Oleh: HUSNUL MUTTAQIN
(Dimuat dalam Jurnal Sosiologi Reflektif, edisi
perdana, Prodi Sosiologi Fak. Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan
Kalijaga Jogjakarta)
Bagi August Comte, sang pencipta istilah “sosiologi”,
sosiologi adalah puncak perkembangan positivisme. Tak heran jika
kemudian ilmu yang satu ini berkembang dengan corak yang sangat
positivistik. Sebenarnya Comte tidak sedang mengarahkan sosiologi untuk
menjadi positivistik, ia hanya menyuarakan kecenderungan zaman. Di
masanya, positivisme menjadi ukuran sahih tidaknya ilmu
pengetahuan. Ilmu alam menjadi model bagi orientasi ilmu tentang
masyarakat yang sebelum Comte disebut sebagai “fisika sosial”, atau ilmu
pengetahuan alam tentang masyarakat. Proses-proses sosial tidak lagi
dianggap sebagai produk kegiatan manusia yang bebas, tapi sebagai suatu
peristiwa alam. 1)
Positivisme sebenarnya hanyalah bagian saja dari
sejarah narasi besar pertarungan dua pahlawan peradaban; logos dan
mitos. Dalam pemikiran Barat modern, pertarungan itu menjelma menjadi
pertarungan antara pendekatan ala Ilmu-ilmu alam versus pendekatan
lain yang tidak memiliki basis empiris. Perkembangan segi-segi material
dan empiris kebudayaan modern telah menempatkan pendekatan ala ilmu-ilmu
alam (sains) pada kedudukannya sebagai logos, sang protagonis, sedang
cara-cara pendekatan lain dengan spekulasi metafisis-teologis tanpa
basis empiris menjadi antagonisnya, mitos. 2)
Setidaknya ada tiga pengandaian dalam ilmu-ilmu sosial positivis. Pertama, prosedur-prosedur metodologis dari ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Kedua, hasil-hasil penelitian dapat dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum seperti dalam ilmu-ilmu alam. Ketiga, ilmu-ilmu
sosial itu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang
bersifat instrumental murni, netral dan bebas nilai. 3)
Ketiga dasar positivisme itu pun kemudian terbukti
rapuh. Fenomena sosial tidak sama dengan fenomena alam sehingga
pemakaian metode ilmu alam untuk mengkaji fenomena sosial adalah salah
arah. Teori-teori yang tercipta juga tidak universal sebagaimana klaim
positivis, tapi sangat terkait dengan dimensi lokal dan temporal di mana
teori itu muncul. Demikian pula, dalam kenyataannya, ilmu sosial
ternyata tidak pernah mampu melepaskan diri dari keberpihakan terhadap
nilai-nilai tertentu. Klaim bebas nilai tak lebih dari sebentuk
hipokrasi intelektual. Suatu ilmu sosial yang value free tidak
pernah ada. Bahkan David J. Gray menyatakan dengan sangat lugas, bahwa
ilmu sosial yang bebas nilai adalah “doktrin kemunafikan dan
ketakbertanggungjawaban” ( a doctrine of hypocrisy and irresponsibility ). 4)Inilah gugatan-gugatan yang dilontarkan sebagian ilmuwan sosial, baik Barat maupun Timur, terhadap positivisme.
Klaim bebas nilai menyebabkan ilmu-ilmu sosial hanya berusaha menjelaskan realitas ( erklaren ) secara apa adanya tanpa melakukan pemihakan, atau memahami realitas ( verstehen )
kemudian memaafkannya. Teori-teori sosial melulu ingin menyalin fakta
masa kini. Dengan cara itu, ilmu sosial diam-diam melestarikan masa
kini, sehingga, dengan kedok tidak memihak, netral, bebas nilai,
teori-teori itu menutupi kemungkinan perubahan ke masa depan. 5) Karena itu teori yang mengklaim dirinya bebas nilai pada hakekatnya juga memihak, memihak kemapanan.
Salah satu perlawanan sengit terhadap logika
positivisme datang dari para penganut teori ktiris. Teori Kritis hendak
mengkritik keadaan-keadaan aktual dengan referensi pada tujuannya.
Karenanya, di dalam teori kritis, terkandung muatan utopia tertentu yang
menyebabkan pemikiran-pemikiran yang terkandung di dalamnya tidak
netral. 6)
Dengan semangat yang sama, Kuntowijoyo lalu
melontarkan ide tentang Ilmu Sosial Profetik (ISP). Ilmu Sosial Profetik
tidak hanya menolak klaim bebas nilai dalam positivisme tapi lebih jauh
juga mengharuskan ilmu sosial untuk secara sadar memiliki pijakan nilai
sebagai tujuannya. Ilmu Sosial Profetik tidak hanya berhenti pada usaha
menjelaskan dan memahami realitas apa adanya tapi lebih dari itu
mentransformasikannya menuju cita-cita yang diidamkan masyarakatnya.
Ilmu Sosial Profetik kemudian merumuskan tiga nilai penting sebagai
pijakan yang sekaligus menjadi unsur-unsur yang akan membentuk karakter
paradigmatiknya, yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi, suatu
cita-cita profetik yang diderivasikan dari misi historis Islam
sebagaimana terkandung dalam surat Ali Imran, ayat 110.
Yang amat menarik, kontroversial, sekaligus
menjanjikan dari gagasan ini adalah bahwa Ilmu Sosial Profetik mencoba
menggabungkan kemampuan kritis ilmu sosial dan nilai-nilai agama dalam
satu bingkai paradigma ilmu sosial yang utuh dan integral. Agama yang
dalam khazanah ilmu sosial kontemporer dianggap berada diluar wilayah
ilmu pengetahuan, hendak dibawa kembali masuk sebagai bagian sah dari
ilmu sosial.
ISP DAN PROBLEM INTEGRASI ILMU DAN AGAMA
Ilmu sosial, selama ini telah terlanjur dikembangkan
dengan satu asumsi yang sangat kuat mempengaruhi perkembangan ilmu
sosial, bahwa ilmu dan agama adalah dua hal yang terpisah. Ilmu berada
di satu wilayah, agama di wilayah yang lain lagi. Asumsi inilah yang
hingga saat ini masih dengan begitu fanatik dipegang oleh para ilmuwan
sosial, terutama yang berhaluan positivis. Walaupun tentu saja di
sana-sini terdengar gugatan-gugatan terhadapnya, yang tidak saja berasal
dari para ilmuwan sosial muslim tapi juga dari para ilmuwan sosial
Barat yang menyadari arti penting integrasi agama dan ilmu sosial.
Tentu saja, perkembangan peradaban modernlah yang
kemudian memunculkan situasi perkembangan ilmu sosial semacam ini.
Akibat kemunculan peradaban modern yang diawali dengan konflik hebat
antara ilmu pengetahuan dan Gereja, ilmu sosial yang terlahir dari
perhelatan ini kemudian menolak agama sebagai bagian dari ilmu. Itu
sebabnya, modernisme juga bisa kita artikan defferentiation (pemisahan). 7) Paradigma defferentiation inilah yang kemudian mewarnai perkembangan ilmu sosial sampai hari ini.
Tampaknya, paradigma ini sudah cukup berurat akar
dalam ilmu sosial. Itu sebabnya, ide untuk membawa kembali agama dalam
wilayah ilmu sosial akan menghadapi tudingan yang tidak ringan. Ide ini
akan dicurigai hendak menjadikan ilmu kembali terpenjara dalam kekuasaan
dogma-dogma agama seperti yang pernah terjadi di masa lalu (Abad
Pertengahan).
Kekhawatiran seperti ini tentu saja sangat beralasan.
Fakta menunjukkan bahwa sebagian penganut ide integrasi agama dengan
ilmu sosial cenderung berpikir secara normatif. Cara berpikir seperti
ini jelas tidak konstruktif, bahkan akan mematikan perkembangan ilmu
sosial itu sendiri. Ilmu sosial akan muncul dengan wajahnya yang
absolut.
Kita dapat mengambil contoh ide islamisasi ilmu
sosial. Ide ini sejak awal membedakan secara tegas antara ilmu sosial
sekuler dan ilmu sosial Islam, seolah-olah ada ilmu sosial yang ahli
surga dan ilmu sosial lain yang penuh dosa. Kita tidak memungkiri bahwa
ilmu sosial memang berideologi atau kita boleh menyebutnya “beragama”.
Teori Marxis misalnya, “agamanya” adalah materialisme. Tapi dengan
melakukan pembedaan antara ilmu sosial Islam dengan ilmu sosial
non-Islam atau sekuler akan berakibat pada klaim kebenaran yang
berlebihan dan menyebabkan sikap eksklusif yang tidak berguna. Padahal
kebenaran ilmu itu harus bersifat terbuka.
Di pihak lain, penolakan sebagian besar ilmuwan sosial
terhadap ide untuk memasukkan agama sebagai bagian integral dalam ilmu
sosial sesungguhnya diam-diam bersifat normatif juga. Mereka ini yakin
benar bahwa satu-satunya kebenaran yang sah dalam ilmu sosial adalah
kebenaran empiris, kebenaran yang berasal dari fakta-fakta yang dapat
terindera. Sikap seperti ini sama artinya dengan sikap normatif
eksklusif, menolak kemungkinan kebenaran lain.
Karena itu menjadi penting bagi kita untuk meredakan
ketegangan di antara dua pihak yang saling berhadap-hadapan ini. Di satu
sisi kita ingin tetap membawa agama sebagai bagian integral dari ilmu
sosial, mengingat pentingnya hal ini bagi masa depan kemanusiaan. Di
sisi lain kita tidak ingin membawa-bawa pendekatan normatif yang selama
ini terbukti tidak bisa berbuat apa-apa ketika berhadapan dengan
realitas.
Kita tidak sepakat dengan positivisme karena
keinginannya mengabsolutkan kebenaran empirisnya dan sifatnya yang
kuantitatif. Kita juga tidak sepakat dengan ilmu sosial interpretatif
dalam semangatnya yang bebas nilai, memahami realitas lalu membiarkannya
apa adanya, tidak berpihak, walaupun kita setuju dengan sifat
interpretatifnya. Kita ingin ilmu sosial yang memiliki keberpihakan
dengan tujuan kemanusiaan sebagaimana teori kritis, sehingga ilmu sosial
tidak hanya mengabdi pada kepentingan status quo sosial di
balik klaim bebas nilainya. Tapi kita ingin sesuatu yang lebih dari itu.
Ilmu sosial kritis tidak pernah berbicara tentang nilai-nilai agama
sebagai bagian penting dari kerja-kerja ilmiah theory building. Seolah-olah
agama tidak dapat memberikan kontribusi apapun dalam mengkonstruk
bangunan teoritis ilmu sosial yang bercorak emansipatoris.
Lantas paradigma apakah yang dapat memenuhi harapan
kita?. Pertanyaan ini sulit dijawab, karena tradisi intelektual kita
jarang sekali menyinggung masalah ini. Untunglah di Indonesia ini kita
punya Kuntowijoyo, seorang sejarahwan yang secara serius memikirkan hal
ini, walaupun gagasannya di seputar masalah ini masih sangat terbatas
untuk dapat dikatakan mencukupi. Hanya saja, Kuntowijoyo telah
melontarkan ide besarnya yang tampaknya cukup menjanjikan. Ini sebuah
awal yang bagus. Apa yang saya maksudkan adalah ide Kuntowijoyo tentang
Ilmu Sosial Profetik. Saya mengamati, idenya ini kini mulai banyak
dilirik orang. Ini tampak dari semakin banyaknya karya-karya yang lahir
membahas ide ini dalam berbagai aspeknya.
Ide ini memilki kemiripan dengan teori kritis, hanya saja Kuntowijoyo memilki tawaran plus ,
ia juga mengusung transendensi sebagai bagian penting dari pilar ilmu
sosial di samping humanisasi dan liberasi. Persis di sisi inilah
Kuntowijoyo menawarkan sesuatu yang lain. Melalui transendensi,
Kuntowijoyo hendak menjawab problem hubungan agama dan ilmu sosial.
Kuntowijoyo memaknai transendensi dalam arti keimanan
kepada Allah yang diderivasikan dari QS. Ali Imran 110. Melalui ayat ini
pulalah Kunto meletakkan tiga pilar bagi Ilmu Sosial Profetik yaitu
humanisasi ( ta’muruna bil-ma’ruf ), liberasi ( tanhauna anil munkar ) dan transendensi ( tu’minuna billah ). 8)
ketiga pilar inilah yang kemudian akan dipakai sebagai landasan untuk
mengembangkan ISP, serta akan menjadi ciri paradigmatisnya. Penekanan
Kunto, bahwa transendensi harus menjadi dasar dari dua unsurnya yang
lain menunjukkan perhatian Kunto terhadap signifikansi agama dalam
proses theory building dalam ilmu sosial. Melalui transendensi,
ISP hendak menjadikan nilai-nilai agama sebagai bagian penting dalam
proses membangun peradaban.
Satu pertanyaan penting yang kemudian harus dijawab
Kuntowijoyo adalah bagaimana atau dengan cara apa agama dapat
diintegrasikan dalam ilmu sosial?. Kalangan penganut ide islamisasi ilmu
sosial akan cenderung memaknainya secara ideologis normatif. Itu
sebabnya penganut ide ini akan menjawabnya dengan melakukan pembedaan
terhadap metodologi sekular dan metodologi Islam, atau sekularisasi versus islamisasi. Kunto tidak tertarik dengan pemilahan semacam ini. Ia menolak methodological secularism atau methodological atheism sebagai
metodologi yang hendak memisahkan agama dari wilayah ilmu, tapi ia juga
tidak tertarik dengan metodologi islamisasi. Kunto menggugat “bagaimana
nasib ilmu yang belum diislamkan?. Bagaimana nasib Islam tanpa ilmu?”. 9)
ISP tidak mau terjebak dan terombang-ambing dalam pertikaian antara
islamisasi dan sekularisasi. Kunto kemudian menawarkan jalan tengah
yaitu obyektifikasi atau methodological objestivism. 10)Apa
yang ia sebut sebagai obyektifikasi itu tak lain adalah penterjemahan
nilai-nilai subyektif agama dalam kategori-kategori obyektif yang bisa
dipahami semua orang tanpa perlu memahami nilai-nilai asal (agama) dan
dapat disetujui siapapun tanpa harus menyetujui nilai asal.
Obyektifikasi merupakan metode untuk menghadirkan agama secara lebih
substantif ilmiah bukan normatif ideologis. Dalam obyektifikasi,
nilai-nilai obyektif dari semua agama, ideologi, kepercayaan atau aliran
filsafat dapat saling berkomunikasi, lepas dari egosentrisme
ideologisnya. 11)
BEBERAPA GAGASAN POKOK ILMU SOSIAL PROFETIK.
1. Pilar Ilmu Sosial Profetik
Unsur pertama adalah humanisasi .
Humanisasi merupakan terjemahan kreatif dari amar ma’ruf yang makna
asalnya adalah menganjurkan atau menegakkan kebajikan. Dalam Ilmu Sosial
Profetik, humanisasi artinya memanusiakan manusia, menghilangkan
“kebendaan”, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia. 12)
Humanisasi sesuai dengan semangat liberalisme Barat. Hanya saja perlu
segera ditambahkan, jika peradaban Barat lahir dan bertumpu pada
humanisme antroposentris, konsep humanisme Kuntowijoyo berakar pada
humanisme teosentris. Karenanya, humanisasi tidak dapat dipahami secara
utuh tanpa memahami konsep transendensi yang menjadi dasarnya.
Humanisme Barat lahir dari pemberontakan terhadap
kekuasaan Gereja yang bersifat dogmatis pada abad Pertengahan. Pandangan
antroposentris beranggapan bahwa kehidupan tidak berpusat pada Tuhan
tapi pada manusia. Etosnya adalah semangat menghargai nilai-nilai yang
dibangun oleh manusia sendiri. Peradaban antroposentris menjadikan
manusia sebagai tolok ukur kebenaran dan kepalsuan, untuk memakai
manusia sebagai kriteria keindahan dan untuk memberikan nilai penting
pada bagian kehidupan yang menjanjikan kekuasaan dan kesenangan manusia.
Antroposentrisme menganggap manusia sebagai pusat dunia, karenanya
merasa cukup dengan dirinya sendiri. Manusia antroposentris merasa
menjadi penguasa bagi dirinya sendiri. Tidak hanya itu, ia pun bertindak
lebih jauh, ia ingin menjadi penguasa bagi yang lain. Alam raya pun
lalu menjadi sasaran nafsu berkuasanya yang semakin lama semakin tak
terkendali.
Dengan rasio sebagai senjatanya, manusia
antroposentris memulai sejarah kekuasaan dan eksploitasi atas alam tanpa
batas. Modernisme dengan panji-panji rasionalismenya terbukti
menimbulkan kerusakan alam tak terperikan terhadap alam dan manusia.
Ilmu akal adalah ilmu perang yang metode dan taktik perangnya telah
ditulis dengan amat cerdas oleh Descartes melalui semboyannya “Cogito
Ergo Sum”. Melalui ilmu perang Descartes, peradaban modern menciptakan
mesin-mesin perang terhadap alam berupa teknologi canggih untuk
menaklukkan dan mengeksploitasi alam tanpa batas, juga mesin-mesin
perang terhadap manusia berupa senjata-senjata canggih supermodern, bom,
bahkan juga senjata pemusnah masal. Jadi, alih-alih humanisme
antroposentris itu berhasil melakukan proses humanisasi, yang terjadi
justru adalah proses dehumanisasi.
Kuntowijoyo lalu mengusulkan humanisme teosentris
sebagai ganti humanisme antroposentris untuk mengangkat kembali martabat
manusia. 13)
Dengan konsep ini, manusia harus memusatkan diri pada Tuhan, tapi
tujuannya adalah untuk kepentingan manusia (kemanusiaan) sendiri.
Perkembangan peradaban manusia tidak lagi diukur dengan rasionalitas
tapi transendensi. Humanisasi diperlukan karena masyarakat sedang berada
dalam tiga keadaan akut yaitu dehumanisasi (obyektivasi teknologis,
ekonomis, budaya dan negara), agresivitas (agresivitas kolektif dan
kriminalitas) dan loneliness (privatisasi, individuasi). 14)
Unsur kedua adalah liberasi. Liberasi adalah pemaknaan
kreatif dari nahi munkar. Liberasi dalam Ilmu Sosial Profetik sesuai
dengan prinsip sosialisme (marxisme, komunisme, teori ketergantungan,
teologi pembebasan). 15)
Hanya saja Ilmu Sosial Profetik tidak hendak menjadikan liberasinya
sebagai ideologi sebagaimana komunisme. Liberasi Ilmu Sosial Profetik
adalah dalam konteks ilmu, ilmu yang didasari nilai-nilai luhur
transendental. Jika nilai-nilai liberatif dalam teologi pembebasan
dipahami dalam konteks ajaran teologis, maka nilai-nilai liberatif dalam
Ilmu Sosial Profetik dipahami dan didudukkan dalam konteks ilmu sosial
yang memiliki tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari
kekejaman kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang
menindas dan hegemoni kesadaran palsu. Lebih jauh, jika marxisme dengan
semangat liberatifnya jutru menolak agama yang dipandangnya konservatif,
Ilmu Sosial Profetik justru mencari sandaran semangat liberatifnya pada
nilai-nilai profetik transendental dari agama yang telah
ditransformasikan menjadi ilmu yang obyektif-faktual.
Bidikan liberasi ada pada realitas empiris, sehingga
liberasi sangat peka dengan persoalan penindasan atau dominasi
struktural. Fenomena kemiskinan yang lahir dari ketimpangan ekonomi
adalah bagian penting dari proyek liberasi. Liberasi menempatkan diri
bukan pada lapangan moralitas kemanusiaan abstrak, tapi pada realitas
kemanusiaan empiris, bersifat kongkrit. Kuntowijoyo bahkan menganggap
sikap menghindar dari yang kongkrit menuju abstrak adalah salah satu
ciri berpikir berdasarkan mitos.
Kuntowijoyo menggariskan empat sasaran liberasi, yaitu
sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem politik
yang membelenggu manusia sehingga tidak dapat mengaktualisasikan dirinya
sebagai makhluk yang merdeka dan mulia. 16)
Transendensi adalah unsur ketiga ISP. Transendensi
merupakan dasar dari dua unsurnya yang lain. Transendensi adalah konsep
yang diderivasikan dari tu’minuna bi Allah (beriman kepada
Allah). Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental
(keimanan) sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban.
Transendensi menempatkan agama (nilai-nilai Islam) pada kedudukan yang
sangat sentral dalam Ilmu Sosial Profetik.
Ekses-ekses negatif yang ditimbulkan oleh modernisasi
mendorong terjadinya gairah untuk menangkap kembali
alternatif-alternatif yang ditawarkan oleh agama untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan kemanusiaan. Manusia produk renaissance adalah
manusia antroposentris yang merasa menjadi pusat dunia, cukup dengan
dirinya sendiri. Melalui proyek rasionalisasi, manusia memproklamirkan
dirinya sebagai penguasa diri dan alam raya. Rasio mengajari cara
berpikir bukan cara hidup. Rasio menciptakan alat-alat bukan kesadaran.
Rasio mengajari manusia untuk menguasai hidup, bukan memaknainya.
Akhirnya manusia menjalani kehidupannya tanpa makna.
Di sinilah transendensi dapat berperan penting dalam
memberikan makna yang akan mengarahkan tujuan hidup manusia. Islam dapat
membawakan kepada dunia yang sekarat, bukan karena kurang alat atau
teknik, akan tetapi karena kekurangan maksud, arti dari masyarakat yang
ingin merealisir rencana Tuhan. Nilai-nilai transendental ketuhanan
inilah yang akan membimbing manusia menuju nilai-nilai luhur
kemanusiaan.
Transendensi adalah dasar dari humanisasi dan
liberasi. Transendensi memberi arah kemana dan untuk tujuan apa
humanisasi dan liberasi itu dilakukan. Transendensi dalam Ilmu Sosial
Profetik di samping berfungsi sebagai dasar nilai bagi praksis
humanisasi dan liberasi, juga berfungsi sebagai kritik. Dengan kritik
transendensi, kemajuan teknik dapat diarahkan untuk mengabdi pada
perkembangan manusia dan kemanusiaan, bukan pada kehancurannya. Melalui
kritik transendensi, masyarakat akan dibebaskan dari kesadaran
materialistik-di mana posisi ekonomi seseorang menentukan
kesadarannya-menuju kesadaran transendental. Transendensi akan menjadi
tolok ukur kemajuan dan kemunduran manusia.
2. Ketegangan Dialektis Antara Structure Dan Superstructure
Surat Ali Imran (3): 110 selain menjadi landasan
Kuntowijoyo dalam merumuskan tiga unsur Ilmu Sosial Profetik juga
menginspirasikan akan pentingnya kesadaran dalam proses-proses sejarah.
Nilai-nilai ilahiah ( amar ma’r u f, nahi munkar) menjadi
tumpuan aktifisme Islam. Peranan kesadaran ini membedakan etika Islam
dari etika materialistis. Pandangan kaum marxis bahwa superstructure (kesadaran) ditentukan oleh structure (basis material) bertentangan dengan pandangan Islam tentang independensi kesadaran. 17)
Dengan ini Ilmu Sosial Profetik berniat untuk menjadi paradigma baru.
Marxisme menawarkan paradigma baru dengan kaidahnya mengenai structure (basis material) dan superstructure (kesadaran) dengan menyatakan bahwa structure menentukan superstructure. Feminisme
menyatakan bahwa seks (jenis kelamin) menentukan kesadaran. Ilmu Sosial
Profetik membalikkan rumusan ini dengan meletakkan kesadaran ( superstructure ) di atas basis material ( structure ). Kuntowijoyo yakin bahwa pandangan ini akan begitu banyak pengaruhnya dalam lapangan ilmu sosial dan humaniora.
Heru Nugroho menyebut pandangan ini dengan istilah Hegellianisme Relijius. Pandangan
Kuntowijoyo ini tidak jauh beda dengan paham idealisme para penganut
Hegel. Namun ada perbedaan mendasar yaitu bahwa dalam idealisme
hegellian, kesadaran rasional (ruh absolut) merupakan motor penggerak
sejarah umat manusia, sedang dalam paradigma Ilmu Sosial Profetik,
kesadaran yang menggerakkan sejarah adalah kesadaran yang didasarkan
pada nilai-nilai ilahiah. 18)
Jika demikian apakah ini berarti Kuntowijoyo menganut
konsep determinisme sebagaimana dinyatakan Heru?. Ilmu sosial selama ini
terombang-ambing di antara dua kutub ekstrem determinisme. Marxisme
menganut determinisme materi dengan konsepnya bahwa structure menentukan superstructure, sedang
sosiologi Weberian menganut determinisme kesadaran. Weber meyakini
bahwa kesadaran independen dari basis material, karenanya ide bisa
menggerakkan perubahan.
Sepintas kita melihat bahwa Ilmu Sosial Profetik dekat
dengan konsep Weber ini. Tapi tampaknya kesan ini kliru karena
Kuntowijoyo sesungguhnya juga mengakui adanya kesadaran material.
Kesadaran material adalah kesadaran yang ditentukan oleh basis
materialnya. 19)
Pandangan deterministis, baik determinisme material
maupun determinisme kesadaran, sama-sama ahistoris dan bersikap apriori
terhadap realitas. Dalam logika Marxis, structure itu bersifat
obyektif, dalam arti independen dari kehendak (subyektifitas, kesadaran)
manusia. Karena itu kesadaran, kehendak, dan subyektifitas manusia ( superstructure ) menjadi tidak bermakna karena structure menentukan superstructure .
Subyektifitas manusia ditundukkan di bawah obyektifitas-obyektifitas
material. Dalam kenyataannya, tidak pernah ada sebuah penundukan yang
berlangsung secara total. Obyektifitas material memang seringkali sangat
hegemonik, tapi subyektifitas tidak pernah benar-benar mampu
ditundukkan secara total. Selalu ada ruang-ruang emansipatoris bagi
subyektifitas kesadaran manusia untuk keluar dari hegemoni materi.
Sebaliknya, logika determinisme kesadaran akan menyatakan bahwa
subyektifitas, ide, dan kesadaran itulah yang akan menentukan structure (basis material) karena superstructure menentukan structure .
Pandangan ini menafikan realitas bahwa terdapat orang-orang yang
kesadarannya bersifat sangat materialistis. Kesadaran material adalah
kesadaran yang sangat kuat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi materialnya.
Karena itu, kedua bentuk determinisme itu sama-sama bermasalah, karena
realitas sesungguhnya bersifat dialektis, tidak deterministik. Realitas
sosial berjalan di atas ketegangan dialektis antara structure dan superstructure, antara basis material dan kesadaran, antara obyektifitas material dan subyektifitas manusiawi.
Ilmu Sosial Profetik tidak boleh terjebak dalam logika
deterministik yang bersikap apriori terhadap realitas. Artinya untuk
menentukan apakah dimensi material ataukah kesadaran yang saat itu lebih
berperan, Ilmu Sosial Profetik hendaknya mendasarkan diri pada
pengamatan empiris atas realitas. Karena realitas itu terlalu kompleks
untuk dijelaskan melalui konsep deterministik. Pandangan deterministik
justru akan memaksa realitas untuk mengikuti teori, sedang teori
seharusnya berdasar realitas, bukan sebaliknya.
Walaupun demikian, penting bagi Ilmu Sosial Profetik
untuk tetap memiliki keberpihakan etis sehingga dapat tetap memainkan
fungsi kritisnya dalam menghadapi realitas. Dalam konteks inilah kita
dapat menyetujui pernyataan Kuntowijoyo bahwa kesadaran diletakkan di
atas basis material, karena Islam mengidealkan fungsi kritis kesadaran
dalam proses transformasi sosial.
MENUJU SOSIOLOGI PROFETIK
Sosiologi Profetik itu kita maksudkan sebagai
sosiologi berparadigma Ilmu Sosial Profetik. Dengan demikian kita dapat
menggariskan beberapa hal. Pertama , sosiologi
profetik memiliki tiga nilai penting sebagai landasannya yaitu
humanisasi, liberasi dan transendensi. Ketiga nilai ini di samping
berfungsi kritik juga akan memberi arah, bidang atau lapangan
penelitian. Kedua , secara
epistemologis, sosiologi profetik berpendirian bahwa sumber pengetahuan
itu ada tiga, yaitu realitas empiris, rasio dan wahyu. Ini bertentangan
dengan positivisme yang memandang wahyu sebagai bagian dari mitos. Ketiga ,
secara metodologis sosiologi profetik jelas berdiri dalam posisi yang
berhadap-hadapan dengan positivisme. Sosiologi profetik menolak
klaim-klaim positivis seperti klaim bebas nilai dan klaim bahwa yang sah
sebagai sumber pengetahuan adalah fakta-fakta yang terindera. Sosiologi
profetik juga menolak kecenderungan ilmu sosial yang hanya menjelaskan
atau memahami realitas lalu memaafkannya. Sosiologi profetik tidak hanya
memahami tapi juga punya cita-cita transformatif (liberasi, humanisasi
dan transendensi). Dalam pengertian ini sosiologi profetik lebih dekat
dengan metodologi sosiologi kritis (teori kritis). Melalui liberasi dan
humanisasi sosiologi profetik selaras dengan kepentingan emansipatoris
sosiologi kritis. Bedanya sosiologi profetik juga mengusung transendensi
sebagai salah satu nilai tujuannya dan menjadi dasar dari liberasi dan
humanisasi. Keempat, sosiologi profetik memiliki keberpihakan etis bahwa kesadaran ( superstructure ) menentukan basis material ( structure ).
Barangkali yang menyebabkan Sosiologi Profetik menjadi
problematis dan kontroversial adalah posisi epistemologisnya yang juga
mengakui wahyu sebagai bagian sah dari sumber pengetahuan.
Kontroversial, karena ilmu sosial modern sudah terlanjur mencampakkan
wahyu dalam kategori mitos atau metafisika yang tidak mempunyai dasar
empiris. Problematis, karena ide ini dapat saja serta merta dipahami
oleh para penganutnya dalam perspektif teologis-normatif, sehingga kita
akan susah membedakan mana sosiologi mana teologi, mana empiris mana
normatif. Dalam konteks ini, Sosiologi Profetik memiliki sebuah agenda
besar: rekonstruksi epistemologis.
Rekonstruksi epistemologis itu pertama ,
harus mampu membongkar akar-akar pemisahan wahyu dari wilayah ilmu
pengetahuan dan selanjutnya membuktikan bahwa wahyu sesungguhnya dapat
secara sah menjadi bagian dari epistemologi ilmu sosial. Dalam hal ini,
tulisan Loay Safi kiranya sangat relevan. Safi mampu membuktikan melalui
penelaahan terhadap sifat-sifat wahyu, rasionalitas, dan kualitas bukti
yang diajukannya, bahwa penolakan terhadap wahyu sebagai sumber
pengetahuan sesungguhnya didasarkan pada alasan-alasan absurd dan
artifisial, dibuat-buat dan bahwa konflik wahyu versus ilmu pengetahuan
bukanlah konflik imperatif ataupun universal, tapi khas Barat.
Karenanya, Louay Safi menyatakan, berbagai upaya untuk mereproduksi
konflik ini dalam kebudayaan muslim adalah artifisial belaka dan
didorong oleh keinginan irrasional untuk berjalan di atas landasan
kebudayaan lain. 20)Kedua ,
rekonstruksi epistemologis juga harus mampu menyediakan dasar-dasar
metodologis untuk dapat membawa masuk wahyu ke dalam kancah ilmu sosial.
Untuk keperluan ini, pendekatan teologis-normatif yang selama ini telah
begitu hegemonik di benak kita harus dirubah ke arah pendekatan
empiris-faktual. Orientasi teks harus dirubah ke arah orientasi
realitas. Gagasan Kuntowijoyo tentang methodological objectivism atau obyektifikasi dapat dipahami dalam konteks ini.
Yang agak mengherankan dari pemikiran Kuntowijoyo
adalah gagasannya tentang paradigma al-Quran untuk perumusan teori.
Dalam banyak tulisan mengenai Ilmu Sosial Profetik, gagasan ini akan
dipandang sebagai salah satu dasar dari ide Ilmu Sosial Profetik. Yang
kita permasalahkan adalah posisi Kuntowijoyo dalam merumuskan gagasannya
ini tampaknya belum beranjak dari pendekatan teologis. Kuntowijoyo
menyatakan, apa yang disebutnya sebagai paradigma al-Quran itu tak lain
adalah mengakui adanya struktur transendental sebagai referensi
untuk menafsirkan realitas. Maksudnya adalah pengakuan mengenai adanya
ide murni yang bersifat adimanusiawi atau bangunan ide transendental
yang bersifat otonom dan sempurna. Persis di sinilah gagasan ini menjadi
teologis karena masih mengasumsikan kesempurnaan ide dan sifatnya yang
dari Tuhan. Konsekwensinya adalah wahyu itu dalam Ilmu Sosial Profetik
diposisikan lebih tinggi daripada realitas atau rasio. Dengan demikian
Ilmu Sosial Profetik jatuh ke dalam sikap teologis atau dogmatis.
Dalam teologi, asal-muasal wahyu serta kesempurnaan
ide Tuhan itu menjadi bagian yang sangat penting bagi iman. Demikian
juga perdebatan mengenai posisi wahyu terhadap rasio menjadi bagian
penting dari wacana teologis. Dalam ilmu sosial, ini semua tidak
relevan. Ilmu sosial tidak mempermasalahkan dari mana wahyu itu berasal
tapi apa yang dikatakan wahyu itu tentang realitas. Klaim kesempurnaan
ide transendental itu, walaupun dalam teologi penting, dalam ilmu sosial
tidak lagi relevan, karena apa yang kita sebut sebagai ide Tuhan itu
sesungguhnya telah melalui proses pemahaman yang sepenuhnya bersifat
manusiawi. Karena itu, ilmu sosial tidak berbicara tentang kebenaran ide
Tuhan yang ada di benak Tuhan itu sendiri tapi berbicara tentang
penafsiran relatif manusia atas ide Tuhan yang dapat saja
direkonstruksi, direvisi, difalsifikasi atau bahkan ditolak tanpa harus
takut dianggap menolak Tuhan karena yang sedang kita permasalahkan
adalah penafsiran manusia yang sifatnya relatif. Ilmu sosial juga tidak
perlu menganut hierarkhi antara wahyu, realitas dan rasio. Tema ini
biarlah menjadi garapan teologi atau ilmu syari’ah. Ilmu sosial perlu
membedakan diri dari teologi ataupun syari’ah. Karena itu ilmu sosial
tidak mempermasalahkan hierarkhi epistemologis tapi apa yang dinyatakan
oleh wahyu, realitas dan rasio itu. 21)
Ketiga sumber pengetahuan ini (wahyu, realitas empiris
dan rasio) dalam Sosiologi Profetik haruslah diletakkan secara
dialektis, karena itu wahyu tidak dapat dilepaskan dari realitas. Wahyu
yang lepas dari realitas hanya akan menjadi ide abstrak yang tidak
berhubungan dengan realitas kemanusiaan. Wahyu haruslah senantiasa
dipahami dalam relasinya dengan realitas empiris. Karena keterkaitan
yang tak terpisahkan dengan realitas maka teori-teori sosial yang
tercipta menjadi bersifat temporal. Ide-ide dalam kitab suci, secara
teologis, memang diyakini bersifat universal dan abadi, tapi sepanjang
dalam kaitannya dengan konteks sosio historis yang khusus maka makna
yang terbentuk darinya menjadi temporal. Pemahaman seperti ini tidak
berurusan dengan masa lalu atau masa yang akan datang, tapi dikaitkan
dengan realitas kontemporer di mana ia muncul. 22)
Memang kadang ia berhubungan dengan masa lalu melalui analisis-analisis
historis tapi dalam konteks ini masa lalu hanya penting dalam rangka
memperjelas realitas kekinian. Jika berbicara tentang masa depan, itupun
sebatas pada mempersiapkannya sebagai bentuk muatan utopis dalam teori
sosial yang berfungsi kritis.
Dari sini lalu muncul persoalan lain, dari manakah
kita mesti memulai, dari realitas atau dari ide?. Sosiologi positivistik
meyakini dengan sepenuh hati bahwa kita harus memulai dari realitas
karena realitaslah yang merupakan sumber valid dari sosiologi. Tapi
benarkah kita dapat sepenuhnya berangkat dari realitas?. Dalam
kenyataannya, kita tidak bisa melakukan aktifitas ilmiah dalam ruang
hampa tanpa ide. Seorang peneliti tidak dapat masuk dalam realitas dalam
kondisi vacuum tanpa konsep apapun. Walaupun konsep itu tidak
dinyatakan secara eksplisit, tapi disadari atau tidak, otak manusia
adalah konstruksi dari berbagai macam ide yang membentuk cara
berpikirnya. Karena itu ide tidak bisa dilepaskan begitu saja. Jadi ide
dan realitas adalah dialektis. Realitas mempengaruhi ide, ide juga ikut
berperan dalam mengkonstruk realitas. Kita tidak perlu bersikukuh untuk
berangkat dari realitas karena pada dasarnya otak kita tidak pernah sepi
dari ide. Ide dan realitas harus didialektikakan dalam proses
penelitian sosial.
POSISI PARADIGMATIK SOSIOLOGI PROFETIK
Agak susah untuk mendefinisikan posisi paradigmatik
Sosiologi Profetik, karena Sosiologi Profetik itu sendiri sesungguhnya
masih merupakan sebuah tawaran yang akan dilihat kemungkinannya di masa
depan. Dengan demikian bangunan Sosiologi Profetik itu sendiri masih
tampak sangat kabur. Meskipun demikian kiranya penting untuk mencoba
menentukan ke mana arah gerak dari Sosiologi Profetik ini di masa depan.
Jika kita mengikuti pembagian Ritzer, Sosiologi
Profetik tampaknya bergerak diantara dua kutub: kutub paradigma fakta
sosial dan kutub paradigma definisi sosial. Melalui pandangan dialektis
antara structure dan superstructure Sosiologi Profetik
agaknya sesuai dengan tiga prinsip dialektika masyarakat yang
dikemukakan Peter L. Berger yaitu eksternalisasi, obyektivasi dan
internalisasi. 23)
Dengan eksternalisasi, dimensi internal subyektif terus-menerus
dicurahkan keluar kedirian manusia dalam bentuk perilaku sosial untuk
membentuk kebudayaan. Kebudayan terbentuk ketika dimensi internal
subyektif telah menjelma menjadi faktisitas yang bersifat eksternal dan
obyektif. Inilah yang disebut dengan obyektivasi. Kesadaran ( superstructure )
adalah bagian dari dimensi internal subyektif. Karena itu, melalui
eksternalisasi, kesadaran ikut menentukan kebudayaan dan menggerakkan
perubahan. Dengan internalisasi, manusia menyerap kembali dimensi
eksternal obyektif yang ada di sekitarnya ke dalam struktur kesadaran
subyektifnya. Basis material ( structure ) adalah bagian dari
dimensi eksternal obyektif. Karena itu, melalui internalisasi, basis
material ikut menentukan kesadaran. Dengan demikian structure dan superstructure, dalam
proses-proses sosial, berdialektika melalui proses eksternalisasi,
obyektivasi dan internalisasi. Dengan cara pandang Sosiologi Profetik
mengakui bahwa makna subyektif atau kesadaran (paradigma definisi
sosial) dan fakta-fakta obyektif—termasuk diantaranya basis
material—(paradigma fakta sosial), adalah dua hal yang menyebabkan
munculnya realitas sebagaimana diungkap Berger dan Thomas Luckmann. 24)
Dialektika antara kesadaran dan basis material ini menunjukkan bahwa
sosiologi profetik mengakui adanya fakta-fakta sosial yang bersifat
eksternal dan koersif (paradigma fakta sosial), sekaligus mengakui
adanya makna-makna subyektif (kesadaran) yang dibangun individu dalam
proses-proses sosialnya (paradigma definisi sosial).
Sosiologi Profetik juga dekat dengan paradigma teori kritis mazhab Frankfurt . Max Horkheimer mencirikan teori kritis dengan Pertama ,
teori kritis bersifat historis, artinya dikembangkan berdasarkan
situasi masyarakat yang konkret dan berpijak di atasnya. Teori kritis
tidak bermaksud menentukan hukum-hukum universal yang berlaku di segala
masa dan tempat. Kedua , teori kritis bersifat kritis terhadap dirinya sendiri. Teori kritis mempertahankan kesahihannya melalui evaluasi, kritik dan refleksi terhadap dirinya sendiri, bukan pada sikap netral. Ketiga , teori kritis memiliki kecurigaan kritis terhadap masyarakat aktual. Keempat ,
teori kritis itu merupakan teori dengan maksud praktis. Ketidaknetralan
teori kritis itu terletak pada pemihakannya pada praksis sejarah
tertentu. Pemihakan itu terdapat dalam tujuan teori kritis yaitu
pembebasan manusia dari perbudakan, membangun masyarakat atas dasar
hubungan antar pribadi yang merdeka dan pemulihan kedudukan manusia
sebagai subyek yang mengolah sendiri kenyataan sosialnya. Dengan
demikian, teori kritis hendak mengkritik keadaan-keadaan aktual dengan
referensi pada tujuannya. Jadi teori kritis mengandung muatan utopia
tertentu sehingga tidak netral. Teori kritis adalah teori dengan maksud
praksis emansipatoris. 25)
Dari pemaparan di atas, tampak bahwa Sosiologi
Profetik sesungguhnya memiliki kedekatan secara metodologis dengan teori
kritis. Menjadi lebih jelas dengan sendirinya bahwa Sosiologi Profetik,
sebagaimana teori kritis, menolak netralitas ilmu pengetahuan
sebagaimana dianut dalam positivisme ilmu sosial. Ilmu Sosial Profetik
bahkan secara tegas menyebut landasan nilainya yaitu berupa nilai-nilai
Islam yang dirumuskan menjadi tiga dan sekaligus menjadi unsur-unsurnya:
humanisasi, liberasi, transendensi.
Melalui pemihakan terhadap ilmu sosial yang perfeksionis, communitarian, yaitu
ilmu sosial yang memperhatikan nilai-nilai pada sebuah obyek
penelitian, komunitas dan penolakan terhadap ilmu sosial empiris
analitis yang menghasilkan ilmu-ilmu yang nomologis, 26)
Sosiologi Profetik dengan demikian, tidak bermaksud mengkonstruksikan
hukum-hukum yang diasumsikan bersifat universal. Karenanya, Sosiologi
Profetik juga bersifat historis
Inilah salah satu perbedaan ide Sosiologi Profetik
dengan sebagian penganut ide islamisasi ilmu sosial yang sering
didengungkan. Islamisasi ilmu sosial walaupun menolak klaim positivis
dalam hal netralitasnya, namun para penganjur islamisasi ilmu sosial
sering terjebak dalam upaya untuk mengkonstruksi hukum-hukum sosial yang
diakui universal. Para penganut ide islamisasi ilmu sosial meyakini
ayat-ayat Tuhan yang dijadikan landasan bagi konstruksi teori-teori
sosial pasti benar dan bersifat universal, karenanya teori yang
dihasilkannya juga bersifat universal. Dalam pengertian ini islamisasi
ilmu sosial sesungguhnya juga bersifat positivis. Sikap seperti ini
tentu saja kontradiktif. Di satu sisi para penganjur islamisasi ilmu
sosial menolak klaim universal dari ilmu sosial barat (positivisme)
beserta motif-motif ideologisnya. Di sisi lain penolakan ini justru
diikuti dengan anjuran untuk merumuskan teori-teori sosial Islam yang
bersifat universal. Penolakan atas klaim universalitas teori-teori
sosial positivis dinegasikan sendiri oleh klaim universalitas teori
sosial Islam. 27
Artinya baik ilmu sosial positivis maupun ide islamisasi ilmu sosial, melalui klaim universalitasnya, keduanya jatuh dalam sikap ideologis. Ini berbeda dengan sosiologi profetik. Sosiologi profetik meletakkan ayat-ayat Tuhan dalam konteks yang historis (berada dalam pusaran ruang dan waktu) sehingga teori yang dihasilkan bersifat historis juga, tidak universal.
Artinya baik ilmu sosial positivis maupun ide islamisasi ilmu sosial, melalui klaim universalitasnya, keduanya jatuh dalam sikap ideologis. Ini berbeda dengan sosiologi profetik. Sosiologi profetik meletakkan ayat-ayat Tuhan dalam konteks yang historis (berada dalam pusaran ruang dan waktu) sehingga teori yang dihasilkan bersifat historis juga, tidak universal.
Melalui humanisasi, liberasi dan transendensi,
Sosiologi Profetik hendak menegaskan posisinya. Sebagaimana teori
kritis, Sosiologi Profetik juga dimaksudkan untuk kepentingan praksis
emansipatoris. Dengan sendirinya, dapat disimpulkan, Sosiologi Profetik
berpendapat bahwa pengetahuan tidak terpisah dari kepentingan, teori
tidak perlu dipisahkan dari praksis. Kepentingan praksis Sosiologi
Profetik adalah humanisasi, liberasi dan transendensi. Sosiologi
Profetik sejak awal memang tidak hanya dimaksudkan untuk menjelaskan
atau memahami realitas sosial apa adanya, tapi lebih dari itu, Sosiologi
Profetik diusulkan untuk kepentingan transformasi sosial menuju
cita-cita profetis.
Yang menjadikan posisi paradigmatik Sosiologi Profetik
menjadi unik adalah bahwa Sosiologi Profetik juga menjadikan
transendensi sebagai bagian penting dari unsur pembentuknya. Karena itu,
dalam Sosiologi Profetik, nilai-nilai relijiusitas menjadi penting
sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban manusia.
Transendensi menjadi dasar dari humanisasi dan liberasi, ini artinya
proses-proses emansipatoris dalam Sosiologi Profetik diletakkan dalam
konteks transendensi.
<strongDARI MANA MESTI MULAI?
Sat hal yang kemudian perlu kita sadari adalah bahwa kita tidak bisa mengembangkan ilmu atau peradaban apapun di dalam kondisi vacuum. Artinya,
keinginan kita untuk mengembangkan sebuah alternatif pemikiran tidak
bisa dilakukan dengan jalan memencilkan diri dan memisahkan diri dari
konstelasi besar ide, gagasan dan peradaban dunia. Keinginan untuk
mengembangkan sosiologi lepas dari paradigma-paradigma yang selama ini
telah berkembang adalah sebuah sikap yang ahistoris dan irrasional yang
hanya akan menjadi kontraproduktif. Sosiologi modern (Barat) adalah
khazanah yang terlalu berharga untuk kita tinggalkan begitu saja. Dalam
konteks ini, Barat dan Timur, Islam dan di luar Islam, adalah
kategori-kategori yang tidak relevan.
Sikap paling bijak adalah menjadikan gagasan-gagasan
yang berkembang dalam sosiologi modern itu sebagai sarana untuk
memperkaya dan kemudian mencari sintesis-sintesis alternatif yang lebih
sesuai dengan konteks keindonesiaan dengan seperangkat kekhasan
budayanya, sebagaimana yang dilakukan Kuntowijoyo selama ini. Bahkan,
kita juga dapat menjadikan beberapa gagasan dalam ilmu sosial modern
yang telah berkembang sebagai pijakan awal dalam mengembangkan sosiologi
profetik. Teori kritis misalnya, memiliki kedekatan paradigmatis dengan
sosiologi profetik dalam konteks membangun ilmu sosial yang
emansipatoris. Saya rasa kita bisa berangkat dari sini. Teori kritis
telah berbicara tentang banyak hal. Misalnya saja, kita bisa belajar
dari teori kritis bahwa untuk mengembangkan ilmu sosial yang tidak
membedakan antara teori dan praksis, antara ilmu dengan kepentingan
kemanusiaan, kita perlu merumuskan konsep praksis seperti apa yang pas.
Jika Marxisme mendasarkan praksisnya pada konsep kerja, teori kritis
(Generasi kedua,-Habermas) mendasarkannya pada konsep komunikasi, maka
sosiologi profetik sebagai ilmu sosial yang berorientasi praksis pun
harus merumuskan konsep praksisnya, apakah akan mengambil gagasan
Habermas atau akan menawarkan sesuatu yang lain?. Transendensi misalnya,
menurut saya, dapat kita jadikan sebagai salah satu alternatif konsep
praksis itu.
Singkatnya, kita ingin menjadikan sosiologi profetik
sebagai bagian dari perkembangan paradigma sosiologi modern dan bukan
lepas darinya, tentu saja dengan kekhasan alternatif yang hendak kita
tawarkan.
Untuk itulah, kita perlu merumuskan agenda apa yang
akan kita lakukan. Pada prinsipnya sosiologi profetik memiliki beberapa
urutan agenda sebagaimana terlihat pada bagan di bawah ini:
Paradigma –> Konstruk Teori –> Praxis –> Transformasi Sosial
Jika kita mengacu pada bagan di bawah ini tampaknya
ISP yang dicetuskan oleh Kuntowijoyo masih berkutat pada wilayah
paradigma. Karena itu setidaknya ada tiga agenda penting yang harus kita
lakukan untuk mengembangkan sosiologi profetik yaitu teorisasi, praxis dan transformasi . Kita perlu menekankan teorisasi karena
selama ini, umat Islam ini miskin teori. Kita lebih banyak berkutat
pada masalah-masalah normatif. Akibatnya kita tidak paham realitas
karena kita tidak memiliki perangkat teoritis untuk memahaminya.
Konsepsi normatif seringkali berbeda, bahkan tak jarang berseberangan
dengan realitas. Itu sebabnya, umat Islam kerap kebingungan ketika
berhadapan dengan realitas yang ternyata tidak selalu sesuai dengan apa
yang dikonsepkan secara normatif.
Selanjutnya adalah praxis . Untuk keperluan ini, kita memerlukan sebuah konsep praxis. Praxis adalah konsep sentral bagi teori-teori yang mencari pertautannya dengan kehidupan sosial karena pemahaman tentang praxis menentukan bagaimana suatu teori dengan maksud praktis dilaksanakan. 28)
Ini adalah salah satu agenda besar yang harus dikaji lebih lanjut oleh
Sosiologi Profetik. Sosiologi Profetik untuk dapat mewujudkan cita-cita
humanisasi, liberasi dan transendensi perlu merumuskan konsep praxis seperti apa yang hendak ia gunakan.
Terakhir, sebagai konsekwensi teoritis ISP, kita juga perlu transformasi .
Umat Islam selama ini tidak memiliki kesadaran historis, sehingga
selalu mengulang persoalan-persoalan lama. Cara berpikir ideologis
misalnya, sampai saat ini masih kental di kalangan umat Islam, bahkan
masih ada yang tenggelam dalam cara berpikir mitis dan magis, padahal
kita sudah sampai pada zaman ilmu (mengikuti periodesasi sejarah
Indonesia versi Kuntowijoyo: mitos, ideologi dan ilmu). Untuk itu ISP
harus terlibat aktif dalam aktifisme sejarah untuk melakukan proses
transformasi sosial Indonesia menuju tatanan masyarakat yang lebih
humanis, liberatif dan transenden.
Untuk keperluan transformasi, sosiologi profetik perlu
merumuskan kelompok sasarannya. Pada Marxisme, teorinya dialamatkan
kepada kaum proletariat sebagai ‘jantung hati revolusi’. Generasi
pertama teori kritis mengalamatkan teorinya pada cendekiawan dan
mahasiswa karena mereka tak lagi menaruh harapan pada kaum proletar.
Habermas mengalamatkan teorinya pada rasio manusia yang berpihak.
Habermas memang tidak menunjuk suatu golongan tertentu dalam masyarakat
sebagai kelompok sasarannya, tapi rasio yang memihak itu akan
menunjukkan siapa yang harus dibebaskan. 29)
Sosiologi Profetik, menurut saya, perlu merumuskan sasarannya. Praksis
liberasi, humanisasi, dan transendensi memerlukan identifikasi sasaran
untuk dapat menjadi praktis. Konsep praxis dan kelompok sasaran
sosiologi profetik adalah dua hal yang penting untuk dapat mewujudkan
teori sosiologi profetik ke dalam kenyataan sosial.
PENUTUP: MENEMBUS BATAS, KELUAR DARI BELENGGU
Seekor ikan melompat keluar dari aquarium. Seketika
dia tersadar, dari luar dia bisa melihat bahwa dunia yang selama ini dia
tempati ternyata hanyalah sebuah kotak kecil berisi air yang ukurannya
sangat terbatas. Di luar, dia dapat melihat bahwa dunia ini tidak hanya
seluas aquarium.
Demikianlah, para sosiolog kita tampaknya perlu meniru
ulah si ikan. Para sosiolog perlu mencoba untuk keluar dari
batasan-batasan paradigmatik yang telah tersedia dalam sosiologi untuk
menciptakan alternatif-alternatif paradigmatik yang lebih sesuai dengan
kondisi sosio-kultural masyarakat Indonesia . Sosiologi profetik kiranya
merupakan alternatif semacam itu.
Dengan mencoba keluar dari batasan paradigmatik yang
sudah tersedia, kita dapat melihat keterbatasan paradigma yang sudah ada
sehingga mampu menawarkan sebuah alternatif. Tentu saja ini perlu
keberanian sebagaimana sang ikan. Ikan yang keluar dari aquarium itu
bisa jadi menanggung resiko yang tidak ringan seperti tidak lagi
mendapat jatah makan dari tuannya. Tapi dia telah melakukan langkah
berani dan itu yang harus dihargai.
FOOTNOTES
1 L. Laeyendecker, Tata, Perubahan dan Ketimpangan: Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, (Orde,
Verandering, Ogelijkheid: Een Inleiding in De Geschiedenis van De
Sociologie), alih bahasa Sumekto, Jakarta : Gramedia, 1983, hlm. 137
2 F. Budi Hardiman, “Ilmu Sosial dalam Diskursus Modernisme dan Pascamodernisme”, dalam Suplemen Jurnal Ulumul Quran, (Nomor 1, Vol. V, Th. 1994), hlm. 3.
3 Anthony Giddens (Ed.), Positivism and Sociology , London : Heinemann, 1975, hlm. 3-4
4
David J. Gray, “Value Free Sociology: A Doctrine of Hypocrisy and
Irresponsibility”, dalam Morris L. Medley dan James E. Conyers (Ed.), Sociology for The Seventies , (New York: John Wiley, 1968), hlm. 14.
5 F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, cet. 2, Yogyakarta : Kanisius, 1990, hlm. 58.
6Ibid.
7 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid , ( Bandung : Mizan, 2001), hlm. 362.
8Ibid. hlm. 364-365.
9 Wawancara Arief Subhan dengan Kuntowijoyo, “Dr. Kuntowijoyo: al-Quran Sebagai Paradigma”, Jurnal Ulumul Quran, (nomor 4, volume V, tahun 1994), hlm. 99-100.
10 Kuntowijoyo, Muslim ., hlm. 373.
11 Kunto memaparkan gagasannya ini pada bukunya yang cukup terkenal Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997).
12 Kuntowijoyo, Muslim ., hlm. 364-365.
13 Tentang humanisme teosentris, baca Kuntowijoyo, Paradigma. Islam: Interpretasi Untuk Aksi , Bandung : Mizan, 1991, hlm. 228-230.
14 Kuntowijoyo, Muslim ., hlm. 366-369.
15 Kuntowijoyo, “Paradigma Baru Ilmu-ilmu Islam: Ilmu Sosial Profetik Sebagai Gerakan Intelektual”, Jurnal Mukaddimah (Nomor 7, Tahun V/1999), hlm. 104.
16 Kuntowijoyo, “Menuju Ilmu Sosial Profetik”, Republika (19 Agustus 1997)
17 Kuntowijoyo, Muslim ., hlm. 358.
18 Heru Nugroho, “Mencari Legitimasi Akademik Ilmu Sosial Profetik”, Kedaulatan Rakyat , (13 Desember 1997).
19 Kuntowijoyo, Identitas. , hlm. 224
20 Louay Safi, Ancangan Metodologi Alternatif: Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat , ( The Foundation of Knowladge: A Comparative Study In Islamic and Western Methodes of Inquiry ), alih bahasa Imam Khoiri, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2001, hlm. 214.
21 Secara lebih panjang, persoalan ini saya bahas dalam skripsi saya, Husnul Muttaqin, Menuju
Sosiologi Profetik: Telaah Atas Gagasan Kuntowijoyo tentang Ilmu Sosial
Profetik dan Relevansinya Bagi Pengembangan Sosiologi , skripsi, Yogyakarta : FISIPOL UGM, 2003, hlm. 151-159.
22 Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir al-Quran Menurut Hassan Hanafi , kata pengantar M. Amin Abdullah, Jakarta: Teraju, 2002, hlm. 150.
23 Berger membahasnya secara panjang lebar dalam Peter L. Berger, Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial (The Sacred Canopy), alih bahasa Hartono, cet. 1 Jakarta : LP3S, 1991, hlm. 4-23.
24 Peter Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality , Garden City, NY.: Anchor Books, 1967, hlm. 18. Baca juga George Ritzer, Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Sociology: A Multiple Paradigm Science) , disadur oleh Alimandan, Jakarta : Rajawali Press, 1985, hlm. 115.
25 Dikutip dalam F Budi Hardiman, Kritik ., hlm. 58.
26 Kuntowijoyo, Muslim ., hlm. 360-361.
27
Kita dapat menemukan sikap-sikap seperti ini, baik secara eksplisit
maupun implisit. Secara eksplisit dapat dibaca misalnya dalam karya
Ilyas ba Yunus dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer ( Islamic sociologi: an Introduction ),
alih bahasa Hamid Basyaib, Bandung : Mizan, 1988, hlm. 61. Dinyatakan
bahwa sosiologi Islam harus dapat diterapkan pada manusia secara
universal, dimana saja dan kapan saja. pernyataan yang sama juga kita
temukan pada tulisan Syed Farid Alatas, “Agama dan Ilmu-ilmu sosial”,
dalam jurnal Ulumul Qur’an (No2, vol 5 th.
1994), hlm. 47. Alatas menyatakan bahwa ilmu sosial Islam haruslah dapat
digunakan untuk menguraikan dan menafsirkan seluruh umat manusia.
Secara implisit dapat kita baca pada tulisan Ismail Raji Al Faruqi,
‘Mengislamkan Ilmu-Ilmu Sosial’, dalam Abubakar Bagader (ed.), Islamisasi Ilmu-Ilmu Sosial (Islam And Sociological Perspective ),
Alibasa Muchtar Effendi Harahap, Yogyakarta : PLP 2M, 1985, hlm. 16 –
17. Dalam tulisan ini, Alfaruqi menyatakan bahwa ilmu-ilmu sosial, yang
disebutnya sebagai ilmu ummatiyah , berusaha menemukan dan
memahami sunatullah. Pernyataan ini dengan sendirinya mengasumsikan
adanya hukum-hukum yang bersifat universal, karena dalam Islam suntullah
diyakini tidak pernah berubah di manapun dan kapanpun .
28F. Budi Hardiman, Kritik ., hlm. 86.
29Ibid ., hlm 82-84.
DAFTAR PUSTAKA
L. Laeyendecker, Tata, Perubahan dan Ketimpangan: Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, (Orde,
Verandering, Ogelijkheid: Een Inleiding in De Geschiedenis van De
Sociologie), alih bahasa Sumekto, Jakarta : Gramedia, 1983
F. Budi Hardiman, “Ilmu Sosial dalam Diskursus Modernisme dan Pascamodernisme”, dalam Suplemen Jurnal Ulumul Quran, (Nomor 1, Vol. V, Th. 1994)
Anthony Giddens (Ed.), Positivism and Sociology , London : Heinemann, 1975
F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, cet. 2, Yogyakarta : Kanisius, 1990,
Kuntowijoyo, Paradigma. Islam: Interpretasi Untuk Aksi , Bandung : Mizan, 1991
Kuntowijoyo , Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental , Bandung : Mizan, 2001
Heru Nugroho, “Mencari Legitimasi Akademik Ilmu Sosial Profetik”, Kedaulatan Rakyat , (13 Desember 1997).
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam , Bandung : Mizan, 1997., hlm. 224
Louay Safi, Ancangan Metodologi Alternatif: Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat , ( The Foundation of Knowladge: A Comparative Study In Islamic and Western Methodes of Inquiry ), alih bahasa Imam Khoiri, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2001
Husnul Muttaqin, Menuju Sosiologi
Profetik: Ttelaah Atas Gagasan Kuntowijoyo tentang Ilmu Sosial Profetik
dan Relevansinya Bagi Pengembangan Sosiologi , skripsi, Yogyakarta : FISIPOL UGM, 2003
Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir al-Quran Menurut Hassan Hanafi , kata pengantar M. Amin Abdullah, ( Jakarta : Teraju, 2002
Peter L. Berger, Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial (The Sacred Canopy), alih bahasa Hartono, cet. 1 Jakarta : LP3S, 1991
Peter Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality , Garden City, NY.: Anchor Books, 1967
George Ritzer, Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Sociology: A Multiple Paradigm Science) , disadur oleh Alimandan, Jakarta : Rajawali Press, 1985
Ilyas ba Yunus dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer ( Islamic sociologi: an Introduction ), alih bahasa Hamid Basyaib, Bandung : Mizan, 1988
Syed Farid Alatas, “Agama dan Ilmu-ilmu sosial”, dalam jurnal Ulumul Qur’an (No2, vol 5 th. 1994)
Abubakar Bagader (ed.), Islamisasi Ilmu-Ilmu Sosial (Islam And Sociological Perspective ), Alibasa Muchtar Effendi Harahap, Yogyakarta : PLP 2M, 1985