- A. Pengertian Sosiologi Agama
Jika berbicara mengenai definisi
Sosiologi Agama, maka ada beberapa hal yang kami singgung dalam
pembahasan ini, di antaranya adalah mengenai pengertian Sosiologi,
Agama, prinsip sosiologi, dan objek kajian Sosiologi Agama. Sosiologi
secara umum adalah ilmu pengetauan yang mempelajari masyarakat secara
empiris untuk mencapai hukum kemasyarakatan yang seumum-umumnya.
Sosiologi juga dapat diartikan
sebagai ilmu tentang perilaku social ditinjau dari kecenderungan
individu dengan individu lain, dengan memperhatikan symbol-simbol
interaksi.
Agama dalam arti sempit ialah
seperangkat kepercayaan, dogma, peraturan etika, praktek penyembahan,
amal ibadah, terhadap tuhan atau dewa-dewa tertentu. Dalam arti luas, agama
adalah suatu kepercayaan atau seperangkat nilai yang minimbulkan
ketaatan pada seseorang atau kelompok tertentu kepada sesuatu yang
mereka kagumi, cita-citakan dan hargai.
Ada beberapa definisi Sosiologi Aagama, di antaranya adalah:
- Sosiologi agama adalah ilmu yang membahas tentang hubungan antara berbagai kesatuan masyarakat, perbedaan atau masyarakat secara utuh dengan berbagai system agama, tingkat dan jenis spesialisasi berbagai peranan agama dalam berbagai masyarakat dan system keagamaan yang berbeda.
- Sosiologi agama adalah studi tentang fenomena social, dan memandang agama sebagai fenomena social. Sosiologi Aagama selalu berusaha untuk menemukan pinsip-prinsip umum mengenai hubungan agama dengan masyarakat.
- Sosiologi Agama adalah suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
Devinisi I . Menurut Dr. H.
Goddijn Sisologi Agama ialah bagian dari Sosiologi Umum (versi Barat)
yang mempelajari suatu ilmu budaya empiris, profon dan positif yang
menuju pada pengetahuan umum, yang jernih dan pasti dari struktur,
fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok kegamaan dan
gejalah-gejalah kelompok kegamaan.
Devinisi II. Sosiologi Agama
ialah suatu cabang Sosiologi Umum yang mempelajari masyarakat agama
secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti
demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada
umumnnya. Segi-segi penting yang hendak ditonjolkan dalam devinisi itu
antara lain:
- Sosiologi Agama adalah cabang dari Sosiologi Umum
- Sosiologi adalah sungguh ilmu sebagaimana Sosiologi Umum adalah benar-benar suatu ilmu.
- Tugasnya mencari keterangan ilmiah.
Sosiologi Umum adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari masyarakat secara empiris untuk mencapai
hukum kemasyarakatan yang seumum-umumnnya. Jadi Sosiologi Umum bertugas
mencapai ke hukum kemasyarakatan yang seluas mungkin bagi kehidupan
masyarakat umumnya, maka Sosiologi Agama bertugas mencapai
keterangan-keterangan ilmiah tentang masyarakat Agama.
Sosiologi Agama menjadi disiplin
ilmu tersendiri sejak munculnya karya Weber dan Durkheim. Jika tugas
dari Sosiologi Umum adalah untuk mencapai hukum kemasyarakatan yang
seluas-luasnya, maka tugas dari sosiologi agama adalah untuk mencapai
keterangan-keterangan ilmiah tentang masyarakat agama khususnya.
Masyarakat agama tidak lain ialah
suatu persekutuan hidup (baik dalam lingkup sempit maupun luas) yang
unsure konstitutif utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaan.
Jika teologi mempelajar agama dan
masyarakat agama dari segi “supra-natural”, maka Sosiologi Agama
mempelajarinya dari sudut empiris sosiologis. Dengan kata lain, yang
akan dicari dalam fenomena agama itu adalah dimensi sosiologisnya.
Sampai seberapa jauh agama dan nilai keagamaan memainkan peranan dan
berpengaruh atas eksistensi dan operasi masyarakat. Lebih konkrit lagi,
misalnya, seberapa jauh unsur kepercayaan mempengaruhi pembentukan
kepribadian pemeluk-pemeluknya ikut mengambil bagian dalam menciptakan
jenis-jenis kebudayaan; mewarnai dasar-dasar haluan Negara; memainkan
peranan dalam munculnya strata (lapisan) social; seberapa jauh agama
ikut mempengaruhi proses social, perubahan social, fanatisme dan lain
sebagainya.
- B. Objek Kajian Sosiologi Agama.
- 1. Obyek Material (langsung)
Menurut Keith A. Roberts, sasaran (objek) kajian sosiologi agama adalah memfokuskan kajian paada:
1). Kelompok-kelompok dan
lemabaga keagamaan, yang meliputi pembentukannya, kegiatan demi
kelangsungan hidupnya, pemeliharaannya dan pembaharuannya
2). Perilaku individu dalam kelompok-kelompok tersebut atau proses social yang mempengaruhi status keagamaan dan perilaku ritual
3). Konflik antar kelompok,
misalnya Katolik lawan Protestan, Kristen dengan Islam dan sebagainya.
Bagi sosiolog, kepercayaan hanyalah salah satu bagian kecil dari aspek
agama yang menjadi perhatiannya.
Bila dikatakan bahwa yang menjadi
sasaran sosiologi agama adalah masyarakat agama, sesungguhnya yang
dimaksud bukanlah agama sebagai sutu system (dogma dan moral), tetapi
agama sebagai fenomena social, sebagai fakta social yang dapat
dilaksanakan dan dialami oleh banyak orang. Ilmu ini hanya
mengkonstatasi akibat empiris kebenaran-kebenaran supra-empiris, yaitu
yang disebut dengan istilah masyarakat agama, dan itulah sasaran
langsung dari sosiologi agama.
- 2. Obyek Formal (pendekatan)
Yang hendak dicari dalam fenomena
agama itu adalah dimensi sosiologisnya. Sampai seberapa jauh agama dan
nilai-nilai keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi
dan operasi masyarakat manusia. Lebih konkrit misalnya, seberapa jauh
unsure kepercayaan mempengaruhi pembentukkan kepribadian
pemeluk-pemeluknya, ikut menciptakan jenis-jenis kebudayaan, mewarnai
dasar dan haluan Negara, memainkan peranan dalam memunculkan strata
social. Jadi hal-hal tersebut dalam contoh di atas yang berkaitan erat
dengan masalah agama, Sosiologi Agama menyorotinya dari sudut pandang
sosiologis.
- C. Prinsip Sosiologi Agama.
Prinsip sosiologi ditandai dengan
2 prinsip dasar, yaitu: percaya kepada data empiric dan objektivitas.
Sosiolog hanya berurusan dengan fakta-fakta yang dapat diukur,
diobservasi dan diuji. Dalam prinsip objektivitas, bukan berarti bahwa
sosiolog mengklaim bahwa tidak bias salah, atau bias mencapai kebenaran
umum, sebab tidak ada satu disiplin ilmu pun yang berhak menyatakan
dirinya maha tahu atau paling benar. Objektivitas berarti sosiolog
berusaha mencegah kepercayaan agama pribadi masuk ke dalam bidang
studinya. Ilmuan social harus sepenuh hati untuk mencari kebenaran.
Sebagai warga Negara sosiolog mempunyai kepentingan dan preferensi
nasional namun mereka harus terbuka terhadap data dan menghindarkan diri
dari prejudgment (mengambil keputusan sebelum membuktikan kebenarannya)
terhadap suatu kelompok atau proses keagamaan tertentu. Seorang
sosiolog boleh tidak setuju dengan pandangan suatu kelompok yang sedang
diteliti, tetapi harus berusaha untuk mengerti kelompok itu atas dasar
penelitiannya menghindarkan bias dalam interpretasi proses-proses
kelompok itu.
Talcott Parsons berpendapat, jika
seorang sosiolog agama akan melakukan suatu analisis tentang sosiologi
terhadap agama, maka ia harus memahami:
- System fisiologis organisme
2. Sistm kepribadian individu
3. Sistem social kelompok
4. Sistem budaya
D. Tempat Sosiologi Agama
Tempat sosiologi agama sudah
diterangkan dalam definisi sosiologi agama itu sendiri. Ia merupakan
cabang dan juga vertical dari sosiologi umum. Maka, sosiologi agama
merupakan ilmu yang menduduki tempat yang profan. Ia bukanlah ilmu yang
sacral; ilmu yang dilakukan dan dibina oleh sarjana ilmu social, baik
orangnya suci maupun tidak suci. Karena maksud ilmu tersebut bukanlah
untuk membuktikan kebenaran (objektivitas) ajaran agama, melainkan untuk
mencari keterangan teknis ilmiah mengenai hal ikhwal masyarakat agama.
Berdasarkan keterangan di atas,
maka dapat dikatakan bahwa sosiologi agama mempunyai kedudukan yang sama
tingginya dengan rumpun ilmu social yang lain,dan ilmu ini lebih
merupakan ilmu praktis (terpakai) daripada ilmu teoritis murni. Ia
diciptakan untuk memecahkan masalah-masalah sosio-religius yang timbul
waktu itu di Eropa akibat kurangnya pengetahuan tentang segi-segi
sosiologis kehidupan beragama.
E. Fungsi Sosiologi Agama
Sosiologi agama memberikan
kontribusi yang tidak kecil lagi bagi instansi keagamaan. Sebagai
sosiologi positif ia telah membuktikan daya gunanya dalam hal mengatasi
kesulitan-kesulitan yang muncul dalam masyarakat serta menunjukkan
cara-cara ilmiah untuk perbaikan dan pengembangan masyarakat, demikian
juga sosiologi agama bermaksud membantu para pemimpin agama dalam
mengatasi masalah-masalah sosio-religius yang tidak kalah beratnya
dengan masalah-masalah social nonkeagamaan, memberikan pengetahuan
tentang pola-pola interkasi social keberagamaan yang terjadi dalam
masyarakat, membantu kita untuk mengontrol atau mengendalikan setiap
tindakan dan perilaku keberagamaan kita dalam kehidupan bermasyarakat,
dengan bantuan sosiologi agama, kita akan semakin memahami nilai-nilai,
norma, tradisi dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat lain serta
memahami perbedaan yang ada. Tanpa hal itu, mejadi alas an untuk
timbulnya konflik di antara umat beragama, membuat kita lebih tanggap,
kritis dan rasional untuk mengahadapi gejala-gejala social keberagamaan
masyarakat, serta kita dapat mengambil tindakan yang tepat dan akurat
terhadap setiap situasi social yang kita hadapi.
Menurut pandangan Durkheim,
fungsi sosiologi agama adalah mendukung dan melestraikan masyarakat yang
sudah ada. Djamari berpendapat bahwa ada 2 implikasi sosiologi agama
bagi agama, yaitu:
- Menambah pengertian tentang hakikat fenomena agama di beragai kelompok masyarakat, maupun pada tingkat individu;
- Suatu kritik sosiologis tentang peran agama dalam mayarakat dapat membantu kita untuk menentukan masalah teologi yang mana yang paling berguna bagi masyarakat, baik dalam arti sekuler maupun religious.
Dengan cara ini, sosiologi agama
memberikan sumbangan kepada dialog kegamaan di dalam masyarakat. Semua
pelopor sosiologi Eropa, seperti Karl Marx, Weber, Durkheim, serta
Simmel berpendapat bahwa untuk mengerti masyarakat modern, seseorang
harus mengerti peran penting agama dalam masyarakat.
F. Aliran- Aliran dalam Sosiologi Agama.
Sosiologi agama bukan merupakan
satu kesatuan yang seragam. Adapun perbedaan aliran dalam sosiologi
agama dengan cirri-ciri tersendiri disebabkan oleh:
- Perbedaan visi atas realitias masyarakat, khususnya mengenai kekuatan tertentu yang dianggap memerankan peranan dominan atas kehidupan masyarakat.
- Akibat dari perbedaan visi tesebut, digunakan pula metode dan pendekatan yang berbeda.
Aliran-aliran dalam sosiologi agama antara lain adalah:
- a. Aliran Klasik
Aliran ini muncul pada
pertengahan abad ke-19 dan belahan pertama dari abad ke-20 yang ditopang
oleh sejumlah sarjana (kecuali Durkheinm dan Weber). Bagi mereka
kedudukan sosiologi agama sangat dekat dengan sejarah dan filsafat dan
merupakan suatu refleksi dan analisis sistematis terhadap masyarakat,
kebudayaan dan agama.
Tujuan aliran ini adalah hendak
mengungkap pola-pola social dasar dan peranannya dalam mencipatakan
masyarakat. Instansi pemerintah dan kalangan agama yang berkonsultasi
dengan pendukung aliran ini, akan mendapat jawaban panjang tentang
sejarah dari masyarakat agama yang bersangkutan dan akan ditunjukkan
kekuatan-kekuatan (social) yang mendorong berdirinya unsure-unsur budaya
yang menopang kelangsungan hidup, disbanding dengan tuntutan-tuntutan
modern dalam situasi yang sudah berubah, lantas mempersilakan instansi
yang bersangkutan untuk mengadakan perubahan yang sesuai.
- b. Aliran Positivisme
Aliran ini mengikuti sosiologi
yang empiris-positivistis dan menyetarakan (menjajarkan) masyarakat
agama dengan benda-benda alamiah. Aliran ini menyibukkan diri dengan
kuantifikasi dari dimensi masyarakat yang kualitatif dengan metode
pengukuran yang eksak dan menarik kesimpulan yang dibuktikan dengan
fakta-fakta. Dengan kata lain, kesimpulan yang sifatnya netral tanpa
diwarnai pertimbangan teologis atau filosofis, dilepas dari konteks
sejarah perkembangan yang dialami masyarakat itu dalam waktu yang
lampau. Cara penganalisisan demikian itu dipegang ketat dan konsekuen
demi tercapainya hasil yang diinginkan, yaitu hasil yang seobjektif
mungkin.
Instansi (pemerintah atau
keagamaan) yang berkonsultasi dengan pendukung aliran ini untuk
mengadakan penelitian mengenai lembaganya atau organisasinya, akan
mendapat keterangan banyak tentang struktur organisasinya, mengenai
kualitas pemimpinnya dan reaksi (baik positif maupun negative) dari
naggota-anggota lemaganya. Instansi yang berkonsultasi akan diyakinkan
mengenai pentingnya keterangan (ilmiah) itu, tetapi kepadanya diserahkan
sepenuhnya untuk menentukan sendiri bagaimana ia akan menggunakan
informasi itu.
- Aliran Teori Konflik (Teori Kritis)
Menurut ahli teori ini,
masyarakat yang baik ialah masyarakat yang hidup dalam situasi
konfliktual. Masyarakat yang hidup dalam keseimbangan (equilibrium)
dianggap sebagai masyarakat yang tertidur dan berhenti dalam peruses
kemajuannya. Karena konflik social dianggapnya sebagai kekuatan social
utama dari perkembangan masyarakat yang ingin maju kepada tahap-tahap
yang lebih sempurna. Gagasan ini dicetuskan oleh Hegel, Karl Marx dan
Weber. Sebagai sarana mutlak (yang diberikan oleh alam sendiri) untuk
memajukan masyarakat manusia.
Aliran ini tidak sepakat dengan
para ahli aliran fungsionalisme yang melihat keseimbangan soosial
masyarakat sebagai bentuk hidup yang ideal, karena dianggap kurang
menyadari atau membiarkan adanya kekurangan dan ketidakadilan yang
dibungkam oleh struktur kekuasaan yang bertahan. Aliran ini juga tidak
menyetujui metode kuantitatif dari aliran positivism, karena dianggap
sebagai suatu hal yang mengasingkan orang dari masyarakat.
Aliran ini tidak dapat memusatkan
perhatiannya pada problem mikro saja, karena pengkajian masalah yang
kecil akan mengundang persoalan yang lebih besar. Dan hal yang tidak
boleh dilupakan dalam analisisnya adalah usaha menempatkan situasi yang
dhadapi dalam kurun sejarah perkembangan yang telah dilewati yang tidak
dapat dilepaskan dari masalah baru yang hendak dicari pemecahannya.
Aliran sosiologi ini mempunyai persamaan dengan aliran sosiologi kalsik
yang selalu tertarik pada problem-problem makro, dan masalah-masalah
mikro hanya diperhatikan sejauh itu dapat memberikan keterangan bagi
pemecahan masalah yang besar.
Jika salah satu instansi
pemerintah dan keagamaan berkonsultasi dengan pendukung aliran ini, maka
mereka akan mendapat seperangkat penjelasan tentang unsure-unsur
pertentangan yang ada dalam tubuh organisasinya, dan yang berhasil
digali dari keasadaran kelompok-kelompok yang saling bertentangan, lalu
diberikan solusi yang dipandang tepat untuk mengatasi masalah-masalah
yang dihadapi.
- d. Airan Fungsionalisme
Para pendukung aliran ini
bertolak belakang dari pendirian dasar bahwa masyarakat itu suatu system
perimbangan, di mana setiap kelompok memberikan sumbangannya yang khas
melalui peranannya masing-masing yang telah ditentukan demi lestarinya
suatu masyarakat. Menurut mereka, timbulnya suatu bentrokan dalam
organisasi dipandang berfungasi korektif untuk membenahi
kesalahan-kesalahan yang telah terjadi, yang tidak berjalan baik.
Penelitian yang dilakukan sebegaian besar bertujuan untuk mendapatkan
keterangan-keterangan tentang apakah tugas-tugas yang dilaksanakan oleh
pimpinan adan anggotanya berjalan dengan baik.
Aliran ini menerima prinsip kerja
yang memperkecil penelitiannya pada suatu problem mikro, yang dianggap
berguna sebagai sampel untuk mengetahui kedaan keseluruhannya sebagai
system keseimbangan. Apabila pendukung aliran ini diminta untuk
melakukan sebuah penelitian terhadap suatu masyarakat agama, maka ada 2
hal pokok yang menjadi perhatian utamanya:
1) Bagian mana dari lembaga tersebut yang berfungsi baik.
2) Bagian mana dari lembaga tersebut yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Penelitian yang dilakukan oleh
aliran fungsionalisme telah melahirkan kesimpulan-kesimpulanyang sangat
berguna bagi instansi-instansi keagamaan/ pemerintah. Menurut aliran
ini, baik masyarakat religious maupun masyarakat profan, keduanya
mengembang fungsi bagi umat manusia, dan mempunyai kewajiban moril untuk
menyadari sifat saling ketergantungannya.
Teori ini melihat agama sebagai
suatu bentuk kebudayaan yang istimewa, yang pengaruhnya meresapi tingkah
laku manusia penganutnya, baik lahiriyah maupun bathiniyah, sehingga
system sosialnya untuk sebagian besar terdiri dari kaidah-kaidah yang
dibentuk oleh agama.
G. Metode Penelitian Dalam Sosiologi Agama
Sebagaimana penelaahan proses
social lainnya, kajian sosiologi agama menggunakan metode ilmiah.
Pengumpulan data dan metode yang digunakan antara lain dengan data
sejarah, analisis komparatif lintas budaya, eksperimen yang terkontrol,
observasi, survai samlpling dan content analisis.
- 1. Analisis Sejarah
Objek studi sosiologi adalah
menerangkan realitas masa kini, yang berhubungan erat dengan kehidupan
manusia dan yang mempengaruhi gagasan serta perilaku manusia. Untuk
mengerti persoalan yang dihadapi manusia saat ini, kita harus mngetahui
sejarah masa silam. Meskipun terkadang metode ini tidak selalu dapat
menjawab persoalan yang dihadapi karena agama tidak sama nilai maupun
kepentingannya untuk setiap tempat dan waktu.
Sejarah dalam hal ini hanya
sebagai metode analisis atas dasar pemikiran bahwa sejarah dapat
menyajikan gambaran tentang unsur-unsur yang mendukung timbulnya suatu
lembaga. Karena itu, setiap kita harus menjelaskan fakta manusiawi yang
berhubungan dengan sesuatu waktu, apakah itu masalah kepercayaan, hukum,
moral, system ekonomi, teknologi, kita perlu melihat sejarah kejadian
dan perkembangan eksistensinya dimulai dari bentuk yang sederhana hingga
bentuk yang lebih kompleks yang tampak sekarang.
Pendekatan sejarah bertujuan
untuk menemukan inti karakter agama dengan menelusuri sumber di masa
lampau sebelim tercampuri tradisi lain. Pendekatan tersebut didasarkan
kepada personal historis dan perkembangan kebudayaan umat manusia.
Pendekatan yang didasarkan atas sejarah personal, berusaha menelusuri
awal perkemabangan tokoh keagamaan secara individual, untuk menemukan
sumber-sumber dan jejak perkembangan perilaku keagamaan sebagai hasil
dialog dengan dunia sekitarnya.
Beberapa sosiolog menggunakan
data historis untuk mencari pola-pola interaksi antara agama dan
masyarakat. Pendekatan ini telah membimbing ke arah pengembangan teori
tentang evolusi agama dan perkembangan tipologi kelompok-kelompok
keagamaan. Analisis hisoris telah digunakan oleh Talcott Parson dan
Bellah dalam rangka menjelaskan evolusi agama, Berger dalam uraian
tentang memudarnya agama dalam masyarakat modern, Max Weber ketika
menerangkan tentang sumbangan teologi Protestan dalam melahirkan
kapitalisme dan sebagainya.
- 2. Analisis Lintas Budaya
Dengan membandingkan pola-pola
sosioreligius di beberapa daerah kebudayaan, sosiolog dapat memperoleh
gambaran mengenai korelasi unsure budaya tertentu atau kondisi
sosiokultural secara umum.
Talmon menggunakan data lintas
budaya untuk menelaah pola-pola di antara gerakan millenarian, yaitu
gerakan keagamaan yang menganggap akan adanya era baru di masa yang akan
dating setelah jatuhnya penguasa yang lama. Salah satu kesulitan
pelaksanaan analisis sosiologi agama melalui analisis lintas budaya
yaitu sangat bervariasinya konsep agama pada daerah kebudayaan yang
berlainan, juga sulit dalam mendapatkan ketepatan yang disyaratkan oleh
para saintis.
- 3. Eksperimen
Metode eksperimen sulit
dilaksanakan dalam bidang sosiologi agama. Namun, di dalam beberapa hal
masih dapat dilalukan, misalnya untuk mengeevaluasi hasil pebedaan
belajar dari beberapa model pendidikan agama.
- 4. Observasi Partisipatif
Dengan partisipasi dalam
kelompok, peneliti dapat mengobservasi perilaku orang-orang dalam
konteks religious. Hal itu dapat dilakukan dengan terus terang, artinya
orang yang dobservasi itu boleh mengetahui bahwa mereka sedang
dipelajari. Keuntungan dari metode observasi partisipatif adalah:
a. Memungkinkan pengamatan
interaksi simbolik antara anggota kelompok secara mendalam. Interaksi
simbolik maksudnya adalah suatu perspektif teoritik sosiologi dan
psikologi social. Dengan perspektif ini, indivudu tidak dilihat reponnya
yang lahir, namun dipahami makna dari perilaku itu. Sering makna
simbolik dan tata laku dielajari sejak dini secara menyeluruh dengan
jalan individu berperan serta di dalam kelompok. Pakainan, pandangan
mata, jarak antara orang yang sedang bicara dan gerak merupakan contoh
fenomena yang sering secara simbolik sangat signifikan dalam rangka
memperoleh pengertian suatu kebudayaan. Tipe-tipe anggota yang menjadi
objek dalam interaksi simbolik itu digunakan sebagai dasar analisis.
b. Observasi peran serta
berguna jika peneliti berpendapat bahwa ada kesenjangan antara apa yang
dikatan dengan perilaku orang-orang yang sedang diteliti. Misalnya,
responden menyatakan bahwa ia sangat komitmen dengan ajaran ortodoksi
agama, namun perilakunya sehari-hari tidak relevan, perlu dipertanyakan.
c. Observasi peranserta
memberikan kesempatan untuk mendapatkan data secara otentik, terutama
mengenai perilaku atau karakteristik yag sifatnya pribadi. Dengan
observasi peran serta dapat terungkap kualitas perilaku yang lebih
dalam, yang mungkin tidak tercakup oleh kuesioner maupun interview
singkat. Karena itu, observasi seperti ini sering dihubungkan dengan
metode riset kualitatif.
Kelemahan dari metode ini antara lain adalah:
- Mungkin data terbatas pada kemampuan observer dan apa yang dianggap benar dalam suatu kasus, belum tentu benar pada kasus lain.
- Studi kasus member peluang bagi peneliti untuk mengumpulkan data secara mendalam, tetapi sering kurang meluas, terikat oleh sesuau aspek tertentu yang menjadi perhatian peneliti.
- Diperlukan sejumlah besar kasus untuk menggenaralisasikan pola yang diidentifikasikan.
- Data yang dilaporkan sering terikat oleh system penyaringan peneliti sendiri. Tidak semua observer tertarik pada pola yang sama. Apa yang dipilih dan dicatat oleh observer mungkin tidak lengkap.
- 5. Riset Survei dan Analisis Statistik
Peneliti menyusun kuesioner,
melakukan interview dengan sampel dari sustu populasi. Sampel dan
populasi bias berupa oganisasi keagamaan atau penduduk sustu kota atau
desa. Responden misalnya ditanya tentang:
1. Afiliasi keagamaannya;
2. Frekuensi kehadiran ditempat-tempat peribadatan;
3. Frekuensi keteraturan sembahyangnya;
4. Pengetahuan tentang ajaran agama atau doktrin yang dikembangkan oleh sesuatu organisasi keagamaan;
5. Kepercayaan kepada sesuatu
konsep keagamaan tertentu seperti tentang hidup setelah mati, eksistensi
tuhan, tentang akan kembalinya nabi Isa (yesus) dan indicator
religiousitas lainnya.
Prosedur ini sangat berguna untuk
memperlihatkan korelasi dari karakteristik keagamaan tertentu dengan
sesuatu sikap social, atau atribut religious tertentu. Kalau metode
historis dan observasi memberi peluang kepada interpretasi data
subjektif, maka data survey untuk mengidentifikasi sesuatu lebih cermat
dari korelasi religious dengan sikap dan karakteristik social tertentu.
Misalnya korelasi antara:
1. Fundamentalisme dengan anti semitisme
2. Frekuensi menghadiri acara kegerejaan atau pengajian dengan tradisionalisme peran wanita dan pria.
3. Afiliasi denominasi atau organisasi keagamaan tertentu dengan mobilitas social dan tingkat pendapatan.
Dengan kata lain, riset survey
memberikan kesempatan kepada peneliti untuk mengendalikan variable dan
identifikasi korelasi. Adapun kesukarannya antara lain adalah:
1. Analisis statistic tentang
korelasi karakteristik keagamaan dengan atribut social belum tentu
menunjukkan factor penyebab dari atribut tersebut, yang berarti
interpretasi makna suatu event kadang-kadang hilang.
2. Data tidak menunjukkan
proses yang dilalui oleh sesuatu subyek hanya bersifat statis atau non
hirostik, tidak menunjukkan fase-fase perkembangan sebab akibat.
3. Kadang-kadang peneliti
beranggapan jawaban yang negative terhadap sesuatu pertanyaan,
diartikan”kurang religious atau kurang orthodox seseorang responden.
4. Pertanyaan-pertanyaan
sering tidak memberikan peluang kepada orang untuk mengemukakan modes
alternatif religiuisitas yang lainnya.
5. Apa yang dikatakan orang dikatakan orang tidak selaras dengan perilakunya.
6. Informasi survey tidak
melibatkan kepada studi yang langsung mengenai pengalaman keagamaan itu
sendiri, hanya menfokuskan pada laporan pengalaman keagamaan.
7. Informasi yang dikumpulkan melalui daftar pertanyaan “lebih lunak” dari pada hakikat informasi yang sebenarnya.
f. Analisis Isi
Peneliti mencoba mencari
keterangan dari teman-tenman religious; baik berpa tulisan, buku-buku
khotbah, doktrin, deklarasi teks dan lain-lain. Misalnya:
1. Sikap suatu kelompok keagamaan dapat dianalisisdari isi khotbah yang diterbitkan oleh kelompok tersebut;
2. Pandangan hidup dari
organisasi atau aliran agama dapat diidentifikasi dari tema atau isi
lagu-lagu yang biasa dinyanyikan di gereja, atau lagu qasidahan yang
dilantunkan oleh senimannya;
3. Keterlibatan religious seorang Amerika misalnya, dianalisis dari buku-buku agama popular yang terbit di Negara tersebut;
4. Tentang eivil religion
(sejenis agama bangsa) dipelajari melalui analisis isi referensi
relegius, misalnya dalam Declaration of Independence, pidato pengukuhan
presiden dan statement lain yang erat hubungannya dengan tujuan bangsa
sesuatu Negara.
Content analisis bermanfaat,
namun salah satu kesulitannyaadalah asumsinya bahwa asumsi tertulis
dianggap sebagai gambaran tepat dari pandangan rakyat. Padahal pidato
pengukuhan presiden misalnya, belum tentu mencerminkan sikap dan nilai
yang demiliki dan disetujui oleh suatu penduduk suatu Negara tertentu.
Sangat lakunya buku-buku agama belum tentu menggambarkan tingkat
religiusitas penduduk.
Sumber : http://blog.uin-malang.ac.id/muttaqin/2011/04/21/pengertian-sosiologi-agama/