Minggu, 03 Juni 2012

Cara berfikir induktif

Berpikir induktif merupakan suatu pemikiran yang bergerak dari premis spesifik ke konklusi umum atau generalisasi. Observasi dan pengalaman digunakan untuk mendukung generalisasi. Premisnya tidak menjadi dasar untuk kebenaran konklusi, tetapi memberikan sejumlah dukungan untuk konklusinya. Konklusi induktif jauh melampaui apa yang ada pada premisnya.
Hitler adalah diktator dan bengis.
Stalin adalah diktator dan bengis.
Castro adalah diktator.
Oleh karena itu, Castro sangat boleh jadi juga bengis.
Sebagian besar berpikir atau menalar induktif tidak didasarkan pada bukti yang menyeluruh sehingga bentuk ini tidaklah lengkap. Setiap argumen induktif tidak dapat dikatakan sahih atau tidak sahih, tetapi lebih baik atau kurang baik, bergantung pada berapa tinggi derajat probabilitasnya (kebolehjadian) yang diberikan premis pada simpulannya. Semakin tinggi probabilitas simpulannya semakin baik argumen induktif yang bersangkutan, begitu pula sebaliknya, dan simpulannya tidak mungkin mengandung kepastian mutlak. Konklusi induktif tidak akan pernah terbukti benar kecuali bila meneliti semua premis khususnya.
Penalaran induktif dapat dilakukan dengan tiga cara : generalisasi, analogi, hubungan kausal (sebab akibat).

a. Generalisasi
Generalisasi adalah proses penalaran yang bertolak dari sejumlah gejala atau peristiwa yang serupa untuk menarik kesimpulan mengenai semua atau sebagian dari gejala atau peristiwa itu. Generalisasi diturunkan dari gejala-gejala khusus yang diperoleh melalui pengalaman, observasi, wawancara atau studi dokumentasi. Sumbernya dapat berupa dokumen, statistik, kesaksian, pendapat ahli, peristiwa-peristiwa politik, sosial, ekonomi, atau hukum. Dari berbagai gejala atau peristiwa khusus itu, orang membentuk opini, sikap, penilaian, keyakinan, atau perasaan tertentu.
Contoh :
Pemuda-pemuda yang sangat radikal tampaknya akan menjadi konservatif bila sudah memperoleh harta dan kekuasaan.
Rambu-rambu untuk menguji keabsahan hasil sebuah generaliasi :
  1. Apakah jumlah gejala atau peristiwa khusus yang dijadikan dasar generalisasi tersebut cukup memadai. Agar generalisasi yang dibuat dapat diterima, pertama cari data tambahan agar representatif, kedua penyimpulan diawali dengan kata atau frase pembatas tertentu, seperti sebagian besar, dari hasil penelitian itu, bertolak dari data di atas, dan cenderung.
  2. Apakah gejala atau peristiwa yang digunakan sebagai bahan generalisasi merupakan contoh yang baik, yang dapat mewakili keseluruhan atau bagian yang dikenal generalisasi?
  3. Seberapa banyak pengecualian yang sesuai dengan generalisasi yang dilakukan? Jika jumlah pengecualian terlampau banyak maka generalisasi itu tidak sah. Jika jumlahnya sedikit, maka perumusan generalisasi itu harus dilakukan dengan hati-hati. Kita harus cermat menggunakan kata atau frasa semua, setiap, seluruh, selalu, biasanya, cenderung, pada umumnya, sebagian besar, rata-rata, atau kenyakan.
  4. Apakah perumusan generalisasi itu sesuai dengan data-data ysng diteliti? Jika generalisasi itu menggunakan kata semua atau setiap, betulkah semua data yang sudah diteliti? jangan-jangan sebagian kecil saja.
b. Analogi
Analogi dilakukan karena sesuatu yang dibandingkan dengan pembandingnya memiliki kesmaan fungsi atau peran. Melalui analogi, seseorang dapat menerangkan sesuatu yang abstrak atau rumit secara konkrit dan lebih mudah dicerna. Analogi yang dimaksud disini adalah analogi induktif atau analogi logis. Analogi induktif (kias) adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari dua peristiwa atau gejala khusus yang satu sama lain memiliki kesamaan untuk menarik ebuah kesimpulan. Karena titik tolak penalaran ini adalah sebuah kesamaan karakteristik diantara dua hal, maka kesimpulannya akan menyiratkan  “apa yang berlaku pada suatu hal akan berlaku pula untuk hal lainnya” dengan demikian dasar kesimpulan yang digunakan merupakan ciri pokok atau esensi yang berhubungan erat dari dua hal yang danalogikan.
Contoh :
Dr. Maria C. Diamind tertarik untuk meneliti pengaruh pil kontrasepsi terhadap pertumbuhan cerebal cortex yang sangat rendah dibandingkan dengan tikus-tikus lain yang tidak diinjeksi. Berdasarkan studi tiu, Dr. Diamond seorang profesor antomi dari University of California menyimpulkan bahwa pil kontrasepsi dapat menghambat perkembangan otak penggunanya.
Dari contoh di atas, Dr. Diamond menganalogikan anatomi tikus dengan manusia. Jadi, apa yang terjadi pada tikus akan terjadi pula pada manusia.
c. Hubungan Kausal
Menurut hukum kausalitas semua peristiwa yang terjadi di dunia ini terjalin dalam rangkaian sebab akibat. Tidak ada satu gejala atau kejadian yang muncul tanpa penyebab. Pertama, satu atau beberapa gejala yang timbul dapat berperan sebagai sebab akibat, atau sekaligus sebagai akibat dsari gejala sebelumnya dan sebeb gejala sesudahnya. Kedua, gejala atau peristiwa yang terjadi dapat ditimbulkan oleh satu sebab atau lebih, dan menghasilkan satu akibat atau lebih. Ketiga, hubungan sebab dan akibat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya ketika seorang ibu melihat awan menggantung, ia segera memunguti pakaian yang sedang dijemurnya. Tindakan itu terdorong oleh pengalamannya bahwa mendung tebal (sebab) pertanda akan turun hujan (akibat). Hujan (sebab) akan menjadikan yang dijemurnya basah (akibat).
Contoh :
Di Amerika, diabetes yang terkontrol menjadi penyebab utama kebutaan dan menduduki peringkan-4 penyakit terbanyak menimbulkan kematian. Penyakit ini menimbulkan resiko tinggi penyakit jantung, ginjal, dan syaraf. Akhir-akhir ini ada kabar baik untuk penyembuhan diabetes. Suntikan insulin tidak lagi diperlukan untuk sebagian besar penderita diabetes. Untuk jenis diabetes tertentu, ayng biasanya menyerang orang-orang lanjut usia atau yang kelebihan berat badan, dapat disembuhkan dengan diet dan olah raga.
Sumber : http://journal.ui.ac.id/upload/wacana/artikel/05-RATIH%20RAMELAN.pdf