Membumikan Al-QuranMembumikan Al-Quran
oleh Dr. M. Quraish Shihab
Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Al-Quran, Ilmu, dan Filsafat Manusia
Al-Quran Al-Karim dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu dan filsafat
manusia, dapat disimpulkan mengandung tiga hal pokok:
Pertama, tujuan.
Akidah atau kepercayaan, yang mencakup kepercayaan kepada (a) Tuhan
dengan segala sifat-sifat-Nya; (b) Wahyu, dan segala kaitannya dengan,
antara lain, Kitab-kitab Suci, Malaikat, dan para Nabi; serta (c) Hari
Kemudian bersama dengan balasan dan ganjaran Tuhan.
Budi pekerti, yang bertujuan mewujudkan keserasian hidup bermasyarakat,
dalam bentuk antara lain gotong-royong, amanat, kebenaran, kasih sayang,
tanggung jawab, dan lain-lain.
Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sesamanya,
dirinya, dan alam sekitarnya.
Kedua, cara.
Ketiga hal tersebut diusahakan pencapaiannya oleh Al-Quran melalui empat
cara:
Menganjurkan manusia untuk memperhatikan alam raya, langit, bumi,
bintang-bintang, udara, darat, lautan dan sebagainya, agar manusia
--melalui perhatiannya tersebut-- mendapat manfaat berganda: (a)
menyadari kebesaran dan keagungan Tuhan; dan (b) memanfaatkan segala
sesuatu untuk membangun dan memakmurkan bumi di mana ia hidup.
Menceritakan peristiwa-peristiwa sejarah untuk memetik pelajaran dari
pengalaman masa lalu.
Membangkitkan rasa yang terpendam dalam jiwa, yang dapat mendorong
manusia untuk mempertanyakan dari mana ia datang, bagaimana unsur-unsur
dirinya, apa arti hidupnya dan ke mana akhir hayatnya (yang
jawaban-jawabannya diberikan oleh Al-Quran).
Janji dan ancaman baik di dunia (yakni kepuasan batin dan kebahagiaan
hidup bahkan kekuasaan bagi yang taat, dan sebaliknya bagi yang durhaka)
maupun di akhirat dengan surga atau neraka.
Ketiga, pembuktian.
Untuk membuktikan apa yang disampaikan oleh Al-Quran seperti yang disebut
di atas, maka di celah-celah redaksi mengenai butir-butir tersebut,
ditemukan mukjizat Al-Quran seperti yang pada garis besarnya dapat
terlihat dalam tiga hal pokok:
Susunan redaksinya yang mencapai puncak tertinggi dari sastra bahasa
Arab.
Ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin yang diisyaratkannya.
Ramalan-ramalan yang diungkapkan, yang sebagian telah terbukti
kebenarannya.
Melihat kandungan Al-Quran seperti yang dikemukakan secara selayang
pandang tersebut, tidak diragukan lagi bahwa Al-Quran berbicara tentang
ilmu pengetahuan. Kitab Suci itu juga berbicara tentang filsafat dalam
segala bidang pembahasan, dengan memberikan jawaban-jawaban yang konkret
menyangkut hal-hal yang dibicarakan itu, sesuai dengan fungsinya: memberi
petunjuk bagi umat manusia (QS 2:2) dan memberi jalan keluar bagi
persoalan-persoalan yang mereka perselisihkan (QS 2:213).
Al-Quran di Tengah Perkembangan Ilmu
Sebelum berbicara tentang masalah tersebut, terlebih dahulu perlu
diperjelas pengertian ilmu yang dimaksud dalam tulisan ini.
Al-Quran menggunakan kata 'ilm dalam berbagai bentuk dan artinya sebanyak
854 kali. Antara lain sebagai "proses pencapaian pengetahuan dan objek
pengetahuan" (QS 2:31-32). Pembicaraan tentang ilmu mengantarkan kita
kepada pembicaraan tentang sumber-sumber ilmu di samping klasifikasi dan
ragam disiplinnya.
Sementara ini, ahli keislaman berpendapat bahwa ilmu menurut Al-Quran
mencakup segala macam pengetahuan yang berguna bagi manusia dalam
kehidupannya, baik masa kini maupun masa depan; fisika atau metafisika.
Berbeda dengan klasifikasi ilmu yang digunakan oleh para filosof --Muslim
atau non-Muslim-- pada masa-masa silam, atau klasifikasi yang belakangan
ini dikenal seperti, antara lain, ilmu-ilmu sosial, maka pemikir Islam
abad XX, khususnya setelah Seminar Internasional Pendidikan Islam di
Makkah pada tahun 1977, mengklasifikasikan ilmu menjadi dua katagori:
Ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan wahyu Ilahi yang
tertera dalam Al-Quran dan Hadis serta segala yang dapat diambil dari
keduanya.
Ilmu yang dicari (acquired knowledge) termasuk sains kealaman dan
terapannya yang dapat berkembang secara kualitatif dan penggandaan,
variasi terbatas dan pengalihan antarbudaya selama tidak bertentangan
dengan Syari'ah sebagai sumber nilai.
Dewasa ini diakui oleh ahli-ahli sejarah dan ahli-ahli filsafat sains
bahwa sejumlah gejala yang dipilih untuk dikaji oleh komunitas ilmuwan
sebenarnya ditentukan oleh pandangan terhadap realitas atau kebenaran yang
telah diterima oleh komunitas tersebut. Dalam hal ini, satu-satunya yang
menjadi tumpuan perhatian sains mutakhir adalah alam materi.
Di sinilah terletak salah satu perbedaan antara ajaran Al-Quran dengan
sains tersebut. Al-Quran menyatakan bahwa objek ilmu meliputi batas-batas
alam materi (physical world), karena itu dapat dipahami mengapa Al-Quran
di samping menganjurkan untuk mengadakan observasi dan eksperimen (QS
29:20), juga menganjurkan untuk menggunakan akal dan intuisi (antara lain,
QS 16:78).
Hal ini terbukti karena, menurut Al-Quran, ada realitas lain yang tidak
dapat dijangkau oleh pancaindera, sehingga terhadapnya tidak dapat
dilakukan observasi atau eksperimen seperti yang ditegaskan oleh
firman-Nya: Maka Aku bersumpah dengan apa-apa yang dapat kamu lihat dan
apa-apa yang tidak dapat kamu lihat (QS 69:38-39). Dan, Sesungguhnya ia
(iblis) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari satu tempat yang tidak
dapat kamu melihat mereka (QS 7:27).
"Apa-apa" tersebut sebenarnya ada dan merupakan satu realitas, tapi tidak
ada dalam dunia empiris. Ilmuwan tidak boleh mengatasnamakan ilmu untuk
menolaknya, karena wilayah mereka hanyalah wilayah empiris. Bahkan pada
hakikatnya alangkah banyaknya konsep abstrak yang mereka gunakan, yang
justru tidak ada dalam dunia materi seperti misalnya berat jenis benda,
atau akar-akar dalam matematika, dan alangkah banyak pula hal yang dapat
terlihat potensinya namun tidak dapat dijangkau hakikatnya seperti cahaya.
Hal ini membuktikan keterbatasan ilmu manusia (QS 17:85). Kebanyakan
manusia hanya mengetahui fenomena. Mereka tidak mampu menjangkau nomena
(QS 30:7). Dari sini dapat dimengerti adanya pembatasan-pembatasan yang
dilakukan oleh Al-Quran dan yang --di sadari atau tidak-- telah diakui dan
dipraktekkan oleh para ilmuwan, seperti yang diungkapkan di atas.
Pengertian ilmu dalam tulisan ini hanya akan terbatas pada pengertian
sempit dan terbatas tersebut. Atau dengan kata lain dalam pengertian
science yang meliputi pengungkapan sunnatullah tentang alam raya
(hukum-hukum alam) dan perumusan hipotesis-hipotesis yang memungkinkan
seseorang dapat mempersaksi peristiwa-peristiwa alamiah dalam kondisi
tertentu.
Seperti telah dikemukakan dalam pendahuluan ketika berbicara tentang
kandungan Al-Quran, bahwa Kitab Suci ini antara lain menganjurkan untuk
mengamati alam raya, melakukan eksperimen dan menggunakan akal untuk
memahami fenomenanya, yang dalam hal ini ditemukan persamaan dengan para
ilmuwan, namun di lain segi terdapat pula perbedaan yang sangat berarti
antara pandangan atau penerapan keduanya.
Sejak semula Al-Quran menyatakan bahwa di balik alam raya ini ada Tuhan
yang wujud-Nya dirasakan di dalam diri manusia (antara lain QS 2:164;
51:20-21), dan bahwa tanda-tanda wujud-Nya itu akan diperlihatkan-Nya
melalui pengamatan dan penelitian manusia, sebagai bukti kebenaran
Al-Quran (QS 41:53).
Dengan demikian, sebagaimana Al-Quran merupakan wahyu-wahyu Tuhan untuk
menjelaskan hakikat wujud ini dengan mengaitkannya dengan tujuan akhir,
yaitu pengabdian kepada-Nya (QS 51-56), maka alam raya ini --yang
merupakan ciptaan-Nya-- harus berfungsi sebagaimana fungsi Al-Quran dalam
menjelaskan hakikat wujud ini dan mengaitkannya dengan tujuan yang sama.
Dan dengan demikian, ilmu dalam pengertian yang sempit ini sekalipun,
harus berarti: "Pengenalan dan pengakuan atas tempat-tempat yang benar
dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sehingga membimbing
manusia ke arah pengenalan dan pengakuan akan 'tempat' Tuhan yang tepat di
dalam tatanan wujud dan keperluan."
Dalam definisi ini kita lihat bahwa konsep tentang "tempat yang tepat"
berhubungan dengan dua wilayah penerapan. Di satu pihak, ia mengacu kepada
wilayah ontologis yang mencakup manusia dan benda-benda empiris, dan di
pihak lain kepada wilayah teologis yang mencakup aspek-aspek keagamaan dan
etis.
Hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan bagaimana Al-Quran selalu
mengaitkan perintah-perintahnya yang berhubungan dengan alam raya dengan
perintah pengenalan dan pengakuan atas kebesaran dan kekuasaan-Nya.
Bahkan, ilmu --dalam pengertiannya yang umum sekalipun-- oleh wahyu
pertama Al-Quran (iqra'), telah dikaitkan dengan bismi rabbika. Maka ini
berarti bahwa "ilmu tidak dijadikan untuk kepentingan pribadi, regional
atau nasional, dengan mengurbankan kepentingan-kepentingan lainnya". Ilmu
pada saat --dikaitkan dengan bismi rabbika-- kata Prof. Dr. 'Abdul Halim
Mahmud, Syaikh Jami' Al-Azhar, menjadi "demi karena (Tuhan) Pemeliharamu,
sehingga harus dapat memberikan manfaat kepada pemiliknya, warga
masyarakat dan bangsanya. Juga kepada manusia secara umum. Ia harus
membawa kebahagiaan dan cahaya ke seluruh penjuru dan sepanjang masa."
Ayat-ayat Al-Quran seperti antara lain dikutip di atas, disamping
menggambarkan bahwa alam raya dan seluruh isinya adalah intelligible
(dapat dijangkau oleh akal dan daya manusia), juga menggarisbawahi bahwa
segala sesuatu yang ada di alam raya ini telah dimudahkan untuk
dimanfaatkan manusia (QS 43:13). Dan dengan demikian, ayat-ayat sebelumnya
dan ayat ini memberikan tekanan yang sama pada sasaran ganda: tafakkur
yang menghasilkan sains, dan tashkhir yang menghasilkan teknologi guna
kemudahan dan kemanfaatan manusia. Dan dengan demikian pula, kita dapat
menyatakan tanpa ragu bahwa "Al-Quran" membenarkan --bahkan mewajibkan--
usaha-usaha pengembangan ilmu dan teknologi, selama ia membawa manfaat
untuk manusia serta memberikan kemudahan bagi mereka.
Tuhan, sebagaimana diungkapkan Al-Quran, "menginginkan kemudahan untuk
kamu dan tidak menginginkan kesukaran" (QS 2:85). Dan Tuhan "tidak ingin
menjadikan sedikit kesulitan pun untuk kamu" (QS 5:6). Ini berarti bahwa
segala produk perkembangan ilmu diakui dan dibenarkan oleh Al-Quran selama
dampak negatif darinya dapat dihindari.
Saat ini, secara umum dapat dibuktikan bahwa ilmu tidak mampu menciptakan
kebahagiaan manusia. Ia hanya dapat menciptakan pribadi-pribadi manusia
yang bersifat satu dimensi, sehingga walaupun manusia itu mampu berbuat
segala sesuatu, namun sering bertindak tidak bijaksana, bagaikan seorang
pemabuk yang memegang sebilah pedang, atau seorang pencuri yang memperoleh
secercah cahaya di tengah gelapnya malam.
Bersyukur kita bahwa akhir-akhir ini telah terdengar suara-suara yang
menggambarkan kesadaran tentang keharusan mengaitkan sains dengan
nilai-nilai moral keagamaan.
Beberapa tahun lalu di Italia diadakan suatu permusyawaratan ilmiah
tentang "cultural relations for the future" (hubungan kebudayaan di
kemudian hari) dan ditemukan dalam laporannya tentang "reconstituting the
human community" yang kesimpulannya, antara lain, sebagai berikut: "Untuk
menetralkan pengaruh teknologi yang menghilangkan kepribadian, kita harus
menggali nilai-nilai keagamaan dan spiritual."
Apa yang diungkapkan ini sebelumnya telah diungkapkan oleh filosof
Muhammad Iqbal, yang ketika itu menyadari dampak negatif perkembangan ilmu
dan teknologi. Beliau menulis: "Kemanusiaan saat ini membutuhkan tiga hal,
yaitu penafsiran spiritual atas alam raya, emansipasi spiritual atas
individu, dan satu himpunan asas yang dianut secara universal yang akan
menjelaskan evolusi masyarakat manusia atas dasar spiritual."
Apa yang diungkapkan itu adalah sebagian dari ajaran Al-Quran menyangkut
kehidupan manusia di alam raya ini, termasuk perkembangan ilmu
pengetahuan.
Segi lain yang tidak kurang pentingnya untuk dibahas dalam masalah
Al-Quran dan ilmu pengetahuan adalah kandungan ayat-ayatnya di
tengah-tengah perkembangan ilmu.
Seperti yang dikemukakan di atas bahwa salah satu pembuktian tentang
kebenaran Al-Quran adalah ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin yang
diisyaratkan. Memang terbukti, bahwa sekian banyak ayat-ayat Al-Quran yang
berbicara tentang hakikat-hakikat ilmiah yang tidak dikenal pada masa
turunnya, namun terbukti kebenarannya di tengah-tengah perkembangan ilmu,
seperti:
Teori tentang expanding universe (kosmos yang mengembang) (QS 51:47).
Matahari adalah planet yang bercahaya sedangkan bulan adalah pantulan
dari cahaya matahari (QS 10:5).
Pergerakan bumi mengelilingi matahari, gerakan lapisan-lapisan yang
berasal dari perut bumi, serta bergeraknya gunung sama dengan pergerakan
awan (QS 27:88).
Zat hijau daun (klorofil) yang berperanan dalam mengubah tenaga radiasi
matahari menjadi tenaga kimia melalui proses fotosintesis sehingga
menghasilkan energi (QS 36:80). Bahkan, istilah Al-Quran, al-syajar
al-akhdhar (pohon yang hijau) justru lebih tepat dari istilah klorofil
(hijau daun), karena zat-zat tersebut bukan hanya terdapat dalam daun
saja tapi di semua bagian pohon, dahan dan ranting yang warnanya hijau.
Bahwa manusia diciptakan dari sebagian kecil sperma pria dan yang
setelah fertilisasi (pembuahan) berdempet di dinding rahim (QS 86:6 dan
7; 96:2).
Demikian seterusnya, sehingga amat tepatlah kesimpulan yang dikemukakan
oleh Dr. Maurice Bucaille dalam bukunya Al-Qur'an, Bible dan Sains Modern,
bahwa tidak satu ayat pun dalam Al-Quran yang bertentangan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan.
Dari sini ungkapan "agama dimulai dari sikap percaya dan iman", oleh
Al-Quran, tidak diterima secara penuh. Bukan saja karena ia selalu
menganjurkan untuk berpikir, bukan pula hanya disebabkan karena ada dari
ajaran-ajaran agama yang tidak dapat diyakini kecuali dengan pembuktian
logika atau bukan pula disebabkan oleh keyakinan seseorang yang
berdasarkan "taqlid" tidak luput dari kekurangan, tapi juga karena
Al-Quran memberi kesempatan kepada siapa saja secara sendirian atau
bersama-sama dan kapan saja, untuk membuktikan kekeliruan Al-Quran dengan
menandinginya walaupun hanya semisal satu surah sekalipun (QS 2:23).
Al-Quran di Tengah Perkembangan Filsafat
Apakah filsafat itu, dan bagaimana perkembangannya? Adalah satu pertanyaan
yang memerlukan jawaban singkat sebelum permasalahan yang diketengahkan
ini diuraikan.
Bertrand Russel menjelaskan bahwa filsafat merupakan jenis pengetahuan
yang memberikan kesatuan dan sistem ilmu pengetahuan melalui pengujian
kritis terhadap dasar-dasar keputusan, prasangka-prasangka dan
kepercayaan. Hal ini disebabkan karena pemikiran filsafat bersifat
mengakar (radikal) yang mencoba memberikan jawaban menyeluruh dari A-Z,
mencari yang sedalam-dalamnya sehingga melintasi dimensi fisik dan teknik.
Objek penelitiannya ialah segala yang ada dan yang mungkin ada, baik "ada
yang umum" (ontologi 'ilm al-kainat) maupun "ada yang khusus atau mutlak"
(Tuhan). Atau, dengan kata lain, objek penelitian filsafat mencakup
pembahasan-pembahasan logika, estetika, etika, politik dan metafisika.
Melihat demikian luasnya pembahasan filsafat tersebut, maka pembahasan
kita kali ini dibatasi pada bagian "ada yang umum". Itu pun hanya dalam
masalah yang menjadi pusat perhatian pemikir dewasa ini dan yang merupakan
penentu jalannya sejarah kemanusiaan, yakni "manusia". Karena, memang,
dewasa ini orang tidak banyak lagi berbicara tentang bukti wujud Tuhan
atau kebenaran wahyu, tidak pula menyangkut pertentangan agama dengan
aliran-aliran materialisme, tapi topik pembicaraan adalah "manusia" karena
pandangan tentang hakikat manusia akan memberikan arah dari seluruh sikap
dan memberikan penafsiran terhadap semua gejala.
Dalam abad pertengahan, manusia dipandang sebagai salah satu makhluk
ciptaan Tuhan yang melebihi makhluk-makhluk lainnya, pandangan yang
sejalan dengan keyakinan agama serta menganggap bahwa bumi tempat manusia
hidup merupakan pusat dari alam semesta. Tapi pandangan ini digoyahkan
oleh Galileo yang membuktikan bahwa bumi tempat tinggal manusia, tidak
merupakan pusat alam raya. Ia hanya bagian kecil dari planet-planet yang
mengitari matahari. Pandangan yang didukung oleh penelitian ilmiah ini,
bertentangan dengan penafsiran Kitab Suci (Kristen) dan membuka satu
lembaran baru dalam sejarah manusia Barat yang menimbulkan krisis keimanan
dan krisis lainnya.
Disusul kemudian dengan teori evolusi yang dikemukakan oleh Darwin.
Segi-segi negatif dari teori ini bukannya hanya diakibatkan oleh teori
tersebut, tapi lebih banyak lagi diakibatkan oleh kesan-kesan yang
ditimbulkannya dalam pikiran masyarakat serta para ahli pada masanya dan
masa sesudahnya. Dari Darwin perjalanan dilanjutkan oleh Sigmund Freud
yang mengadakan pengamatan terhadap sekelompok orang-orang sakit
(abnormal) dan yang pada akhimya berkesimpulan, bahwa manusia pada
hakikatnya adalah "makhluk bumi" yang segala aktivitasnya bertumpu dan
terdorong oleh libido, sedangkan agama -menurutnya-- berpangkal dari
Oedipus complex dan, dengan demikian, Tuhan tidak lain kecuali ilusi
belaka.
Kemajuan yang dicapai Eropa di bidang industri dan ilmu pengetahuan sejak
masa renaissance, mengantarkan masyarakat untuk lebih jauh menolak
kekuasaan agama secara total yang mengakibatkan pula kekaguman yang
berlebihan kepada otoritas sains yang terlepas dari nilai-nilai spiritual
keagamaan, dan yang pada akhirnya mencapai puncaknya pada peristiwa
pemboman di Hiroshima dan Nagasaki pada waktu Perang Dunia II. Setelah itu
terjadi beberapa hal yang mendasar: agama, antara lain, mulai
disebut-sebut walaupun dengan suara yang sayup-sayup. Pretensi sains
dipermasalahkan.
Eksistensialisme mulai berbicara lagi: "Sebenarnya tak ada arah yang harus
dituju, pergilah ke mana engkau sukai. Engkau mempunyai kemampuan untuk
menyelesaikan segala sesuatu. Mari kita berpegang erat-eras pada kebebasan
kita. Sosialisme telah merebut segala-galanya dan menyerahkan kepada
negara. Agama juga mengembalikan segala sesuatu kepada Tuhan, sedangkan
Tuhan di luar esensi manusia. Jadi agama juga menghalangi kebebasan
manusia. Agama menipu para pengecut sehingga ia --demi mengalihkan manusia
dari eksistensinya-- menciptakan surga yang kekal di langit, dan --untuk
memberikan rasa takut-- neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu." Demikian antara lain pandangan Sartre, salah satu tokoh aliran ini.
Sebelum kita sampai pada pandangan Al-Quran, ada baiknya kita mengutip
pendapat Alexis Carrel, seorang ahli bedah dan fisika, kelahiran Prancis
yang mendapat hadiah Nobel. Beliau menulis dalam buku kenamaannya, Man the
Unknown, antara lain: "Pengetahuan manusia tentang makhluk hidup dan
manusia khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai
dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan lainnya. Manusia adalah makhluk yang
kompleks, sehingga tidaklah mudah untuk mendapatkan satu gambaran
untuknya, tidak ada satu cara untuk memahami makhluk ini dalam keadaan
secara utuh, maupun dalam bagian-bagiannya, tidak juga dalam memahami
hubungannya dengan alam sekitarnya."
Selanjutnya, ia mengatakan: "Kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan oleh para ahli yang mempelajari manusia hingga kini masih tetap
tanpa jawaban, karena terdapat daerah-daerah yang tidak terbatas dalam
diri (batin) kita yang tidak diketahui".
Keterbatasan pengetahuan, menurutnya, disebabkan karena keterlambatan
pembahasan tentang manusia, sifat akal manusia dan kompleksnya hakikat
manusia. Kedua faktor terakhir adalah faktor permanen, sehingga tidaklah
berlebihan menurutnya "jika kita mengambil kesimpulan bahwa setiap orang
dari kita terdiri dari iring-iringan bayangan yang berjalan di
tengah-tengah hakikat yang tidak diketahui."
Dari segi pandangan seorang beragama, kiranya dapat dikatakan bahwa untuk
mengetahui hal tersebut dibutuhkan pengetahuan dari pencipta Yang Maha
Mengetahui melalui wahyu-wahyu-Nya, karena memang manusia adalah
satu-satunya makhluk yang diciptakan atas peta gambaran Tuhan dan yang
dihembuskan kepadanya Ruh ciptaanNya.
Nah, apa yang dikatakan Al-Quran tentang manusia? Tidak sedikit ayat
Al-Quran yang berbicara tentang manusia; bahkan manusia adalah makhluk
pertama yang telah disebut dua kali dalam rangkaian Wahyu Pertama (QS
96:1-5). Manusia sering mendapat pujian Tuhan. Dibandingkan dengan
makhluk-makhluk lain, ia mempunyai kapasitas yang paling tinggi (QS 11:3),
mempunyai kecenderungan untuk dekat kepada Tuhan melalui kesadarannya
tentang kehadiran Tuhan yang terdapat jauh di bawah alam sadarnya (QS
30:43). Ia diberi kebebasan dan kemerdekaan serta kepercayaan penuh untuk
memilih jalannya masing-masing (QS 33:72; 76:2-3). Ia diberi kesabaran
moral untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk, sesuai dengan
nurani mereka atas bimbingan wahyu (QS 91:7-8). Ia adalah makhluk yang
dimuliakan Tuhan dan diberi kesempurnaan dibandingkan dengan makhluk
lainnya (QS 17:70) serta ia pula yang telah diciptakan Tuhan dalam bentuk
yang sebaik-baiknya (QS 95:4).
Namun di lain segi, manusia ini juga yang mendapat cercaan Tuhan. Ia amat
aniaya dan mengingkari nikmat (QS 14:34), dan sangat banyak membantah (QS
22:67). Ini bukan berarti bahwa ayat-ayat Al-Quran bertentangan satu sama
lain, tetapi hal tersebut menunjukkan potensi manusiawi untuk menempati
tempat terpuji, atau meluncur ke tempat yang rendah sehingga tercela.
Al-Quran menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari tanah, kemudian setelah
sempurna kejadiannya, Tuhan menghembuskan kepadanya Ruh ciptaan-Nya (QS
38:71-72). Dengan "tanah" manusia dipengaruhi oleh kekuatan alam seperti
makhluk-makhluk lain, sehingga ia butuh makan, minum, hubungan seks, dan
sebagainya, dan dengan "Ruh" ia diantar ke arah tujuan non-materi yang tak
berbobot dan tak bersubstansi dan yang tak dapat diukur di laboratorium
atau bahkan dikenal oleh alam material.
Dimensi spiritual inilah yang mengantar mereka untuk cenderung kepada
keindahan, pengorbanan, kesetiaan, pemujaan, dan sebagainya. Ia
mengantarkan mereka kepada suatu realitas yang Maha Sempurna, tanpa cacat,
tanpa batas dan tanpa Akhir: wa anna ila rabbika Al-Muntaha -- dan
sesungguhnya kepada Tuhan-Mu-lah berakhirnya segala sesuatu (QS 53:42).
Hai manusia, sesungguhnya engkau telah bekerja dengan penuh kesungguhan
menuju Tuhanmu dan pasti akan kamu menemui-Nya" (QS 84:6).
Dengan berpegang kepada pandangan ini, manusia akan berada dalam satu alam
yang hidup, bermakna, serta tak terbatas, yang dimensinya melebar keluar
melampaui dimensi "tanah", dimensi material itu.
Al-Quran tidak memandang manusia sebagai makhluk yang tercipta secara
kebetulan, atau tercipta dari kumpulan atom, tapi ia diciptakan setelah
sebelumnya direncanakan untuk mengemban satu tugas, Sesungguhnya aku
hendak menjadikan seorang khalifah di bumi (QS 2:30). Ia dibekali Tuhan
dengan potensi dan kekuatan positif untuk mengubah corak kehidupan di
dunia ke arah yang lebih baik (QS 13:11), serta ditundukkan dan dimudahkan
kepadanya alam raya untuk dikelola dan dimanfaatkan (QS 45:12-13). Antara
lain, ditetapkan arah yang harus ia tuju (QS 51:56) serta dianugerahkan
kepadanya petunjuk untuk menjadi pelita dalam perjalanan itu (QS 2:38).
Penutup
Demikian filsafat materialisme dengan aneka ragam panoramanya berbicara
tentang manusia. Dan demikian pula Al-Quran. Keduanya telah menjelaskan
pandangannya. Keduanya telah mengajak manusia untuk menemukan dirinya,
tapi yang pertama berusaha untuk menyeretnya ke debu tanah dari Ruh Tuhan,
sedangkan Al-Quran mengajaknya untuk meningkat dari debu tanah menuju
Tuhan Yang Mahaesa.
MEMBUMIKAN AL-QURAN
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
Dr. M. Quraish Shihab
Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996
Jln. Yodkali 16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 - Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net
Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Please direct any suggestion to Media Team
oleh Dr. M. Quraish Shihab
Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Al-Quran, Ilmu, dan Filsafat Manusia
Al-Quran Al-Karim dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu dan filsafat
manusia, dapat disimpulkan mengandung tiga hal pokok:
Pertama, tujuan.
Akidah atau kepercayaan, yang mencakup kepercayaan kepada (a) Tuhan
dengan segala sifat-sifat-Nya; (b) Wahyu, dan segala kaitannya dengan,
antara lain, Kitab-kitab Suci, Malaikat, dan para Nabi; serta (c) Hari
Kemudian bersama dengan balasan dan ganjaran Tuhan.
Budi pekerti, yang bertujuan mewujudkan keserasian hidup bermasyarakat,
dalam bentuk antara lain gotong-royong, amanat, kebenaran, kasih sayang,
tanggung jawab, dan lain-lain.
Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sesamanya,
dirinya, dan alam sekitarnya.
Kedua, cara.
Ketiga hal tersebut diusahakan pencapaiannya oleh Al-Quran melalui empat
cara:
Menganjurkan manusia untuk memperhatikan alam raya, langit, bumi,
bintang-bintang, udara, darat, lautan dan sebagainya, agar manusia
--melalui perhatiannya tersebut-- mendapat manfaat berganda: (a)
menyadari kebesaran dan keagungan Tuhan; dan (b) memanfaatkan segala
sesuatu untuk membangun dan memakmurkan bumi di mana ia hidup.
Menceritakan peristiwa-peristiwa sejarah untuk memetik pelajaran dari
pengalaman masa lalu.
Membangkitkan rasa yang terpendam dalam jiwa, yang dapat mendorong
manusia untuk mempertanyakan dari mana ia datang, bagaimana unsur-unsur
dirinya, apa arti hidupnya dan ke mana akhir hayatnya (yang
jawaban-jawabannya diberikan oleh Al-Quran).
Janji dan ancaman baik di dunia (yakni kepuasan batin dan kebahagiaan
hidup bahkan kekuasaan bagi yang taat, dan sebaliknya bagi yang durhaka)
maupun di akhirat dengan surga atau neraka.
Ketiga, pembuktian.
Untuk membuktikan apa yang disampaikan oleh Al-Quran seperti yang disebut
di atas, maka di celah-celah redaksi mengenai butir-butir tersebut,
ditemukan mukjizat Al-Quran seperti yang pada garis besarnya dapat
terlihat dalam tiga hal pokok:
Susunan redaksinya yang mencapai puncak tertinggi dari sastra bahasa
Arab.
Ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin yang diisyaratkannya.
Ramalan-ramalan yang diungkapkan, yang sebagian telah terbukti
kebenarannya.
Melihat kandungan Al-Quran seperti yang dikemukakan secara selayang
pandang tersebut, tidak diragukan lagi bahwa Al-Quran berbicara tentang
ilmu pengetahuan. Kitab Suci itu juga berbicara tentang filsafat dalam
segala bidang pembahasan, dengan memberikan jawaban-jawaban yang konkret
menyangkut hal-hal yang dibicarakan itu, sesuai dengan fungsinya: memberi
petunjuk bagi umat manusia (QS 2:2) dan memberi jalan keluar bagi
persoalan-persoalan yang mereka perselisihkan (QS 2:213).
Al-Quran di Tengah Perkembangan Ilmu
Sebelum berbicara tentang masalah tersebut, terlebih dahulu perlu
diperjelas pengertian ilmu yang dimaksud dalam tulisan ini.
Al-Quran menggunakan kata 'ilm dalam berbagai bentuk dan artinya sebanyak
854 kali. Antara lain sebagai "proses pencapaian pengetahuan dan objek
pengetahuan" (QS 2:31-32). Pembicaraan tentang ilmu mengantarkan kita
kepada pembicaraan tentang sumber-sumber ilmu di samping klasifikasi dan
ragam disiplinnya.
Sementara ini, ahli keislaman berpendapat bahwa ilmu menurut Al-Quran
mencakup segala macam pengetahuan yang berguna bagi manusia dalam
kehidupannya, baik masa kini maupun masa depan; fisika atau metafisika.
Berbeda dengan klasifikasi ilmu yang digunakan oleh para filosof --Muslim
atau non-Muslim-- pada masa-masa silam, atau klasifikasi yang belakangan
ini dikenal seperti, antara lain, ilmu-ilmu sosial, maka pemikir Islam
abad XX, khususnya setelah Seminar Internasional Pendidikan Islam di
Makkah pada tahun 1977, mengklasifikasikan ilmu menjadi dua katagori:
Ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan wahyu Ilahi yang
tertera dalam Al-Quran dan Hadis serta segala yang dapat diambil dari
keduanya.
Ilmu yang dicari (acquired knowledge) termasuk sains kealaman dan
terapannya yang dapat berkembang secara kualitatif dan penggandaan,
variasi terbatas dan pengalihan antarbudaya selama tidak bertentangan
dengan Syari'ah sebagai sumber nilai.
Dewasa ini diakui oleh ahli-ahli sejarah dan ahli-ahli filsafat sains
bahwa sejumlah gejala yang dipilih untuk dikaji oleh komunitas ilmuwan
sebenarnya ditentukan oleh pandangan terhadap realitas atau kebenaran yang
telah diterima oleh komunitas tersebut. Dalam hal ini, satu-satunya yang
menjadi tumpuan perhatian sains mutakhir adalah alam materi.
Di sinilah terletak salah satu perbedaan antara ajaran Al-Quran dengan
sains tersebut. Al-Quran menyatakan bahwa objek ilmu meliputi batas-batas
alam materi (physical world), karena itu dapat dipahami mengapa Al-Quran
di samping menganjurkan untuk mengadakan observasi dan eksperimen (QS
29:20), juga menganjurkan untuk menggunakan akal dan intuisi (antara lain,
QS 16:78).
Hal ini terbukti karena, menurut Al-Quran, ada realitas lain yang tidak
dapat dijangkau oleh pancaindera, sehingga terhadapnya tidak dapat
dilakukan observasi atau eksperimen seperti yang ditegaskan oleh
firman-Nya: Maka Aku bersumpah dengan apa-apa yang dapat kamu lihat dan
apa-apa yang tidak dapat kamu lihat (QS 69:38-39). Dan, Sesungguhnya ia
(iblis) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari satu tempat yang tidak
dapat kamu melihat mereka (QS 7:27).
"Apa-apa" tersebut sebenarnya ada dan merupakan satu realitas, tapi tidak
ada dalam dunia empiris. Ilmuwan tidak boleh mengatasnamakan ilmu untuk
menolaknya, karena wilayah mereka hanyalah wilayah empiris. Bahkan pada
hakikatnya alangkah banyaknya konsep abstrak yang mereka gunakan, yang
justru tidak ada dalam dunia materi seperti misalnya berat jenis benda,
atau akar-akar dalam matematika, dan alangkah banyak pula hal yang dapat
terlihat potensinya namun tidak dapat dijangkau hakikatnya seperti cahaya.
Hal ini membuktikan keterbatasan ilmu manusia (QS 17:85). Kebanyakan
manusia hanya mengetahui fenomena. Mereka tidak mampu menjangkau nomena
(QS 30:7). Dari sini dapat dimengerti adanya pembatasan-pembatasan yang
dilakukan oleh Al-Quran dan yang --di sadari atau tidak-- telah diakui dan
dipraktekkan oleh para ilmuwan, seperti yang diungkapkan di atas.
Pengertian ilmu dalam tulisan ini hanya akan terbatas pada pengertian
sempit dan terbatas tersebut. Atau dengan kata lain dalam pengertian
science yang meliputi pengungkapan sunnatullah tentang alam raya
(hukum-hukum alam) dan perumusan hipotesis-hipotesis yang memungkinkan
seseorang dapat mempersaksi peristiwa-peristiwa alamiah dalam kondisi
tertentu.
Seperti telah dikemukakan dalam pendahuluan ketika berbicara tentang
kandungan Al-Quran, bahwa Kitab Suci ini antara lain menganjurkan untuk
mengamati alam raya, melakukan eksperimen dan menggunakan akal untuk
memahami fenomenanya, yang dalam hal ini ditemukan persamaan dengan para
ilmuwan, namun di lain segi terdapat pula perbedaan yang sangat berarti
antara pandangan atau penerapan keduanya.
Sejak semula Al-Quran menyatakan bahwa di balik alam raya ini ada Tuhan
yang wujud-Nya dirasakan di dalam diri manusia (antara lain QS 2:164;
51:20-21), dan bahwa tanda-tanda wujud-Nya itu akan diperlihatkan-Nya
melalui pengamatan dan penelitian manusia, sebagai bukti kebenaran
Al-Quran (QS 41:53).
Dengan demikian, sebagaimana Al-Quran merupakan wahyu-wahyu Tuhan untuk
menjelaskan hakikat wujud ini dengan mengaitkannya dengan tujuan akhir,
yaitu pengabdian kepada-Nya (QS 51-56), maka alam raya ini --yang
merupakan ciptaan-Nya-- harus berfungsi sebagaimana fungsi Al-Quran dalam
menjelaskan hakikat wujud ini dan mengaitkannya dengan tujuan yang sama.
Dan dengan demikian, ilmu dalam pengertian yang sempit ini sekalipun,
harus berarti: "Pengenalan dan pengakuan atas tempat-tempat yang benar
dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sehingga membimbing
manusia ke arah pengenalan dan pengakuan akan 'tempat' Tuhan yang tepat di
dalam tatanan wujud dan keperluan."
Dalam definisi ini kita lihat bahwa konsep tentang "tempat yang tepat"
berhubungan dengan dua wilayah penerapan. Di satu pihak, ia mengacu kepada
wilayah ontologis yang mencakup manusia dan benda-benda empiris, dan di
pihak lain kepada wilayah teologis yang mencakup aspek-aspek keagamaan dan
etis.
Hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan bagaimana Al-Quran selalu
mengaitkan perintah-perintahnya yang berhubungan dengan alam raya dengan
perintah pengenalan dan pengakuan atas kebesaran dan kekuasaan-Nya.
Bahkan, ilmu --dalam pengertiannya yang umum sekalipun-- oleh wahyu
pertama Al-Quran (iqra'), telah dikaitkan dengan bismi rabbika. Maka ini
berarti bahwa "ilmu tidak dijadikan untuk kepentingan pribadi, regional
atau nasional, dengan mengurbankan kepentingan-kepentingan lainnya". Ilmu
pada saat --dikaitkan dengan bismi rabbika-- kata Prof. Dr. 'Abdul Halim
Mahmud, Syaikh Jami' Al-Azhar, menjadi "demi karena (Tuhan) Pemeliharamu,
sehingga harus dapat memberikan manfaat kepada pemiliknya, warga
masyarakat dan bangsanya. Juga kepada manusia secara umum. Ia harus
membawa kebahagiaan dan cahaya ke seluruh penjuru dan sepanjang masa."
Ayat-ayat Al-Quran seperti antara lain dikutip di atas, disamping
menggambarkan bahwa alam raya dan seluruh isinya adalah intelligible
(dapat dijangkau oleh akal dan daya manusia), juga menggarisbawahi bahwa
segala sesuatu yang ada di alam raya ini telah dimudahkan untuk
dimanfaatkan manusia (QS 43:13). Dan dengan demikian, ayat-ayat sebelumnya
dan ayat ini memberikan tekanan yang sama pada sasaran ganda: tafakkur
yang menghasilkan sains, dan tashkhir yang menghasilkan teknologi guna
kemudahan dan kemanfaatan manusia. Dan dengan demikian pula, kita dapat
menyatakan tanpa ragu bahwa "Al-Quran" membenarkan --bahkan mewajibkan--
usaha-usaha pengembangan ilmu dan teknologi, selama ia membawa manfaat
untuk manusia serta memberikan kemudahan bagi mereka.
Tuhan, sebagaimana diungkapkan Al-Quran, "menginginkan kemudahan untuk
kamu dan tidak menginginkan kesukaran" (QS 2:85). Dan Tuhan "tidak ingin
menjadikan sedikit kesulitan pun untuk kamu" (QS 5:6). Ini berarti bahwa
segala produk perkembangan ilmu diakui dan dibenarkan oleh Al-Quran selama
dampak negatif darinya dapat dihindari.
Saat ini, secara umum dapat dibuktikan bahwa ilmu tidak mampu menciptakan
kebahagiaan manusia. Ia hanya dapat menciptakan pribadi-pribadi manusia
yang bersifat satu dimensi, sehingga walaupun manusia itu mampu berbuat
segala sesuatu, namun sering bertindak tidak bijaksana, bagaikan seorang
pemabuk yang memegang sebilah pedang, atau seorang pencuri yang memperoleh
secercah cahaya di tengah gelapnya malam.
Bersyukur kita bahwa akhir-akhir ini telah terdengar suara-suara yang
menggambarkan kesadaran tentang keharusan mengaitkan sains dengan
nilai-nilai moral keagamaan.
Beberapa tahun lalu di Italia diadakan suatu permusyawaratan ilmiah
tentang "cultural relations for the future" (hubungan kebudayaan di
kemudian hari) dan ditemukan dalam laporannya tentang "reconstituting the
human community" yang kesimpulannya, antara lain, sebagai berikut: "Untuk
menetralkan pengaruh teknologi yang menghilangkan kepribadian, kita harus
menggali nilai-nilai keagamaan dan spiritual."
Apa yang diungkapkan ini sebelumnya telah diungkapkan oleh filosof
Muhammad Iqbal, yang ketika itu menyadari dampak negatif perkembangan ilmu
dan teknologi. Beliau menulis: "Kemanusiaan saat ini membutuhkan tiga hal,
yaitu penafsiran spiritual atas alam raya, emansipasi spiritual atas
individu, dan satu himpunan asas yang dianut secara universal yang akan
menjelaskan evolusi masyarakat manusia atas dasar spiritual."
Apa yang diungkapkan itu adalah sebagian dari ajaran Al-Quran menyangkut
kehidupan manusia di alam raya ini, termasuk perkembangan ilmu
pengetahuan.
Segi lain yang tidak kurang pentingnya untuk dibahas dalam masalah
Al-Quran dan ilmu pengetahuan adalah kandungan ayat-ayatnya di
tengah-tengah perkembangan ilmu.
Seperti yang dikemukakan di atas bahwa salah satu pembuktian tentang
kebenaran Al-Quran adalah ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin yang
diisyaratkan. Memang terbukti, bahwa sekian banyak ayat-ayat Al-Quran yang
berbicara tentang hakikat-hakikat ilmiah yang tidak dikenal pada masa
turunnya, namun terbukti kebenarannya di tengah-tengah perkembangan ilmu,
seperti:
Teori tentang expanding universe (kosmos yang mengembang) (QS 51:47).
Matahari adalah planet yang bercahaya sedangkan bulan adalah pantulan
dari cahaya matahari (QS 10:5).
Pergerakan bumi mengelilingi matahari, gerakan lapisan-lapisan yang
berasal dari perut bumi, serta bergeraknya gunung sama dengan pergerakan
awan (QS 27:88).
Zat hijau daun (klorofil) yang berperanan dalam mengubah tenaga radiasi
matahari menjadi tenaga kimia melalui proses fotosintesis sehingga
menghasilkan energi (QS 36:80). Bahkan, istilah Al-Quran, al-syajar
al-akhdhar (pohon yang hijau) justru lebih tepat dari istilah klorofil
(hijau daun), karena zat-zat tersebut bukan hanya terdapat dalam daun
saja tapi di semua bagian pohon, dahan dan ranting yang warnanya hijau.
Bahwa manusia diciptakan dari sebagian kecil sperma pria dan yang
setelah fertilisasi (pembuahan) berdempet di dinding rahim (QS 86:6 dan
7; 96:2).
Demikian seterusnya, sehingga amat tepatlah kesimpulan yang dikemukakan
oleh Dr. Maurice Bucaille dalam bukunya Al-Qur'an, Bible dan Sains Modern,
bahwa tidak satu ayat pun dalam Al-Quran yang bertentangan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan.
Dari sini ungkapan "agama dimulai dari sikap percaya dan iman", oleh
Al-Quran, tidak diterima secara penuh. Bukan saja karena ia selalu
menganjurkan untuk berpikir, bukan pula hanya disebabkan karena ada dari
ajaran-ajaran agama yang tidak dapat diyakini kecuali dengan pembuktian
logika atau bukan pula disebabkan oleh keyakinan seseorang yang
berdasarkan "taqlid" tidak luput dari kekurangan, tapi juga karena
Al-Quran memberi kesempatan kepada siapa saja secara sendirian atau
bersama-sama dan kapan saja, untuk membuktikan kekeliruan Al-Quran dengan
menandinginya walaupun hanya semisal satu surah sekalipun (QS 2:23).
Al-Quran di Tengah Perkembangan Filsafat
Apakah filsafat itu, dan bagaimana perkembangannya? Adalah satu pertanyaan
yang memerlukan jawaban singkat sebelum permasalahan yang diketengahkan
ini diuraikan.
Bertrand Russel menjelaskan bahwa filsafat merupakan jenis pengetahuan
yang memberikan kesatuan dan sistem ilmu pengetahuan melalui pengujian
kritis terhadap dasar-dasar keputusan, prasangka-prasangka dan
kepercayaan. Hal ini disebabkan karena pemikiran filsafat bersifat
mengakar (radikal) yang mencoba memberikan jawaban menyeluruh dari A-Z,
mencari yang sedalam-dalamnya sehingga melintasi dimensi fisik dan teknik.
Objek penelitiannya ialah segala yang ada dan yang mungkin ada, baik "ada
yang umum" (ontologi 'ilm al-kainat) maupun "ada yang khusus atau mutlak"
(Tuhan). Atau, dengan kata lain, objek penelitian filsafat mencakup
pembahasan-pembahasan logika, estetika, etika, politik dan metafisika.
Melihat demikian luasnya pembahasan filsafat tersebut, maka pembahasan
kita kali ini dibatasi pada bagian "ada yang umum". Itu pun hanya dalam
masalah yang menjadi pusat perhatian pemikir dewasa ini dan yang merupakan
penentu jalannya sejarah kemanusiaan, yakni "manusia". Karena, memang,
dewasa ini orang tidak banyak lagi berbicara tentang bukti wujud Tuhan
atau kebenaran wahyu, tidak pula menyangkut pertentangan agama dengan
aliran-aliran materialisme, tapi topik pembicaraan adalah "manusia" karena
pandangan tentang hakikat manusia akan memberikan arah dari seluruh sikap
dan memberikan penafsiran terhadap semua gejala.
Dalam abad pertengahan, manusia dipandang sebagai salah satu makhluk
ciptaan Tuhan yang melebihi makhluk-makhluk lainnya, pandangan yang
sejalan dengan keyakinan agama serta menganggap bahwa bumi tempat manusia
hidup merupakan pusat dari alam semesta. Tapi pandangan ini digoyahkan
oleh Galileo yang membuktikan bahwa bumi tempat tinggal manusia, tidak
merupakan pusat alam raya. Ia hanya bagian kecil dari planet-planet yang
mengitari matahari. Pandangan yang didukung oleh penelitian ilmiah ini,
bertentangan dengan penafsiran Kitab Suci (Kristen) dan membuka satu
lembaran baru dalam sejarah manusia Barat yang menimbulkan krisis keimanan
dan krisis lainnya.
Disusul kemudian dengan teori evolusi yang dikemukakan oleh Darwin.
Segi-segi negatif dari teori ini bukannya hanya diakibatkan oleh teori
tersebut, tapi lebih banyak lagi diakibatkan oleh kesan-kesan yang
ditimbulkannya dalam pikiran masyarakat serta para ahli pada masanya dan
masa sesudahnya. Dari Darwin perjalanan dilanjutkan oleh Sigmund Freud
yang mengadakan pengamatan terhadap sekelompok orang-orang sakit
(abnormal) dan yang pada akhimya berkesimpulan, bahwa manusia pada
hakikatnya adalah "makhluk bumi" yang segala aktivitasnya bertumpu dan
terdorong oleh libido, sedangkan agama -menurutnya-- berpangkal dari
Oedipus complex dan, dengan demikian, Tuhan tidak lain kecuali ilusi
belaka.
Kemajuan yang dicapai Eropa di bidang industri dan ilmu pengetahuan sejak
masa renaissance, mengantarkan masyarakat untuk lebih jauh menolak
kekuasaan agama secara total yang mengakibatkan pula kekaguman yang
berlebihan kepada otoritas sains yang terlepas dari nilai-nilai spiritual
keagamaan, dan yang pada akhirnya mencapai puncaknya pada peristiwa
pemboman di Hiroshima dan Nagasaki pada waktu Perang Dunia II. Setelah itu
terjadi beberapa hal yang mendasar: agama, antara lain, mulai
disebut-sebut walaupun dengan suara yang sayup-sayup. Pretensi sains
dipermasalahkan.
Eksistensialisme mulai berbicara lagi: "Sebenarnya tak ada arah yang harus
dituju, pergilah ke mana engkau sukai. Engkau mempunyai kemampuan untuk
menyelesaikan segala sesuatu. Mari kita berpegang erat-eras pada kebebasan
kita. Sosialisme telah merebut segala-galanya dan menyerahkan kepada
negara. Agama juga mengembalikan segala sesuatu kepada Tuhan, sedangkan
Tuhan di luar esensi manusia. Jadi agama juga menghalangi kebebasan
manusia. Agama menipu para pengecut sehingga ia --demi mengalihkan manusia
dari eksistensinya-- menciptakan surga yang kekal di langit, dan --untuk
memberikan rasa takut-- neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu." Demikian antara lain pandangan Sartre, salah satu tokoh aliran ini.
Sebelum kita sampai pada pandangan Al-Quran, ada baiknya kita mengutip
pendapat Alexis Carrel, seorang ahli bedah dan fisika, kelahiran Prancis
yang mendapat hadiah Nobel. Beliau menulis dalam buku kenamaannya, Man the
Unknown, antara lain: "Pengetahuan manusia tentang makhluk hidup dan
manusia khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai
dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan lainnya. Manusia adalah makhluk yang
kompleks, sehingga tidaklah mudah untuk mendapatkan satu gambaran
untuknya, tidak ada satu cara untuk memahami makhluk ini dalam keadaan
secara utuh, maupun dalam bagian-bagiannya, tidak juga dalam memahami
hubungannya dengan alam sekitarnya."
Selanjutnya, ia mengatakan: "Kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan oleh para ahli yang mempelajari manusia hingga kini masih tetap
tanpa jawaban, karena terdapat daerah-daerah yang tidak terbatas dalam
diri (batin) kita yang tidak diketahui".
Keterbatasan pengetahuan, menurutnya, disebabkan karena keterlambatan
pembahasan tentang manusia, sifat akal manusia dan kompleksnya hakikat
manusia. Kedua faktor terakhir adalah faktor permanen, sehingga tidaklah
berlebihan menurutnya "jika kita mengambil kesimpulan bahwa setiap orang
dari kita terdiri dari iring-iringan bayangan yang berjalan di
tengah-tengah hakikat yang tidak diketahui."
Dari segi pandangan seorang beragama, kiranya dapat dikatakan bahwa untuk
mengetahui hal tersebut dibutuhkan pengetahuan dari pencipta Yang Maha
Mengetahui melalui wahyu-wahyu-Nya, karena memang manusia adalah
satu-satunya makhluk yang diciptakan atas peta gambaran Tuhan dan yang
dihembuskan kepadanya Ruh ciptaanNya.
Nah, apa yang dikatakan Al-Quran tentang manusia? Tidak sedikit ayat
Al-Quran yang berbicara tentang manusia; bahkan manusia adalah makhluk
pertama yang telah disebut dua kali dalam rangkaian Wahyu Pertama (QS
96:1-5). Manusia sering mendapat pujian Tuhan. Dibandingkan dengan
makhluk-makhluk lain, ia mempunyai kapasitas yang paling tinggi (QS 11:3),
mempunyai kecenderungan untuk dekat kepada Tuhan melalui kesadarannya
tentang kehadiran Tuhan yang terdapat jauh di bawah alam sadarnya (QS
30:43). Ia diberi kebebasan dan kemerdekaan serta kepercayaan penuh untuk
memilih jalannya masing-masing (QS 33:72; 76:2-3). Ia diberi kesabaran
moral untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk, sesuai dengan
nurani mereka atas bimbingan wahyu (QS 91:7-8). Ia adalah makhluk yang
dimuliakan Tuhan dan diberi kesempurnaan dibandingkan dengan makhluk
lainnya (QS 17:70) serta ia pula yang telah diciptakan Tuhan dalam bentuk
yang sebaik-baiknya (QS 95:4).
Namun di lain segi, manusia ini juga yang mendapat cercaan Tuhan. Ia amat
aniaya dan mengingkari nikmat (QS 14:34), dan sangat banyak membantah (QS
22:67). Ini bukan berarti bahwa ayat-ayat Al-Quran bertentangan satu sama
lain, tetapi hal tersebut menunjukkan potensi manusiawi untuk menempati
tempat terpuji, atau meluncur ke tempat yang rendah sehingga tercela.
Al-Quran menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari tanah, kemudian setelah
sempurna kejadiannya, Tuhan menghembuskan kepadanya Ruh ciptaan-Nya (QS
38:71-72). Dengan "tanah" manusia dipengaruhi oleh kekuatan alam seperti
makhluk-makhluk lain, sehingga ia butuh makan, minum, hubungan seks, dan
sebagainya, dan dengan "Ruh" ia diantar ke arah tujuan non-materi yang tak
berbobot dan tak bersubstansi dan yang tak dapat diukur di laboratorium
atau bahkan dikenal oleh alam material.
Dimensi spiritual inilah yang mengantar mereka untuk cenderung kepada
keindahan, pengorbanan, kesetiaan, pemujaan, dan sebagainya. Ia
mengantarkan mereka kepada suatu realitas yang Maha Sempurna, tanpa cacat,
tanpa batas dan tanpa Akhir: wa anna ila rabbika Al-Muntaha -- dan
sesungguhnya kepada Tuhan-Mu-lah berakhirnya segala sesuatu (QS 53:42).
Hai manusia, sesungguhnya engkau telah bekerja dengan penuh kesungguhan
menuju Tuhanmu dan pasti akan kamu menemui-Nya" (QS 84:6).
Dengan berpegang kepada pandangan ini, manusia akan berada dalam satu alam
yang hidup, bermakna, serta tak terbatas, yang dimensinya melebar keluar
melampaui dimensi "tanah", dimensi material itu.
Al-Quran tidak memandang manusia sebagai makhluk yang tercipta secara
kebetulan, atau tercipta dari kumpulan atom, tapi ia diciptakan setelah
sebelumnya direncanakan untuk mengemban satu tugas, Sesungguhnya aku
hendak menjadikan seorang khalifah di bumi (QS 2:30). Ia dibekali Tuhan
dengan potensi dan kekuatan positif untuk mengubah corak kehidupan di
dunia ke arah yang lebih baik (QS 13:11), serta ditundukkan dan dimudahkan
kepadanya alam raya untuk dikelola dan dimanfaatkan (QS 45:12-13). Antara
lain, ditetapkan arah yang harus ia tuju (QS 51:56) serta dianugerahkan
kepadanya petunjuk untuk menjadi pelita dalam perjalanan itu (QS 2:38).
Penutup
Demikian filsafat materialisme dengan aneka ragam panoramanya berbicara
tentang manusia. Dan demikian pula Al-Quran. Keduanya telah menjelaskan
pandangannya. Keduanya telah mengajak manusia untuk menemukan dirinya,
tapi yang pertama berusaha untuk menyeretnya ke debu tanah dari Ruh Tuhan,
sedangkan Al-Quran mengajaknya untuk meningkat dari debu tanah menuju
Tuhan Yang Mahaesa.
MEMBUMIKAN AL-QURAN
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
Dr. M. Quraish Shihab
Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996
Jln. Yodkali 16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 - Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net
Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Please direct any suggestion to Media Team