan dari teori pertama, menitikberatkan
pada konsep tentang kekuasaan dan wewenang yang tidak merata pada sistem
sosial sehingga bisa menimbulkan konflik. Dan tugas utama dalam
menganalisa konflik adalah dengan mengidentifikasi berbagai peranan
kekuasaan dalam masyarakat.
Paradigma kedua adalah Definisi Sosial, yang dikembangkan oleh Max Weber untuk menganalisa tindakan sosial (social action).
Bagi Weber, pokok persoalan sosiologi adalah bagaimana memahami
tindakan sosial antar hubungan sosial, dimana “tindakan yang penuh arti”
itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal. Untuk mempelajari
tindakan sosial, Weber menganjurkan metode analitiknya melalui
penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau menurut terminologinya disebut dengan verstehen.
Paradigma ini dimasuki oleh tiga teori, yaitu Teori Aksi (dari Weber
sendiri), Teori Fenomenologis yang dikembangkan oleh Alfred Schutz, dan
Teori Interaksionalisme Simbolis yang tokoh populernya adalah G. H.
Mead.
Paradigma yang terakhir adalah Perilaku Sosial.
Paradigma ini dikembangkan oleh B. F. Skiner dengan meminjam pendekatan
behaviorisme dari ilmu psikologi. Ia sangat kecewa dengan dua paradigma
sebelumnya karena dinilai tidak ilmiah, dan dianggap bernuansa mistis.
Menurutnya, obyek studi yang konkret-realistik itu adalah perilaku
manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya (behavioral of man and contingencies of reinforcement).
Skinner juga berusaha menghilangkan konsep volunterisme Parson dari
dalam ilmu sosial, khususnya sosiologi. Yang tergabung dalam paradigma
ini adalah Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange.
Dari ketiga paradigma di atas, Ritzer
mengusulkan sebuah paradigma integratif yang menggabungkan kesemua
paradigma di atas, yang kemudian disebut dengan istilah “Multi-
Paradigma” (multi-paradigm). Ritzer mengingatkan bahwa
penggunaan paradigma fakta sosial akan memusatkan perhatian pada makro
masyarakat, dan metode yang dipakai adalah interpiu/kuesioner dalam
penelitiannya. Sedangkan dalam paradigma definisi sosial lebih
memusatkan perhatiannya kepada aksi dan interaksi sosial yang
“ditelorkan” melalui proses berfikir, dan metodenya menggunakan model
observasi dalam penelitian sosial. Dan jika paradigmanya adalah perilaku
sosial maka perhatiannya dicurahkan pada “tingkah laku dan perulangan
tingkah laku”, dan metode yang dipakai lebih menyukai model eksperimen.
Ritzer kemudian menawarkan suatu exemplar paradigma yang terpadu, yang
kuncinya adalah “tingkatan realitas sosial”, yaitu makro-obyektif,
makro-subyektif, mikro-obyektif, dan mikro-subyektif.
Berbeda dengan Ritzer, Ilyas Ba-Yunus
membagi paradigma sosiologi ke dalam tiga bagian juga, yaitu: paradigma
struktural-fungsional, paradigma konflik, dan interaksionisme simbolik.
Paradigma pertama digagas oleh para sosiolog Eropa, yaitu Max Weber,
Emile Durkheim, Vilfredo Patero, dan yang pertama kalinya Talcott
Parson. Paradigma ini didasarkan pada dua asumsi dasar: (1) masyarakat
terbentuk atas substruktur-substruktur yang dalam fungsi mereka
masing-masing, saling bergantungan, sehingga perubahan yang terjadi
dalam fungsi satu substruktur, akan mempengaruhi pada substruktur
lainnya, dan (2) setiap substruktur yang telah mantap akan menopang
aktivitas-aktivitas atau substruktur lainnya. Teori ini dikritik karena
mengabaikan peranan konflik, ketidaksepakatan, perselisihan dan evolusi
dalam menganalisis masyarakat. Pendekatan ini dianggap juga mendukung status-quo
(apa yang sudah ada itu adalah baik), dan orang kemudian menduga bahwa
teori ini membenarkan dan memajukan struktur kapitalistis demokrasi
Barat.
Paradigma kedua adalah pendekatan yang
dikembangkan oleh Karl Marx. Paradigma ini didasarkan pada dua asumsi,
yaitu: (1) kegiatan ekonomi sebagai faktor penentu utama semua kegiatan
masyarakat, dan (2) melihat masyarakat manusia dari sudut konflik di
sepanjang sejarahnya. Marx, dalam Materialisme Historis-nya memasukkan
determinisme ekonomi sebagai basis struktur yang dalam proses relasi
sosial dalam tubuh masyarakat akan menimbulkan konflik antara kelas atas
dan kelas bawah.
Ketiga paradigma di atas memang menjadi
dominan dalam kajian sosiologi. Tapi, untuk mempermudah bayangan kita
tentang mana pendekatan yang utama maka di sini akan dibahas analisis
Habermas dalam membagi paradigma ilmu-ilmu sosial, termasuk juga
kategori sosiologis. Pertama, paradigma instrumental. Dalam
paradigma “instrumental” ini, pengetahuan lebih dimaksudkan untuk
menaklukkan dan mendominasi obyeknya. Paradigma ini sesungguhnya adalah
paradigma positivisme, atau dekat dengan paradigma fungsional.
Positivisme adalah aliran filsafat dalam ilmu sosial yang mengambil cara
kerja ilmu alam dalam menguasai benda, dengan kepercayaan pada
universalisme dan generalisasi. Untuk itulah, positivisme mensyaratkan
pemisahan fakta dengan nilai (value) agar didapati suatu pemahaman yang obyektif atas realitas sosial.
Kedua, paradigma intepretatif.
Dasar dalam paradigma ini adalah fenomenologi dan hermeneutik, yaitu
tradisi filsafat yang lebih menekankan pada minat yang besar untuk
memahami. Semboyannya adalah “biarkan fakta berbicara atas nama dirinya
sendiri”. Yang ingin dicapai hanya memahami secara sungguh-sungguh, tapi
tidak sampai pada upaya untuk melakukan pembebasan. Prinsipnya tetapi
bebas nilai, walaupun kelompok paradigma ini kontra dengan positivisme. Ketiga,
paradigma kritik. Paradigma ini lebih dipahami sebagai proses
katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan.
Prinsipnya sudah tidak lagi bebas nilai, dan melihat realitas sosial
menurut perspektif kesejarahan (historisitas). Paradigma ini menempatkan
rakyat atau manusia sebagai subyek utama yang perlu dicermati dan
diperjuangkan. Positivisme telah menyebabkan determinisme dan dominasi
irasional dalam masyarakat modern. Kelompok dalam paradigma ini biasanya
diwakili oleh kalangan critical theory Madzhab Frankfurt.
Beberapa paradigma di atas memiliki
kelemahan dan kelebihan tersendiri. Mengikuti pemikiran Ritzer yang
menyatakan bahwa sosiologi itu adalah ilmu pengetahuan berparadigma
ganda, maka sosiologi profetik, seperti yang pernah diklaim oleh
Kuntowijoyo, menghubungkan perbedaan pada masing-masing paradigma
tersebut. Paradigma yang diwakili oleh Emile Durkheim ternyata memiliki
kelemahan karena fakta yang obyektif menjadi sangat rancu ketika nilai
begitu dikesampingkan. Kerja penelitian sosial hanya bersifat deskriptif
saja, sehingga hal demikian menimbulkan kemandulan dalam teoritisasi
ilmu sosial. Pendekatan yang diwakili oleh Weber dengan verstehen-nya
ternyata masih menganggap fakta dan realitas sosial hanya sesuatu yang
cukup dipahami, tapi tidak perlu ada upaya kritis untuk melihat
bagaimana fakta dan realitas itu memiliki sejarah yang mesti dikritisi.
Paradigma kritik, penulis yakin, akan lebih bisa berkesesuaian dengan
pendekatan profetika dalam kajian sosiologi karena melihat masyarakat
secara kritis dan perlu adanya keterlibatan aktif sosiolog dalam proses
perubahan sosial.
Dengan prinsip “multi-paradigma” itulah,
sosiologi profetik berkeinginan mencari kelebihan dari masing-masing
paradigma, karena tidak mungkin di tengah persoalan yang sangat kompleks
ini kita hanya berlandaskan pada satu teori atau satu paradigma saja.
Kelebihan yang dimiliki pada paradigma fakta sosial, yang sangat
terpengaruh oleh positivisme, adalah terletak pada netralitas dan
obyektivitas. Tapi, kelemahannya tidak bisa melihat pada sisi historitas
obyek kajian. Untuk itulah paradigma definisi sosial, atau yang bisa
kita sebut sebagai paradigma intepretatif, bisa diadopsi sebagai sebuah
paradigma ilmu untuk memahami kenyataan sosial. Proses memahami itu
perlu memasukkan pendekatan hermeneutik dan fenomenologi agar realitas
bisa didekati secara lebih mendalam. Dan barulah kemudian kita masuk
pada pendekatan kritis untuk memahami dinamika masyarakat. Dan sosiologi
pun tidak berhenti hanya sekedar sebagai ilmu deskriptif, tapi juga
mampu melakukan perubahan sosial secara positif. Akhirnya, kita tidak
lagi hanya berpatokan pada pengetahuan yang bebas nilai, tapi nilai
menjadi bagian inherent dalam pengamatan sosial. Sosiologi profetik,
penulis kira, sangat dekat dengan pendekatan ilmu sosial kritis, tapi
hanya saja dalam sosiologi profetik “realitas kenabian” sebagai kerangka
kerja ilmiah dipakai untuk memahami masyatakat. Sosiologi profetik juga
tidak mengabaikan pentingnya analisis kultural yang menjadi bagian
penting dalam realitas sosial.
Menggugurkan Prinsip “Bebas-Nilai”
Hampir mayoritas sosiolog akan berpendapat bahwa ilmu sosiologi menggunakan prinsip “value free”
(bebas nilai) demi menjaga obyektivitas dan keilmiahan sebuah ilmu atau
teori. Unsur nilai yang memasukkan asumsi subyektivitas ke dalam kajian
sosiologi akan menyebabkan ketidakobyektifan sebuah gagasan. Kriteria
yang menentukan apakah sebuah kajian itu ilmiah atau tidak ditentukan
oleh bagaimana kemampuan seorang peneliti dalam memaparkan informasi
secara obyektif. Tuntutan dalam prinsip bebas nilai adalah kegiatan
ilmiah yang didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Artinya, tidak ada campur tangan eksteral di luar struktur obyektif
sebuah pengetahuan. Obyektivitas hanya bisa diraih dengan mengandaikan
ilmu pengetahuan yang bebas nilai (value-neutral).
Untuk memahami perdebatan dalam persoalan
prinsip “bebas-nilai” dalam ilmu-ilmu umumnya, kita sebaiknya mengkaji
pembedaan ilmu berdasarkan ilmu yang teoritis dan praktis. Cita-cita
ilmu teoritis adalah memberikan penjelasan tentang suatu realitas
(kenyataan) tanpa sikap berpihak, dan tanpa dipengaruhi oleh hasrat dan
keinginan tertentu. Jadi, pengetahuan yang ingin didapat adalah
pengetahuan yang berasal realitas obyektif. Pengetahuan teoritis
melukiskan kenyataan yang ada, dan sebatas pada deskripsi atas kenyataan
itu, bukan justru melukiskan kenyatan yang dinginkan atau dikehendaki.
Sedangkan pengetahuan yang praktis sudah masuk pada sikap bagaimana
melakukan kerja teoritis itu yang kemudian menghasilkan pengetahuan yang
kurang obyektif, yang berpihak pada kepentingan dan keinginan tertentu,
yang tidak lagi disinterested. Dalam pengetahuan yang kedua
ini persoalan nilai menjadi sesuatu yang pasti akan terjadi. Menurut
Ignas Kleden, dalam pengertian pengetahuan yang praktis ini terkandung
dua makna, yaitu persoalan nilai dan kepentingan yang akan menimbulkan
perdebatan dan pernyataan apakah pengetahuan itu bebas nilai dan tanpa
adanya kepentingan.
Kalau dalam makna pengetahuan yang bebas
nilai, sosiologi itu sekedar menjadi ilmu yang mendeskripsikan kenyataan
obyektif, dan berputar pada persoalan teoritis. Tidak ada campur tangan
seorang peneliti dalam kajian dan pengamatannya. Di sinilah kemudian
ada cap yang teralamatkan pada pengetahuan dengan makna demikian sebagai
pengetahuan yang tidak perlu memecahkan masalah karena jika sudah
seperti itu maka persoalan nilai dan kepentingan pasti akan masuk.
Menurut Ilyas Ba-Yunus, jika kita teliti sumbangan-sumbangan para
pelopor sosiologi modern yang kini dianggap klasik, ternyata terlihat
bagaimana mereka melakukan penilaian-penilaian tentang fenomena-fenomena
yang dikajinya walaupun dengan klaim tetap berprinsip netralitas nilai.
Ia menunjuk Weber ketika menyebut kapitalisme yang terorganisasi secara
birokratis itu ternyata dilengkapi dengan semacam kepentingan (self-importance),
Durkheim yang menjelaskan bunuh diri dari sudut kejahatan juga berusaha
untuk mencari pemecahannya, dan Agust Comte yang sangat dikenal sebagai
pelopor positivisme dalam sosiologi mengklaim bahwa ilmu yang
digagasnya itu dapat memecahkan masalah. Jadi, tidak bisa semata-mata
itu bebas nilai, pasti ada campur tangan nilai dan kepentingan ke mana
arah manfaat dan tujuan sebuah ilmu. Atau ilmu itu tidak semata-mata
teoritik, tapi juga terkandung kegunaan praktisnya. Dalam hal ini
sosiologi profetik tidak hanya terpaku pada ilmu teoritik saja, tapi
juga bersifat praktis.
Berbicara soal kepentingan, Habermas
menyebut ada tiga kepentingan kognitif yang bertengger di balik ilmu
pengetahuan dalam tiga bidang keilmuan: ilmu alam, ilmu-ilmu
historis-hermenutis, dan ilmu-ilmu kritis. Dalam ilmu alam yang
berikhtiar menemukan hukum alam, akhirnya ada upaya penguasaan teknis
atas proses-proses yang dianggap obyektif. Ilmu historis-hermeneutis
tidak disusun secara deduktif dengan acuan kontrol teknis, tapi yang
dilakukannya adalah menafsirkan teks dengan kepentingan mencapai saling
pengertian dan konsensus. Sedangkan pada ilmu-ilmu kritis yang
dikandungnya adalah kepentingan kognitif emansipatoris yang dilakukan
lewat jalan refleksi diri seorang ilmuan. Dengan demikian Habermas
menapik asumsi banyak kalangan dengan mengatakan bahwa pengetahuan itu
tidak mungkin berdiri tanpa kepentingan apapun, walaupun tetap diakuinya
bahwa pengetahuan itu tidak boleh membiarkan subyektivitas mendominasi.
Lalu, Habermas membuat lima butir tesis dalam teorinya atas pengetahuan. Pertama, pencapaian-pencapaian subyek transedental memiliki dasar dalam sejarah amalam spesies manusia. Kedua, pengetahuan berlaku sebagai alat pertahanan diri sekaligus melampaui pertahanan diri semata-mata. Ketiga, kepentingan-kepentingan kognitif manusia itu berada pada tiga medium organisasi sosial, yakni: kerja, bahasa, dan kekuasaan. Keempat, di dalam kekuatan refleksi diri, pengetahuan dan kepentingan menyatu. Dan yang kelima,
kesatuan antara pengetahuan dan kepentingan dapat dibuktikan dalam
suatu dialektika yang memiliki jejak-jejak sejarahnya dari dialog yang
ditindas dan merekonstruksi apa yang telah ditindas. Dengan kelima
tesis ini Habermas menghujamkan kritikannya terhadap positivisme dan
sainstisme. Artinya, ia mengkritik kenaifan ilmu pengetahuan yang
bernafsu mencari teori murni yang bebas dari opini-opini subyektif,
tendensi-tendensi, penilaian moral, dan kepentingan lainnya.
Prinsip bebas nilai dalam ilmu
pengetahuan itu menafikan adanya “historisisme” yang sangat menentukan
bagaimana konstruksi atas pengetahuan itu. Jika dilihat menurut kacamata
sosiologi pengetahuan maka sesunggunya ilmu itu tidak bebas nilai, tapi
sangat terkait dengan konteks historis kemunculannya. Max Scheler dan
Karl Mannheim, dari aliran sosiologi pengetahuan, menentang ide mengenai
ilmu-ilmu sosial yang bebas nilai. Keduanya menyatakan bahwa pikiran,
bahkan pikiran logis para ilmuan sekalipun, dibentuk secara historis dan
itu, baik disadari atau tidak, sedang merefleksikan kebudayaan mereka
sendiri dan perspektif sosial yang mereka adopsi. Seorang ilmuan memang
harus mengatasi prasangka-prasangka mereka dengan memperbaiki kadar
kualitas pembacaan mereka atas realitas, dengan berpangkal pada
obyektivitas, tapi pada saat yang sama mereka harus mengklarifikasi
asumsi-asumsi yang mendasar, memahami lokasi-lokasi sosial mereka
sendiri dalam masyarakat, dan juga secara kritis mempertanyaan cita-cita
sosial yang ada di masyarakat. Jadi, konstruksi berpikir seorang ilmuan
tidak bisa terlepas dari konteks historisnya, yang itu kemudian
menuntut dirinya mampu memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Ideal pengetahuan obyektif Abad
Pencerahan “membasmi” semua pra-pendapat subyektif untuk membentuk suatu
pendekatan yang “netral” dan “obyektif”. Hal ini dimaksudkan agar
terbebas dari bias-bias emosional, afektif, dan pribadi, dengan
mengunggulkan akal dan metodologi yang logis sebagai jalan menuju
pencerahan. Pengetahuan yang dihasilkan seperti ini adalah akibat
historis yang terkondisikan oleh faktor-faktor sosio-kultural dengan
bangkitnya pemikiran Abad Pencerahan. Berkebalikan dari nuansa abad itu,
Gadamer menegaskan kembali pentingnya tradisi dan prasangka dalam
memahami segala sesuatu. Seorang ilmuan tidak bisa terlepas dari
batas-batas tradisinya. Tradisi sangat terkait dengan prasangka yang
melatarbelakangi penafsiran kita atas realitas. Pentingnya tradisi dan
prasangka ini menjadi upaya yang dilakukan oleh Gadamer dalam
hermeneutikanya. Memahami (understanding) terkondisikan oleh
masa lalu (“tradisi” kita) dan prasangka kita pada saat sekarang. Yang
ingin ditekankan oleh Gadamer adalah pentingnya tradisi sebagai sebuah
faktor yang mengkondisikan dan menjaid batas yang jelas dalam cara-cara
di mana orang menafsirkan teks. Dalam proses menafsirkan itu, menurut
Gadamer, pasti melibatkan proyeksi nilai, kepentingan, dan agenda
seseorang ke dalam teks. Dalam perspektif Gadamerian, “kebenaran” itu
tidak pernah final, definitif atau obyektif, karena terkondisikan
historisnya. Kata Gadamer, orang tidak dapat memahami sesuatu tanpa
menghubungkannya dengan “ke-ada-an dirinya sendiri di dunia”. Konsep
penafsiran obyektif dan bebas nilai menjadi problematis untuk diterapkan
secara pasti. Maka, ketika kita memahami teks maupun juga realitas,
yang terjadi justru “relativisme”, bukan universalisme dan absolutisme
kebenaran. Apa yang ingin diraih dalam netralitas nilai untuk mencapai
obyektivitas dan keilmiahan sebuah ilmu menjadi absurd.
Ada sebuah tafsiran mengenai nilai yang
dilihat menurut kaca mata sosiologi. Kita mungkin pernah mendengar
pernyataan Max Weber, salah satu tokoh yang mengembangkan sosiologi,
yang sampai pada kesimpulan bahwa sosiologi harus bersifat bebas-nilai.
Memang, tafsiran Weber mengenai rasionalitas ada yang berorientasi pada
nilai. Tapi, nilai apa yang dimaksud di sini? Seorang pengikut Weberian,
Peter L. Berger, menyatakan bahwa hampir tidak mungkin bagi seseorang
manusia berada tanpa suatu nilai apapun. Ia mengakui bahwa seorang ahli
sosiologi secara normal memang mempunyai banyak nilai, tapi dalam
batas-batas kegiatannya sebagai seorang ahli sosiologi hanya ada satu
nilai fundamental, yaitu integritas ilmiah. Jadi, nilai yang dimaksud
adalah integritas seorang sosiolog dalam mencapai pengetahuan yang
obyektif. Seorang sosiolog dengan berbagai macam praduga dan
subyektivitas yang mungkin muncul pada dirinya, maka dia harus mampu
mencoba memahami dan mengendalikan kemencengan yang harus dihapuskan dalam karya-karyanya.
Apakah dengan pernyataan Weber yang
mengambil kesimpulan bahwa sosiologi itu harus bebas nilai menafikan
adanya historisitas sebuah kebenaran obyektif? Rasionalitas yang
dibangun Weber ternyata secara konsisten bersifat historis, yaitu
menempatkan diri di dalam makna suatu zaman di mana ilmu pengetahuan
tidak mampu lagi menciptakan makna karena agama dan pengetahuan telah
diceraikan. Di tengah memudarnya pesona modernitas dengan nihilisme
makna, Weber masih berkeyakinan bahwa Tuhan dan nilai-nilai pemandu bisa
untuk dipilih. Tuhan tidak mati, dan justru pengetahuan tidak bisa lagi
menciptakan nilai-nilai mengenai diri kita sendiri. Maksud dari teori
sosial Weber yang bersifat historis adalah karena pengetahuan yang
dihasilkan dari modernitas –salah satu sisi historis peradaban pada Abda
Pencerahan– itu memiliki kekaburan makna maka kita kini sebaiknya
menciptakan makna-makna baru dengan tidak menafikan peran nilai dan
Tuhan (agama) sebagai pemandu.
Menuju “Sosiologi Profetik”
Keilmuan sosiologi sampai hari ini masih
didominasi oleh pendekatan fungsionalisme. Sejak Perang Dunia (PD) II,
di mana Amerika muncul sebagai pemenang, maka “sistem Amerika” yang
menggunakan pendekatan fungsionalisme menjadi dominan. Pendekatan ini
dianggap sebagai satu-satunya ilmu sosial yang akademis, obyektif, dan
empiris. Fungsionalisme sangat menekankan sistem, keseimbangan,
adaptasi, maintance, dan latency. Talcott Parson,
pendiri aliran ini, yakin bahwa metodologi yang paling memadai adalah
metodologi “fungsionalisme struktural”. Menurutnya gagasan mengenai
“fungsi” berguna agar kita terus dapat mengamati apa yang disumbangkan
oleh suatu bagian dari struktur terhadap sistem yang dianalisis. Menurut
teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas
bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam
keseimbangan. Sistem ini dipakai oleh kaum borjuis yang merupakan status quo,
karena tidak mau menerima perubahan melalui jalan konflik atau
pertentangan. Menurut Ritzer, Kalau terjadi konflik, maka penganut teori
ini memusatkan perhatiannya kepada masalah bagaimana cara
menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan. Sehingga
perubahan yang terjadi dalam masyarakat berjalan secara evolusionis,
perlahan-lahan.
Paradigma fungsionalisme kemudian dikritik oleh banyak kalangan. Salah satunya datang dari gerakan intelektual The New Left, yang banyak dipengaruhi oleh Critical Theory
Madhab Frankfurt. Menurut kelompok ini, sosiologi akademis yang telah
terjerat oleh pendekatan fungsionalis hanya mengerjakan tugas yang rutin
saja. Apa yang dilakukan selama ini hanya menjadikan sosiologi menjadi
sebuah ilmu yang abstrak dan murni, tapi punya pengaruh untuk melakukan
perubahan di masyarakat.
Michael Root dalam Philoshopy of Social Science (1993), membedakan dua jenis ilmu sosial, yaitu yang liberal dan yang perpeksionis.
Ilmu sosial yang liberal mengusung cita-cita untuk memperoleh data yang
bebas dari muatan nilai, moral, dan kebajikan obyek penelitiannya.
Sedangkan ilmu sosial yang perpeksionis berusaha menjadi wahana dari
cita-cita mengenai kebajikan, ilmu yang partisan. Pembedaan dua jenis
ilmu sosial itu mirip dengan pembagian antara ilmu yang teoritis dan
yang praktis.
Salah satu model dari ilmu sosial yang
partisan ini adalah sosiologi yang humanistik. Pondasi sosiologi yang
humanistik dibangun berlandaskan “refleksi diri” (self reflection) dan “daya aktivitas” (activism). Pondasi sosiologi yang humanistik adalah sosiologi yang refleksif. Alvin W. Gouldner adalah sosiolog yang menggagas Reflextive Sociology dalam bukunya, The Coming Crisis of Wertern Sociology
(1970). Ia menyatakan bahwa sosiologi refleksif sangat konsern dengan
apa yang ingin dilakukan oleh sosiolog, yang secara faktual dilakukan di
dunia (what sociologis want to do and with what, in fact, they actually do in the world).
Sosiologi refleksif adalah pengkajian diri secara kritis melalui proses
empati sehingga nilai-nilai ideologis serta pelaksanaan real akan
selaras dengan kebudayaan di mana dia hidup. Maka, seorang sosiolog
harus menyadari bias-bias pribadinya dan kulturalnya sehingga lebih
dapat menyadari tujuan sosiologi yang bebas.
Robert Friedrichs (1970) mengembangkan
ide-ide Thomas Khun ke dalam sosiologi secara sistematis, dengan
mempresentasikan dua image berbeda dari status paradigma dalam
sosiologi, yang sama-sama menyatakan sebagai ilmu yang berparadigma
lebih dari satu (a multiple paradigm science). Image pertama adalah image sosiolog tentang diri mereka sebagai agen keilmuan (self-image of the sociologist), yang meliputi dua paradigma, yaitu : paradigma yang bersifat seperti Nabi (prophetic paradigm) dan paradigma yang bersifat seperti pendeta (priestly paradigm).
Yang pertama sosiolog itu sebagai agen perubahan sosial, sedangkan yang
kedua memandang sosiolog sebagai ilmuan bebas nilai. Image kedua
berlandaskan pada image dari pokok persoalan (subject matter),
yang membedakan antara paradigma sistem dan paradigma konflik. Yang
pertama menekankan keseimbangan dan intergrasi sosial, sedangkan yang
kedua menekankan pada disintegrasi dan adanya paksaan.
Sosiologi profetik melandaskan dirinya
pada prinsip untuk melakukan perubahan sosial yang berangkat nilai
profetika dengan kerangka pemikiran sosiologi yang multi paradigmatik.
Jadi, bisa dikatakan bahwa sosiologi profetik itu hampir mirip dengan
sosiologi humanis ataupun sosiologi kritis yang merefleksikan secara
kritis terhadap masyarakat dengan ragam bentuk struktur dan kultur
sosialnya. Dengan tetap berpijak pada realitas yang otonom maka seorang
peneliti harus mengkritisi apa yang merupakan bagian dari stuktur
realitas tersebut. Maka, penelitian yang harus dikembangkan dalam
sosiologi profetik adalah model penelitian partisipatif, yang masuk
secara langsung dan melebur bersama dengan obyek kajian. Ya, seperti
halnya para Nabi yang masuk secara langsung ke dalam masyarakat untuk
melakukan perubahan sosial. Ketika data diperoleh maka analisis yang
dilakukan perlu melibatkan pendekatan pemahaman (intepretatif) untuk
membaca realitas secara obyektif dan kritis, baik dari hermeneutika, verstehen, maupun kajian secara fenomenologis.
Di tengah pesona modernitas yang
mengalami nihilisme makna kehidupan, sudah saatnya sosiologi profetik
mengembangkan kerangka kerja ilmiah untuk melanjutkan usaha-usaha yang
dilakukan para Nabi. Sosiologi profetik hanyalah salah satu model
sosiologi alternatif, yang tidak mengenal kata akhir proses pencarian
dalam upaya memahami masyarakat dengan baik. Seperti kata Pak Kunto,
hanya dengan keberanian akademik kita maju melangkah ke depan. Yang akan
kita usung adalah “kesadaran aktif sejarah” untuk melakukan perubahan
masyarakat ke arah yang adil dan manusiawi, dengan berangkat dari tiga
unsur pembentuk kesadaran, yaitu emansipasi, liberasi, dan transedensi.
Tugas yang sangat berat adalah bagaimana mengembangkan kemampuan daya
pikir ilmiah dan kritis dalam memahami realitas yang dihubungkan dengan
spirit keagamaan dan kenabian. Dan itu menjadi agenda penting dalam
gagasan ini selanjutnya. Wallahu A’lam Bish-Shawab.