Kamis, 05 April 2012

Membumikan Al-QuranMembumikan Al-Quran
      oleh Dr. M. Quraish Shihab

      Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis


      ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

      Al-Quran, Ilmu, dan Filsafat Manusia
      Al-Quran Al-Karim dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu dan filsafat
      manusia, dapat disimpulkan mengandung tiga hal pokok:
      Pertama, tujuan.
        Akidah atau kepercayaan, yang mencakup kepercayaan kepada (a) Tuhan
        dengan segala sifat-sifat-Nya; (b) Wahyu, dan segala kaitannya dengan,
        antara lain, Kitab-kitab Suci, Malaikat, dan para Nabi; serta (c) Hari
        Kemudian bersama dengan balasan dan ganjaran Tuhan.
        Budi pekerti, yang bertujuan mewujudkan keserasian hidup bermasyarakat,
        dalam bentuk antara lain gotong-royong, amanat, kebenaran, kasih sayang,
        tanggung jawab, dan lain-lain.
        Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sesamanya,
        dirinya, dan alam sekitarnya.
      Kedua, cara.
      Ketiga hal tersebut diusahakan pencapaiannya oleh Al-Quran melalui empat
      cara:
        Menganjurkan manusia untuk memperhatikan alam raya, langit, bumi,
        bintang-bintang, udara, darat, lautan dan sebagainya, agar manusia
        --melalui perhatiannya tersebut-- mendapat manfaat berganda: (a)
        menyadari kebesaran dan keagungan Tuhan; dan (b) memanfaatkan segala
        sesuatu untuk membangun dan memakmurkan bumi di mana ia hidup.
        Menceritakan peristiwa-peristiwa sejarah untuk memetik pelajaran dari
        pengalaman masa lalu.
        Membangkitkan rasa yang terpendam dalam jiwa, yang dapat mendorong
        manusia untuk mempertanyakan dari mana ia datang, bagaimana unsur-unsur
        dirinya, apa arti hidupnya dan ke mana akhir hayatnya (yang
        jawaban-jawabannya diberikan oleh Al-Quran).
        Janji dan ancaman baik di dunia (yakni kepuasan batin dan kebahagiaan
        hidup bahkan kekuasaan bagi yang taat, dan sebaliknya bagi yang durhaka)
        maupun di akhirat dengan surga atau neraka.
      Ketiga, pembuktian.
      Untuk membuktikan apa yang disampaikan oleh Al-Quran seperti yang disebut
      di atas, maka di celah-celah redaksi mengenai butir-butir tersebut,
      ditemukan mukjizat Al-Quran seperti yang pada garis besarnya dapat
      terlihat dalam tiga hal pokok:
        Susunan redaksinya yang mencapai puncak tertinggi dari sastra bahasa
        Arab.
        Ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin yang diisyaratkannya.
        Ramalan-ramalan yang diungkapkan, yang sebagian telah terbukti
        kebenarannya.
      Melihat kandungan Al-Quran seperti yang dikemukakan secara selayang
      pandang tersebut, tidak diragukan lagi bahwa Al-Quran berbicara tentang
      ilmu pengetahuan. Kitab Suci itu juga berbicara tentang filsafat dalam
      segala bidang pembahasan, dengan memberikan jawaban-jawaban yang konkret
      menyangkut hal-hal yang dibicarakan itu, sesuai dengan fungsinya: memberi
      petunjuk bagi umat manusia (QS 2:2) dan memberi jalan keluar bagi
      persoalan-persoalan yang mereka perselisihkan (QS 2:213).
      Al-Quran di Tengah Perkembangan Ilmu
      Sebelum berbicara tentang masalah tersebut, terlebih dahulu perlu
      diperjelas pengertian ilmu yang dimaksud dalam tulisan ini.
      Al-Quran menggunakan kata 'ilm dalam berbagai bentuk dan artinya sebanyak
      854 kali. Antara lain sebagai "proses pencapaian pengetahuan dan objek
      pengetahuan" (QS 2:31-32). Pembicaraan tentang ilmu mengantarkan kita
      kepada pembicaraan tentang sumber-sumber ilmu di samping klasifikasi dan
      ragam disiplinnya.
      Sementara ini, ahli keislaman berpendapat bahwa ilmu menurut Al-Quran
      mencakup segala macam pengetahuan yang berguna bagi manusia dalam
      kehidupannya, baik masa kini maupun masa depan; fisika atau metafisika.
      Berbeda dengan klasifikasi ilmu yang digunakan oleh para filosof --Muslim
      atau non-Muslim-- pada masa-masa silam, atau klasifikasi yang belakangan
      ini dikenal seperti, antara lain, ilmu-ilmu sosial, maka pemikir Islam
      abad XX, khususnya setelah Seminar Internasional Pendidikan Islam di
      Makkah pada tahun 1977, mengklasifikasikan ilmu menjadi dua katagori:
        Ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan wahyu Ilahi yang
        tertera dalam Al-Quran dan Hadis serta segala yang dapat diambil dari
        keduanya.
        Ilmu yang dicari (acquired knowledge) termasuk sains kealaman dan
        terapannya yang dapat berkembang secara kualitatif dan penggandaan,
        variasi terbatas dan pengalihan antarbudaya selama tidak bertentangan
        dengan Syari'ah sebagai sumber nilai.
      Dewasa ini diakui oleh ahli-ahli sejarah dan ahli-ahli filsafat sains
      bahwa sejumlah gejala yang dipilih untuk dikaji oleh komunitas ilmuwan
      sebenarnya ditentukan oleh pandangan terhadap realitas atau kebenaran yang
      telah diterima oleh komunitas tersebut. Dalam hal ini, satu-satunya yang
      menjadi tumpuan perhatian sains mutakhir adalah alam materi.
      Di sinilah terletak salah satu perbedaan antara ajaran Al-Quran dengan
      sains tersebut. Al-Quran menyatakan bahwa objek ilmu meliputi batas-batas
      alam materi (physical world), karena itu dapat dipahami mengapa Al-Quran
      di samping menganjurkan untuk mengadakan observasi dan eksperimen (QS
      29:20), juga menganjurkan untuk menggunakan akal dan intuisi (antara lain,
      QS 16:78).
      Hal ini terbukti karena, menurut Al-Quran, ada realitas lain yang tidak
      dapat dijangkau oleh pancaindera, sehingga terhadapnya tidak dapat
      dilakukan observasi atau eksperimen seperti yang ditegaskan oleh
      firman-Nya: Maka Aku bersumpah dengan apa-apa yang dapat kamu lihat dan
      apa-apa yang tidak dapat kamu lihat (QS 69:38-39). Dan, Sesungguhnya ia
      (iblis) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari satu tempat yang tidak
      dapat kamu melihat mereka (QS 7:27).
      "Apa-apa" tersebut sebenarnya ada dan merupakan satu realitas, tapi tidak
      ada dalam dunia empiris. Ilmuwan tidak boleh mengatasnamakan ilmu untuk
      menolaknya, karena wilayah mereka hanyalah wilayah empiris. Bahkan pada
      hakikatnya alangkah banyaknya konsep abstrak yang mereka gunakan, yang
      justru tidak ada dalam dunia materi seperti misalnya berat jenis benda,
      atau akar-akar dalam matematika, dan alangkah banyak pula hal yang dapat
      terlihat potensinya namun tidak dapat dijangkau hakikatnya seperti cahaya.
      Hal ini membuktikan keterbatasan ilmu manusia (QS 17:85). Kebanyakan
      manusia hanya mengetahui fenomena. Mereka tidak mampu menjangkau nomena
      (QS 30:7). Dari sini dapat dimengerti adanya pembatasan-pembatasan yang
      dilakukan oleh Al-Quran dan yang --di sadari atau tidak-- telah diakui dan
      dipraktekkan oleh para ilmuwan, seperti yang diungkapkan di atas.
      Pengertian ilmu dalam tulisan ini hanya akan terbatas pada pengertian
      sempit dan terbatas tersebut. Atau dengan kata lain dalam pengertian
      science yang meliputi pengungkapan sunnatullah tentang alam raya
      (hukum-hukum alam) dan perumusan hipotesis-hipotesis yang memungkinkan
      seseorang dapat mempersaksi peristiwa-peristiwa alamiah dalam kondisi
      tertentu.
      Seperti telah dikemukakan dalam pendahuluan ketika berbicara tentang
      kandungan Al-Quran, bahwa Kitab Suci ini antara lain menganjurkan untuk
      mengamati alam raya, melakukan eksperimen dan menggunakan akal untuk
      memahami fenomenanya, yang dalam hal ini ditemukan persamaan dengan para
      ilmuwan, namun di lain segi terdapat pula perbedaan yang sangat berarti
      antara pandangan atau penerapan keduanya.
      Sejak semula Al-Quran menyatakan bahwa di balik alam raya ini ada Tuhan
      yang wujud-Nya dirasakan di dalam diri manusia (antara lain QS 2:164;
      51:20-21), dan bahwa tanda-tanda wujud-Nya itu akan diperlihatkan-Nya
      melalui pengamatan dan penelitian manusia, sebagai bukti kebenaran
      Al-Quran (QS 41:53).
      Dengan demikian, sebagaimana Al-Quran merupakan wahyu-wahyu Tuhan untuk
      menjelaskan hakikat wujud ini dengan mengaitkannya dengan tujuan akhir,
      yaitu pengabdian kepada-Nya (QS 51-56), maka alam raya ini --yang
      merupakan ciptaan-Nya-- harus berfungsi sebagaimana fungsi Al-Quran dalam
      menjelaskan hakikat wujud ini dan mengaitkannya dengan tujuan yang sama.
      Dan dengan demikian, ilmu dalam pengertian yang sempit ini sekalipun,
      harus berarti: "Pengenalan dan pengakuan atas tempat-tempat yang benar
      dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sehingga membimbing
      manusia ke arah pengenalan dan pengakuan akan 'tempat' Tuhan yang tepat di
      dalam tatanan wujud dan keperluan."
      Dalam definisi ini kita lihat bahwa konsep tentang "tempat yang tepat"
      berhubungan dengan dua wilayah penerapan. Di satu pihak, ia mengacu kepada
      wilayah ontologis yang mencakup manusia dan benda-benda empiris, dan di
      pihak lain kepada wilayah teologis yang mencakup aspek-aspek keagamaan dan
      etis.
      Hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan bagaimana Al-Quran selalu
      mengaitkan perintah-perintahnya yang berhubungan dengan alam raya dengan
      perintah pengenalan dan pengakuan atas kebesaran dan kekuasaan-Nya.
      Bahkan, ilmu --dalam pengertiannya yang umum sekalipun-- oleh wahyu
      pertama Al-Quran (iqra'), telah dikaitkan dengan bismi rabbika. Maka ini
      berarti bahwa "ilmu tidak dijadikan untuk kepentingan pribadi, regional
      atau nasional, dengan mengurbankan kepentingan-kepentingan lainnya". Ilmu
      pada saat --dikaitkan dengan bismi rabbika-- kata Prof. Dr. 'Abdul Halim
      Mahmud, Syaikh Jami' Al-Azhar, menjadi "demi karena (Tuhan) Pemeliharamu,
      sehingga harus dapat memberikan manfaat kepada pemiliknya, warga
      masyarakat dan bangsanya. Juga kepada manusia secara umum. Ia harus
      membawa kebahagiaan dan cahaya ke seluruh penjuru dan sepanjang masa."
      Ayat-ayat Al-Quran seperti antara lain dikutip di atas, disamping
      menggambarkan bahwa alam raya dan seluruh isinya adalah intelligible
      (dapat dijangkau oleh akal dan daya manusia), juga menggarisbawahi bahwa
      segala sesuatu yang ada di alam raya ini telah dimudahkan untuk
      dimanfaatkan manusia (QS 43:13). Dan dengan demikian, ayat-ayat sebelumnya
      dan ayat ini memberikan tekanan yang sama pada sasaran ganda: tafakkur
      yang menghasilkan sains, dan tashkhir yang menghasilkan teknologi guna
      kemudahan dan kemanfaatan manusia. Dan dengan demikian pula, kita dapat
      menyatakan tanpa ragu bahwa "Al-Quran" membenarkan --bahkan mewajibkan--
      usaha-usaha pengembangan ilmu dan teknologi, selama ia membawa manfaat
      untuk manusia serta memberikan kemudahan bagi mereka.
      Tuhan, sebagaimana diungkapkan Al-Quran, "menginginkan kemudahan untuk
      kamu dan tidak menginginkan kesukaran" (QS 2:85). Dan Tuhan "tidak ingin
      menjadikan sedikit kesulitan pun untuk kamu" (QS 5:6). Ini berarti bahwa
      segala produk perkembangan ilmu diakui dan dibenarkan oleh Al-Quran selama
      dampak negatif darinya dapat dihindari.
      Saat ini, secara umum dapat dibuktikan bahwa ilmu tidak mampu menciptakan
      kebahagiaan manusia. Ia hanya dapat menciptakan pribadi-pribadi manusia
      yang bersifat satu dimensi, sehingga walaupun manusia itu mampu berbuat
      segala sesuatu, namun sering bertindak tidak bijaksana, bagaikan seorang
      pemabuk yang memegang sebilah pedang, atau seorang pencuri yang memperoleh
      secercah cahaya di tengah gelapnya malam.
      Bersyukur kita bahwa akhir-akhir ini telah terdengar suara-suara yang
      menggambarkan kesadaran tentang keharusan mengaitkan sains dengan
      nilai-nilai moral keagamaan.
      Beberapa tahun lalu di Italia diadakan suatu permusyawaratan ilmiah
      tentang "cultural relations for the future" (hubungan kebudayaan di
      kemudian hari) dan ditemukan dalam laporannya tentang "reconstituting the
      human community" yang kesimpulannya, antara lain, sebagai berikut: "Untuk
      menetralkan pengaruh teknologi yang menghilangkan kepribadian, kita harus
      menggali nilai-nilai keagamaan dan spiritual."
      Apa yang diungkapkan ini sebelumnya telah diungkapkan oleh filosof
      Muhammad Iqbal, yang ketika itu menyadari dampak negatif perkembangan ilmu
      dan teknologi. Beliau menulis: "Kemanusiaan saat ini membutuhkan tiga hal,
      yaitu penafsiran spiritual atas alam raya, emansipasi spiritual atas
      individu, dan satu himpunan asas yang dianut secara universal yang akan
      menjelaskan evolusi masyarakat manusia atas dasar spiritual."
      Apa yang diungkapkan itu adalah sebagian dari ajaran Al-Quran menyangkut
      kehidupan manusia di alam raya ini, termasuk perkembangan ilmu
pengetahuan.
      Segi lain yang tidak kurang pentingnya untuk dibahas dalam masalah
      Al-Quran dan ilmu pengetahuan adalah kandungan ayat-ayatnya di
      tengah-tengah perkembangan ilmu.
      Seperti yang dikemukakan di atas bahwa salah satu pembuktian tentang
      kebenaran Al-Quran adalah ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin yang
      diisyaratkan. Memang terbukti, bahwa sekian banyak ayat-ayat Al-Quran yang
      berbicara tentang hakikat-hakikat ilmiah yang tidak dikenal pada masa
      turunnya, namun terbukti kebenarannya di tengah-tengah perkembangan ilmu,
      seperti:
        Teori tentang expanding universe (kosmos yang mengembang) (QS 51:47).
        Matahari adalah planet yang bercahaya sedangkan bulan adalah pantulan
        dari cahaya matahari (QS 10:5).
        Pergerakan bumi mengelilingi matahari, gerakan lapisan-lapisan yang
        berasal dari perut bumi, serta bergeraknya gunung sama dengan pergerakan
        awan (QS 27:88).
        Zat hijau daun (klorofil) yang berperanan dalam mengubah tenaga radiasi
        matahari menjadi tenaga kimia melalui proses fotosintesis sehingga
        menghasilkan energi (QS 36:80). Bahkan, istilah Al-Quran, al-syajar
        al-akhdhar (pohon yang hijau) justru lebih tepat dari istilah klorofil
        (hijau daun), karena zat-zat tersebut bukan hanya terdapat dalam daun
        saja tapi di semua bagian pohon, dahan dan ranting yang warnanya hijau.
        Bahwa manusia diciptakan dari sebagian kecil sperma pria dan yang
        setelah fertilisasi (pembuahan) berdempet di dinding rahim (QS 86:6 dan
        7; 96:2).
      Demikian seterusnya, sehingga amat tepatlah kesimpulan yang dikemukakan
      oleh Dr. Maurice Bucaille dalam bukunya Al-Qur'an, Bible dan Sains Modern,
      bahwa tidak satu ayat pun dalam Al-Quran yang bertentangan dengan
      perkembangan ilmu pengetahuan.
      Dari sini ungkapan "agama dimulai dari sikap percaya dan iman", oleh
      Al-Quran, tidak diterima secara penuh. Bukan saja karena ia selalu
      menganjurkan untuk berpikir, bukan pula hanya disebabkan karena ada dari
      ajaran-ajaran agama yang tidak dapat diyakini kecuali dengan pembuktian
      logika atau bukan pula disebabkan oleh keyakinan seseorang yang
      berdasarkan "taqlid" tidak luput dari kekurangan, tapi juga karena
      Al-Quran memberi kesempatan kepada siapa saja secara sendirian atau
      bersama-sama dan kapan saja, untuk membuktikan kekeliruan Al-Quran dengan
      menandinginya walaupun hanya semisal satu surah sekalipun (QS 2:23).
      Al-Quran di Tengah Perkembangan Filsafat
      Apakah filsafat itu, dan bagaimana perkembangannya? Adalah satu pertanyaan
      yang memerlukan jawaban singkat sebelum permasalahan yang diketengahkan
      ini diuraikan.
      Bertrand Russel menjelaskan bahwa filsafat merupakan jenis pengetahuan
      yang memberikan kesatuan dan sistem ilmu pengetahuan melalui pengujian
      kritis terhadap dasar-dasar keputusan, prasangka-prasangka dan
      kepercayaan. Hal ini disebabkan karena pemikiran filsafat bersifat
      mengakar (radikal) yang mencoba memberikan jawaban menyeluruh dari A-Z,
      mencari yang sedalam-dalamnya sehingga melintasi dimensi fisik dan teknik.
      Objek penelitiannya ialah segala yang ada dan yang mungkin ada, baik "ada
      yang umum" (ontologi 'ilm al-kainat) maupun "ada yang khusus atau mutlak"
      (Tuhan). Atau, dengan kata lain, objek penelitian filsafat mencakup
      pembahasan-pembahasan logika, estetika, etika, politik dan metafisika.
      Melihat demikian luasnya pembahasan filsafat tersebut, maka pembahasan
      kita kali ini dibatasi pada bagian "ada yang umum". Itu pun hanya dalam
      masalah yang menjadi pusat perhatian pemikir dewasa ini dan yang merupakan
      penentu jalannya sejarah kemanusiaan, yakni "manusia". Karena, memang,
      dewasa ini orang tidak banyak lagi berbicara tentang bukti wujud Tuhan
      atau kebenaran wahyu, tidak pula menyangkut pertentangan agama dengan
      aliran-aliran materialisme, tapi topik pembicaraan adalah "manusia" karena
      pandangan tentang hakikat manusia akan memberikan arah dari seluruh sikap
      dan memberikan penafsiran terhadap semua gejala.
      Dalam abad pertengahan, manusia dipandang sebagai salah satu makhluk
      ciptaan Tuhan yang melebihi makhluk-makhluk lainnya, pandangan yang
      sejalan dengan keyakinan agama serta menganggap bahwa bumi tempat manusia
      hidup merupakan pusat dari alam semesta. Tapi pandangan ini digoyahkan
      oleh Galileo yang membuktikan bahwa bumi tempat tinggal manusia, tidak
      merupakan pusat alam raya. Ia hanya bagian kecil dari planet-planet yang
      mengitari matahari. Pandangan yang didukung oleh penelitian ilmiah ini,
      bertentangan dengan penafsiran Kitab Suci (Kristen) dan membuka satu
      lembaran baru dalam sejarah manusia Barat yang menimbulkan krisis keimanan
      dan krisis lainnya.
      Disusul kemudian dengan teori evolusi yang dikemukakan oleh Darwin.
      Segi-segi negatif dari teori ini bukannya hanya diakibatkan oleh teori
      tersebut, tapi lebih banyak lagi diakibatkan oleh kesan-kesan yang
      ditimbulkannya dalam pikiran masyarakat serta para ahli pada masanya dan
      masa sesudahnya. Dari Darwin perjalanan dilanjutkan oleh Sigmund Freud
      yang mengadakan pengamatan terhadap sekelompok orang-orang sakit
      (abnormal) dan yang pada akhimya berkesimpulan, bahwa manusia pada
      hakikatnya adalah "makhluk bumi" yang segala aktivitasnya bertumpu dan
      terdorong oleh libido, sedangkan agama -menurutnya-- berpangkal dari
      Oedipus complex dan, dengan demikian, Tuhan tidak lain kecuali ilusi
      belaka.
      Kemajuan yang dicapai Eropa di bidang industri dan ilmu pengetahuan sejak
      masa renaissance, mengantarkan masyarakat untuk lebih jauh menolak
      kekuasaan agama secara total yang mengakibatkan pula kekaguman yang
      berlebihan kepada otoritas sains yang terlepas dari nilai-nilai spiritual
      keagamaan, dan yang pada akhirnya mencapai puncaknya pada peristiwa
      pemboman di Hiroshima dan Nagasaki pada waktu Perang Dunia II. Setelah itu
      terjadi beberapa hal yang mendasar: agama, antara lain, mulai
      disebut-sebut walaupun dengan suara yang sayup-sayup. Pretensi sains
      dipermasalahkan.
      Eksistensialisme mulai berbicara lagi: "Sebenarnya tak ada arah yang harus
      dituju, pergilah ke mana engkau sukai. Engkau mempunyai kemampuan untuk
      menyelesaikan segala sesuatu. Mari kita berpegang erat-eras pada kebebasan
      kita. Sosialisme telah merebut segala-galanya dan menyerahkan kepada
      negara. Agama juga mengembalikan segala sesuatu kepada Tuhan, sedangkan
      Tuhan di luar esensi manusia. Jadi agama juga menghalangi kebebasan
      manusia. Agama menipu para pengecut sehingga ia --demi mengalihkan manusia
      dari eksistensinya-- menciptakan surga yang kekal di langit, dan --untuk
      memberikan rasa takut-- neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
      batu." Demikian antara lain pandangan Sartre, salah satu tokoh aliran ini.
      Sebelum kita sampai pada pandangan Al-Quran, ada baiknya kita mengutip
      pendapat Alexis Carrel, seorang ahli bedah dan fisika, kelahiran Prancis
      yang mendapat hadiah Nobel. Beliau menulis dalam buku kenamaannya, Man the
      Unknown, antara lain: "Pengetahuan manusia tentang makhluk hidup dan
      manusia khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai
      dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan lainnya. Manusia adalah makhluk yang
      kompleks, sehingga tidaklah mudah untuk mendapatkan satu gambaran
      untuknya, tidak ada satu cara untuk memahami makhluk ini dalam keadaan
      secara utuh, maupun dalam bagian-bagiannya, tidak juga dalam memahami
      hubungannya dengan alam sekitarnya."
      Selanjutnya, ia mengatakan: "Kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang
      diajukan oleh para ahli yang mempelajari manusia hingga kini masih tetap
      tanpa jawaban, karena terdapat daerah-daerah yang tidak terbatas dalam
      diri (batin) kita yang tidak diketahui".
      Keterbatasan pengetahuan, menurutnya, disebabkan karena keterlambatan
      pembahasan tentang manusia, sifat akal manusia dan kompleksnya hakikat
      manusia. Kedua faktor terakhir adalah faktor permanen, sehingga tidaklah
      berlebihan menurutnya "jika kita mengambil kesimpulan bahwa setiap orang
      dari kita terdiri dari iring-iringan bayangan yang berjalan di
      tengah-tengah hakikat yang tidak diketahui."
      Dari segi pandangan seorang beragama, kiranya dapat dikatakan bahwa untuk
      mengetahui hal tersebut dibutuhkan pengetahuan dari pencipta Yang Maha
      Mengetahui melalui wahyu-wahyu-Nya, karena memang manusia adalah
      satu-satunya makhluk yang diciptakan atas peta gambaran Tuhan dan yang
      dihembuskan kepadanya Ruh ciptaanNya.
      Nah, apa yang dikatakan Al-Quran tentang manusia? Tidak sedikit ayat
      Al-Quran yang berbicara tentang manusia; bahkan manusia adalah makhluk
      pertama yang telah disebut dua kali dalam rangkaian Wahyu Pertama (QS
      96:1-5). Manusia sering mendapat pujian Tuhan. Dibandingkan dengan
      makhluk-makhluk lain, ia mempunyai kapasitas yang paling tinggi (QS 11:3),
      mempunyai kecenderungan untuk dekat kepada Tuhan melalui kesadarannya
      tentang kehadiran Tuhan yang terdapat jauh di bawah alam sadarnya (QS
      30:43). Ia diberi kebebasan dan kemerdekaan serta kepercayaan penuh untuk
      memilih jalannya masing-masing (QS 33:72; 76:2-3). Ia diberi kesabaran
      moral untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk, sesuai dengan
      nurani mereka atas bimbingan wahyu (QS 91:7-8). Ia adalah makhluk yang
      dimuliakan Tuhan dan diberi kesempurnaan dibandingkan dengan makhluk
      lainnya (QS 17:70) serta ia pula yang telah diciptakan Tuhan dalam bentuk
      yang sebaik-baiknya (QS 95:4).
      Namun di lain segi, manusia ini juga yang mendapat cercaan Tuhan. Ia amat
      aniaya dan mengingkari nikmat (QS 14:34), dan sangat banyak membantah (QS
      22:67). Ini bukan berarti bahwa ayat-ayat Al-Quran bertentangan satu sama
      lain, tetapi hal tersebut menunjukkan potensi manusiawi untuk menempati
      tempat terpuji, atau meluncur ke tempat yang rendah sehingga tercela.
      Al-Quran menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari tanah, kemudian setelah
      sempurna kejadiannya, Tuhan menghembuskan kepadanya Ruh ciptaan-Nya (QS
      38:71-72). Dengan "tanah" manusia dipengaruhi oleh kekuatan alam seperti
      makhluk-makhluk lain, sehingga ia butuh makan, minum, hubungan seks, dan
      sebagainya, dan dengan "Ruh" ia diantar ke arah tujuan non-materi yang tak
      berbobot dan tak bersubstansi dan yang tak dapat diukur di laboratorium
      atau bahkan dikenal oleh alam material.
      Dimensi spiritual inilah yang mengantar mereka untuk cenderung kepada
      keindahan, pengorbanan, kesetiaan, pemujaan, dan sebagainya. Ia
      mengantarkan mereka kepada suatu realitas yang Maha Sempurna, tanpa cacat,
      tanpa batas dan tanpa Akhir: wa anna ila rabbika Al-Muntaha -- dan
      sesungguhnya kepada Tuhan-Mu-lah berakhirnya segala sesuatu (QS 53:42).
      Hai manusia, sesungguhnya engkau telah bekerja dengan penuh kesungguhan
      menuju Tuhanmu dan pasti akan kamu menemui-Nya" (QS 84:6).
      Dengan berpegang kepada pandangan ini, manusia akan berada dalam satu alam
      yang hidup, bermakna, serta tak terbatas, yang dimensinya melebar keluar
      melampaui dimensi "tanah", dimensi material itu.
      Al-Quran tidak memandang manusia sebagai makhluk yang tercipta secara
      kebetulan, atau tercipta dari kumpulan atom, tapi ia diciptakan setelah
      sebelumnya direncanakan untuk mengemban satu tugas, Sesungguhnya aku
      hendak menjadikan seorang khalifah di bumi (QS 2:30). Ia dibekali Tuhan
      dengan potensi dan kekuatan positif untuk mengubah corak kehidupan di
      dunia ke arah yang lebih baik (QS 13:11), serta ditundukkan dan dimudahkan
      kepadanya alam raya untuk dikelola dan dimanfaatkan (QS 45:12-13). Antara
      lain, ditetapkan arah yang harus ia tuju (QS 51:56) serta dianugerahkan
      kepadanya petunjuk untuk menjadi pelita dalam perjalanan itu (QS 2:38).
      Penutup
      Demikian filsafat materialisme dengan aneka ragam panoramanya berbicara
      tentang manusia. Dan demikian pula Al-Quran. Keduanya telah menjelaskan
      pandangannya. Keduanya telah mengajak manusia untuk menemukan dirinya,
      tapi yang pertama berusaha untuk menyeretnya ke debu tanah dari Ruh Tuhan,
      sedangkan Al-Quran mengajaknya untuk meningkat dari debu tanah menuju
      Tuhan Yang Mahaesa.
MEMBUMIKAN AL-QURAN
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
Dr. M. Quraish Shihab
Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996
Jln. Yodkali 16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 - Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net
      
      Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis

      ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
      Please direct any suggestion to Media Team