Oleh: NURBUANA
SMAN 1 SUKAMULIA
“Salahkah bila aku terlahir ke dunia ini???”.
Kumandang adzan subuh bergema di desa Jurang Jaler membangunkan para warga.
Bu Romlah dan keluarga sudah bangun sejak pukul 03.00 tadi. Mereka bersiap-siap
pergi ke BIL (Bandara Internasional Lombok) untuk menjemput Hadijah yang akan
pulang dari Arab Saudi sebagai TKW. Selesai menunaikan shalat subuh, bu Romlah
dan keluargapun berangkat menggunakan mobil
gomong milik suaminya.
Tepatnya pada hari kamis (2/2 ’12) BIL
yang berada di desa Tanak Au, Lombok Tengah, penuh dipadati oleh orang-orang
yang sedang menunggu kedatangan keluarganya dari berbagai Negara, seperti,
Malaisysa, Arab Saudi, Korea, dsb. Di selah-selah keramaian itu, jalan sosok
wanita muda yang mengenakan jilbab berwarna ungu, bertubuh tinggi, dan berkulit
sawo matang. Dengan raut wajah lesu, lelah, dan letih dia memopong tas
besarnya. Maklumlah, sudah berjam-jam wanita itu duduk di atas kursi impian,
terbang layaknya burung molek mengepakkan sayapnya kesana kemari, sambil
menikmati indahnya alam semesta ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Tidak lain dan
tidak bukan wanita muda itu adalah Hadijah.
Hadijah menoleh kiri-kanan, depan-belakang, tapi dia tidak melihat satupun
keluarganya yang menjemputnya. Untuk melepas lelahnya, dia duduk untuk
beristirahat. Tak lama kemudian, sosok waniata tua memanggilnya dari kejauhan.
“hadijaaaaaaaaaaaaaaaaaah!!!” teriaknya menghampiri Hadijah.
“inak…..”, kata Hadijah juga
menghampiri wanita tua itu. Wanita tua itu adalah bu Romlah ibunya Hadijah.
Kemudian, bu Romlah dan Hadijah berpelukan meluapkan kerinduan mereka. Maklum,
sudah 10 tahun mereka tidak pernah berjumpa. Bu Romlah, Hadijah, dan
keluarganya beranjak untuk pulang.
Beberapa jam kemudian, mereka tiba di rumah. Setibanya, mereka sudah
ditunggu oleh keluarga besar mereka. Hadijah dan keluarganya bersalaman satu persatu.
Setelah lama mereka berbagi cerita, Hadijah membuka tas besarnya dan
mengeluarkan isi tasnya itu. Hadijah membagikan keluarganya oleh-oleh dari Arab
Saudi.
Malam harinya, Hadijah, bu Romlah, dan pak Akup berkumpul di ruang
keluarga.
“ijok,
kembekm ndek olek kance sumenep???”,
suara bu Romlah membuka pembicaraan dengan logat bahasa Lombok yang begitu
kental.
“Sakra
lain olek inak. Unin
jak, lemak
erun jok te”, jawab Hadijah.
Setelah lama mereka mengobrol, Hadijah masuk kamar untuk beristirahat.
Keesokan harinya, Sumenep dan seorang wanita datang ke rumah Hadijah.
“assalamu’alaikum”, salam Sumenep.
“wa’alaikumsalam, eh… Sumenep. Ane tame”, suara bu Romlah dengan ramah.
Hadijah dan pak Akup keluar menghampiri Sumenep. Dalam hati Hadijah
bertanya-tanya, “sai nine sak kancen Sumenep nu a???”.
Bu Romlah menjamu Sumenep dan wanita itu dengan makanan dan minuman
seadanya. Tak lama kemudian, Sumenep membuka pembicaraan.
“inak, amak, Hadijah….. kenalang juluk ni Ayu
senine pertame ke”. Katanya dengan
nada agak ketakutan.
Hadijah, bu Romlah, dan pak Akup terkejut setengah mati. Hadijah tidak bisa
mengeluarkan satu katapun. Dengan cepat air matnaya mengalir.
“ape!!!???”, kata pak Akup dengan nada yang keras. Pak Akup
dan bu Romlah kelihatan sangat marah.
Hadijah pun melontarkan kata pedas kepada Sumenep. “mame setan kamu, wah telu taun me ajak-ajakang
ke. Kembeken
nane taokem jujur?”,
menunjuk-nunjuk Sumenep dengan tangan kirinya, dan tanpa dia sadari tangannya
dengan cepat menampar wajah Sumenep.
Ayu hanya diam menyaksikan kejadian itu. Dia tidak tahu harus bilang apa
sama Hadijah dan keluarganya. Ayu begitu dewasa menerima semuanya, meskipun
cintanya sudah dihianati oleh Sumenep.
“tegem
aranen Sumenep!!! Tegem
ajak-ajakang ke setaun-taun. Ndek
ke tao lamunem maduk ke. Nane
pilek, eyakem pelik aku ato nine tie???”,
dengan tegas Hadijah melontarkan kata-kata itu sambil bercucuran air mata.
“maaf ijok, ndek
ke tao lepas Ayu olek irup ke”.
“berarti artin kamu lebih pilek niye daripade aku…. Olek jelo ne, seang ke. Nyerim olek bale
ke!!!”.
“aok
aneh Ijok, yak ke seangem wah”,
dengan cepat Sumenep mengucapkan kata cerai.
Pak Akup tidak bisa menahan amarahnya, dan memukuli Sumenep sampai babak
belur dan menyeret Sumenep dan Ayu keluar dari rumah mereka. Para warga keluar
rumah bergerombolan menyaksikan mereka berseteru.
Bu Romlah menenangkan hati Hadijah. Tapi, Hadijah masih saja menangis dan
tidak bisa menerima itu semua.
Malam harinya, pak Akup bertanya kepada Hadijah, “Ijok, embe penghasilanem sak elek Arab Saudi??? Wah pire taun suahanem merarik kance Sumenep ndekem wah ngirimang inak kance
amak”.
“anu amak….
selapuken aku kirimen jok Sakra. Sik ke paran elek Sakra ne dengan
toaken Sumenep terimaken. Laguk ternyate seninaken nu terimaken selapuken amak”, jawab Hadijah dengan rasa takut yang mengebu-gebu.
“ya Allah…. Ijok!!! kamu wah tebuteang isik semamakem sik
ndek tau diri nu. Cume
gare-gare niye ampokem lupak olek amak kence inak!!!”, kata pak Akup dengan nada yang sangat keras.
“amak, ndek ku wah lupak olek amak kance inak. Laguk,…….”
“alaaaaaaaaaaaaaaaaah, wah aneh…. Lemak eru, kamu lao jok Sakra bait selapuk kirimanem nu”, kata pak Amat memotong pembicaraan Hadijah.
“laguk
amak…. Aku
ilak amak, ndekke mungki tao
bedait
kance Sumenep
kance seninen. Sengak
nu sak pinakke sakit angen doang”,
jawabnya dengan lemah lembut.
“lile
unim?! lile?! Kembekem harus lile??? Selapuken nu hakem, hasilem mesak. Dait kembekem harus sakit angen??? Kamu kance Sumenep wah tak beseang, kamu wah tak darak hakem ngurus
kehidupan niye!!! Amak
cume ngendeng elek kamu, bait
hakem. Amak
ndek mele gitak usahem sie-sie”, kata pak Akup menjelaskan Hadijah panjang lebar.
“laguk
amak….”
“wah
aneh, terserah em
lalo kek ndek kek ndekke
peduli. Nane
embe em pilek, em lalo olek bale ni selame-lamen ato em jok Sakra bait selapuk
doem”, kata pak Akup menyela suara
hadijah.
“amak, laguk amak…”
“aaaaaaaaaaah, wah aneh. Pineng ke urus kamu wah. Padahal jak karingem yak milek
doang”, kata pak Akup meninggalkan
Hadijah.
Hadijah sangat bingung, tidak tahu harus bagimana. Dan dia mengadu sama ibunya,
tapi malah ibunya lebih memihak pada bapaknya. Dan Hadijah hanya bisa menangis
sendiri. Dalam hati dia berdo’a, “ya Allah… tulung ke, ke mohon”.
Setelah lama dia larut dalam kebingungan dan isak tangisnya, kemudian dia
tertidur. Dalam tidurnya dia bermimpi Sumenep menganiayanya. Hadijah bangun,
terkejut dengan mimpinya itu, dengan bercucuran keringat dan air mata yang
mengalir deras.
Pagi harinya, pak Akup dan bu Romlah menghampiri Hadijah yang sedang
memasak. Pak Akup melanjutkan pembicaraan mereka yang tadi malam.
“Ijaok, wahem tentuang pilenannem???”, Tanya pak Akup..
“amak… ke mohon, nendek paksak ke”, jawabnya lemah lembut.
“Ijok!!! Sebenaren kangenem jak olek aku
kance inakem???!!!”, solot pak
Akup.
“amak…. Kangenke sebenaren lek selapukan. Laguk maaf, ndekke tao turut kemelekem”.
“aok
aneh Ijok… nu artin kamu lebih pilek lalo olek bale ni selame-lamen!!! Olek nani kamu nyeri wah olek bale
ni!!! Terserah mbe-mbe
melem laik. Ite
wah ndek peduli elek kamu!!!”,
katanya mengusir Hadijah, dan menyeretnya keluar rumah.
Untuk yang kedua kalinya, warga kembali keluar rumah bergerombolan
menyaksikan keributan itu. Warga terheran-heran melihat sikap pak Akup. Tidak
sedikit warga menggeleng-gelengkan kepala terheran.
Hadijahpun larut dari hadapan bapak dan ibunya. Hadijah bingung mau pergi
kemana, dia berjalan tertatih-tatih menyusuri sepanjang jalan.
Tak lama kemudian Hadijah ingat bahwa dia punya keluarga di Batu Nyala,
desa Praya. Diapun memutuskan untuk pergi kesana. Setibanya disana, Hadijah
diterima baik oleh keluarganya itu. Dan Hadijah menceritakan semua yang
terjadi.
“wah
aneh Ijok…. Kamu nendek
terlalu pikirangen. Nane
arakanem istirahat bae”, kata pak
Ady pamannya Hadijah.
“aok
tuak….”, jawabnya.
“anak, sabarem wah aneh???”, kata bu Fatimah bibiknya Hadijah.
Hadijah merasa tidak tenang dengan kejadian itu. Hadijah kembali mengingat
kelakuan Sumenep. “Sumenep, wah 3 taunem ajak-ajakang ke. Ndekke tao terimak selapuk entenem ni!!!”, Hadijah nyeletuk tidak bisa menerima itu semua.
Setelah kejadian itu, Hadijah jadi banyak diam, lebih suka menyendiri.
Kadang-kadang dalam diamnya itu dia menangis histeris dan tidak sadarkan diri. Pak
Ady dan bu Fatimah hanya bisa diam dan merasa kasihan melihat keponakannya itu.
3 bulan kemudian……
Saat sarapan di dapur, tiba-tiba Hadijah muntah-muntah. Bu Fatimah datang
menghampirinya. “kembekem Ijok???”, tanyanya cemas.
“ndekke
taon saik, bare-bareng
ke mele ngutak, dait
pineng gati otakke”.
“Ijok, sang kamu betian jage tie???”
“ape!? betian!?”, kata Hadijah terkejut mendengar perkataan bibiknya
itu.
Untuk memastikannya, bu Fatimah pergi membawa Hadijah ke belian untuk mencari tahu Hadijah
kenapa. Tidak dia sangka-sangka ternyata Hadijah hamil. Mendengar itu,
Hadijahpun menangis histeris.
Keesokan harinya, Hadijah memberanikan diri pergi ke Sakra untuk menemui
Sumenep dan ingin memberitahu Sumenep bahwa dia hamil. Tapi, sesampainya di
Sakra, Hadijah bertemu sama Ayu, dengan baik Ayu menyambut kedatangan Hadijah.
Sayang seribu sayang, Sumenep sudah kembali ke Arab Saudi melanjutkan
pekerjaannya. Tapi, tidak sia-sia Hadijah ke Sakra. Hadijah mendapatkan nomer
Hp Sumenep dari Ayu. Setelah itu, Hadijah pamit pulang.
Sesampainya di rumah, Hadijah langsung mencoba menelpon nomer yang dikasi
oleh Ayu itu. Dan ternyata nomer itu bisa nyambung. Beberapa detik kemudian, telfonnya
diangkat.
“halo…”, suara yang sangat tidak asing buat Hadijah. Dan itu adalah suara
Sumenep.
“halo, Sumenep… aku ni Ijok”.
“Ijok??? Arak ape ampokem telpon ke???”, kata Sumenep terkejut.
“Sumenep, betianke…”
“betian??? Betian anak sai nok kamu???”.
“anak kamu senoh”.
“anakke???
Kamu nendek
bejorak Ijok… wah
ngonek te beseang, jari
ndeken mungkin tie anakke.
Atau
sang kamuuuuuuuu…..”, kata Sumenep.
“jarin, kamu tuduhke gawek sak ndek-ndek kance
dengan lain?? Selamen
te beseangndekke wah bae berhubungan kance mame lain. Jari wah keruan ni anakem Sumenep”.
“alaaaaaaaaaaaaah, wah aneh. Nendekem ulak ngelak!!!”, kata Sumenep mematika telponnya.
Dengan itu, hidup Hadijah semakin tidak menentu. Dia stress, tidak sanggup
menjalani cobaan hidupnya itu. Hidupnya dia hiasi dengan keluhan-keluhan yang tidak
menerima itu semua.
Hadijah berniat untuk menggugurkan kandungannya. Tapi, bu Fatimah
mengingatkannya bahwa itu tidak baik. Tapi, Hadijah terus berusaha menggugurkan
kandungannya. Banyak macam cara yang sudah dia lakukan, dari memukul-mukul
perutnya sampai meminum obat-obat keras. Bu Fatimahpun makin tidak tahan
melihat kelakuan keponakannya itu.
“Ijok!!! Kanak tie ndeken salak ape-ape. Jari, salak belekem lamunem mele matek kanak tie. Seendeken, kamu alurang kanak tie lahir jok dunie
seniken. Lamun
wah sugul, terserah wah em kembek-kembek
kanak tie!!!”, kata bu
Fatimah dengan nada yang keras dan kesal. Mendengar itu, Hadijah hanya terdian
dan menundukkan kepala.
6 bulan kemudian…..
Senin (22/10’12) siang harinya, pak Ady,
bu Fatimah, dan keluarga berkumpul di teras rumahnya. Siang itu, hadir juga Lin
anak pak Ady dan bu Fatimah dan Ahmad menantu pak Ady dan bu Fatimah. Tak lama
kemudian, tiba-tiba Hadijah berlari menuju kamar mandi.
“kembekem
Ijok???!!!”, Teriak bu Fatimah.
Tapi, Hadijah tidak menghiraukannya.
Beberapa menit kemudian, pak Ady dan keluarganya mendengar suara tangis
bayi. Merekapun menuju ke kamar mandi. Mereka melihat seorang bayi perempuan
tergeletak di lantai dan Hadijah duduk sambil mencekik leher bayinya. Pak Ady
dan keluarganya terkejut melihatnya. Kemudian Lin mengangkat bayi itu sambil
menangis dan pergi membersihkan bayi itu. Setelah bayi itu dibersihkan, Lin dan
Ahmad minta izin membawa bayi itu pulang ke Batu Nampar. Tanpa berfikir
panjang, Hadijah menyerahkan bayinya itu. Tanpa bertele-tele, Lin dan Ahmad
pulang membawa bayi itu. Dalam perjalanan, Ahmad membelikan bayi itu
perlengkapan bayi.
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di rumah kediaman mereka. Bu Atul
ibunya Ahmad terkejut melihat anak dan menantunya itu membawa bayi.
“Lin, Mad…. Anak sai ni???”, tanyanya heran.
“anaken Ijok inak…”, jawab Lin.
“kembekem
jauken??? Terus, Ijok
mbe???”, tanyanya lagi.
“lek Batu Nyala inak…”, jawab Lin dengan singkat.
“kembeken
terus kanak ni arak kamu???”,
Tanyanya lagi dan semakin penasaran.
Kemudian Ahmad menceritakan semuanya sama ibunya. Bu Atul terkejut
mendengar itu, dan merasa kasihan sama Hadijah dan bayinya.
“anak
sai ni???”, tanyak pak Amin terheran.
“anaken Ijok. Unin Lin dait Ahmad, Ijok melen sematek kanak niken”.
“astagfirullohal’adzim… asek ke gitak kanak ni”.
Malam harinya. “Lin, berembe lamun te beng inak kake Hen me
sak lek Dasan Lekong???”, kata bu
Atul membuka pembicaraan.
“ape
inak???!!!”, kata Lin terkejut.
“aok, kamu kan taon inak kakem nu
ndeken bedoe anak. Selapuk
te ketaon inak kakem nu urus selapuk anak semetonen, terutame Ahmad semamem. Laguk ndek te taok lemak brembe kejarian. Lemak sakem wah pade sukses ndekem inget
jage elek jase-jasen”, kata bu
Atul menjelaskan Lin panjang lebar.
“ndek
inak, eak
ke pinak kanak ni anak nine ke”,
jawab Lin.
“Lin, inak
mohon lek kamu…. Ape ndekem asek elek inak
kakem???”.
“laguk
kan inak kake ke wah bedoe anak angkat lak Ningsih”.
“aok, laguk kan Ningsih nane wah kelas 3 SMA, kari seberak yaken lalo
kuliah. Kan
munem ketaon, kemelek Ningsih lalo kuliah jok UNRAM sanget belek. Otomatis lamun Ningsih wah kuliah laun eaken ngekost, dait ndeken mungkin elek Mataram
sampe Dasan Lekong eaken ulek lalo.
Terus, bude dan pade kamu sama siapa???”.
“bu, maafkan keegoisan Lin ya??? Ya sudah, aku relakan bayi ini untuk bude
Hen”.
Setelah itu, bu Atul langsung menelfon bu Hen.
“halo, asslamu’aliakum…”. Suara mungil Ningsih menjawab telpon bu Atul bibiknya.
“wa’alaikumsalam… Ning, bunda kamu mana?”.
“ada tu di dapur. Tunggu ya bik tiang
panggil dulu”.
Tak lama kemudian, “assalamu’alaikum, ada apa Tul???”.
Bu Atul menceritakan semuanya dan menawarkan bayi itu untuk di angkat jadi
anak bu Hen. Bu Hen tidak menerima bayi itu begitu saja. Sebelumnya dia meminta
izin kepada pak Alimudin suaminya. Dengan senang hati pak Alimudin menyuruh
istrinya mengambil bayi itu. Yang masih menjadi kendalanya adalah Ningsih. Bu
Hen dan pak Alimudin takut kalau Ningsih tidak mau menerima bayi itu. Tapi,
tidak sengaja Ningsih mendengagr pembicaraan ibu dan bapak angkatnya itu. Dan
dengan senang hati juga Ningsih mau menerima bayi itu.
Keesokan harinya, sore hari keluarga Ahmad dari Batunampar bergerombolan
pergi ke Dasan Lekong mengantar bayi itu. Dengan kehadiran bayi itu, Ningsih
jadi lebih betah tinggal di rumah yang pada awalnya Ningsih jarang ada di
rumah. Dan dengan kehadiran bayi itu juga Ningsih menjadi semakin dewasa. Serta
tugas-tugas sekolah dan rumahnya dengan semangat dia kerjakan. Setiap hari
sepulang sekolah dia langsung menggendong bayi itu. Dan selalu menghabiskan
waktu mainnya bersama bayi itu.
“saya tidak rela kalo Ningsih harus mengurus anak itu!!! Anak itu adalah
anak setan!!!”, seorang nenek tiba-tiba melontarkan kata-kata tidak sedap
kepada bu Hen. Nenek itu adalah neneknya Ningsih. Kata-kata itu terdengar oleh
telinga Ningsih. Dan Ningsih membantah kata neneknya itu. Dan Ningsih tidak
peduli dengan kata apa dan siapapun. Malah, Ningsih menjadi lebih semangat
ingin mengurus bayi itu.
Terdengar juga oleh Ningsih bahwa pak Maman pakdenya juga tidak setuju
dengan kehadiran bayi itu. Lagi-lagi Ningsih mengabaikannya.
Untuk menenangkan hatinya, Ningsih mengambil air wudhu dan membaca
Al-qur’an di dekat bayi itu. Ningsih berperan seolah-olah sebagai ibu untuk
bayi itu.
Malam harinya, Ningsih berfikir untuk membuatkan bayi itu nama. Selesai
shalat magrib dia mengaji berharap mendapatkan ide untuk sebuah nama. Namun,
dia masih belum mendapatkan nama yang cocok. Pertengahan malam dia bangun dan
mengerjakan shalat malam, dan meminta petunjuk kepada Allah swt. Dalam do’anya
dia memohon, “ya Allah… izinkan hamba membesarkan bayi ini, izinkan hamba
mengurus bayi ini. Kasi tahu hamba ya Allah nama yang baik dan cocok untuk bayi
ini… aamiin”.
Selesainya shalat, Ningsih mengambil buku diarynya dan menulis semua isi
hatinya.
Sejenak Ningsih memperhatikan bayi itu sambil senyum-senyum sendiri. Makin
lama dia memperhatikan bayi itu tubuhnya makin bergemetar dan berkeringat.
Sekejap dia menutup matanya, dalam bayangannya dia melihat huruf-huruf
mengelilingi bayi itu. Makin lama dia memperhatikan huruf-huruf itu makin jelas
dia lihat, sampai ahirnya dia mengerti maksud dari huruf-huruf itu. Dan Ningsih
sudah menemukan nama yang cocok dan baik untuk bayi itu, yaitu “NUHA FATIMATUL
BUANA”. Sejak itu, dia mulai memanggil bayi itu Nuha. Setelah bayi itu diberi
nama, bayi itupun tersenyum layaknya anak yang mengerti apa arti namanya itu.
Bagi Ningsih arti sebuah nama itu adalah penting.
Pagi harinya Ningsih dikejutkan oleh kedatanga Aditya tetangganya, tujuan
Aditya datang adalah untuk membeli bayi itu seharga 3juta. Namun, Ningsih
membantahnya dan bilang, “walaupun anda mau menukar bayi ini dengan Gunung Rinjani sekalipun aku tidak akan
pernah melepaskannya. Bagi ku bayi ini lebih penting dari apapun”.
“tik tok…”, suara hp Ningsih. Sebuah SMS dari orang yang sangat berharga di
hidupnya, yaitu sahabatnya Hany.
“dul…”, bunyi SMS pertama Hany.
“apa xun???”, Ningsih menjawab
SMS Hany dengan singkat.
“gk da p2 kok… mn kgn zq new. Ktmu
yuck…”
“eh.eh.eh. dsr mxun, sog kn sa ktmu
di sklh….”, senyum Ningsih.
Merekapun saling balas membalas SMS, sampai ahirnya Ningsih memberi tahu
Hany tentang bayi itu. Namun, yang membuat Ningsih heran adalah Hany tidak
setuju kalau Ningsih harus mengurus bayi itu. Kali ini, Ningsih benar-benar
bingung. Dia tidak bisa memilih antara bayi itu dan Hany.
Ningsih berfikir, “banyak pihak yang tidak menerima bayi ini, banyak pula
yang menerimanya. Tapi, dia tetap rahmat bagiku. Salahkah bila dia terlahir
seperti ini??? Terlahir tanpa ayah, kelahirannya yang tidak diharapkan oleh
banyak orang. Ya Tuhan kuatkan hatiku… aamiin”.
“tik tok”, suara hp Ningsih kembali berbunyi. Sebuah SMS dari bapak
kandungnya.
“Ning, tadi malam bapak bermimpi, bunda kamu menggendong seorang anak
monyet. Dan anak monyet itu mencengkram mu. Bapak hawatir sama kamu, kali ini
bapak mohon banget sama kamu, lepaskan bayi itu. Bapak punya firasat tidak baik
dengan bayi itu”, bunyi SMS pak Yani.
Dengan segera Ningsih membalasnya, “pak, Ningsih mohon kali ini bapak
dukung niat baiknya Ningsih. Apakah bapak tidak punya hati nurani???
Keluarganya sudah membuang bayi ini, kalo Ningsih juga tidak menerima bayi ini,
bagaimana nasibnya??? Mungkin pak, melalui bayi ini Ningsih bisa berubah jadi
yang jauh lebih baik. Karena selama bayi ini ada di tangan Ningsih, Ningsih
merasakan banyak perubahan”.
Membaca SMS anaknya itu, pak Yani tidak bisa berkata apa-apa lagi.
2 minggu kemudian…..
“Ning, mulai sekarang kamu tidak perlu hawatir lagi. Anak itu bukan anak
haram , dia punya bapak. Hadijah sudah menceritakan semuanya sama paman”, kata
pak Ady.
“benarkah paman??? Kalo gitu, sekarang tidak ada satupun orang yang bisa
memisahkan ku dengan Nuha”.
“Nuha???!!! Jadi, anak itu kamu kasi nama Nuha. Nama yang bagus”, pak Ady
tersenyum melihat keponakannya itu dan merasa bangga punya keponakan seperti
Ningsih.
Tiba-tiba, “kembalikan anak kuuuuuuu…..!!!”, teriak Hadijah menghampiri
Ningsih.
Ningsih bengong, heran, dan bingung. Dan berkata, “waduuuuuuuh, Hadijah
kenapa??? Enak aja mau ambil Nuha dari aku setelah dia mengabaikannya”.