
Tulisan ini akan
berangkat dari dua premis (1) Pluralisme bukan suatu aliran agama dan
(2). Perbedaan itu rahmat. Pernyataan pertama mengandung arti bahwa
pluralisme mencerminkan suatu kajian ilmu sosiologi-antropologi. Konsep
pluralisme awalnya dikemukan oleh Christian Wolf dan Immanuel Kant
sebagai filosof pencerahan yang menekankan pada doktrin tentang adanya
kemungkinan pandangan-pandangan dunia dikombinasikan dengan kebutuhan
untuk mengadopsi sudut pandang universal penduduk dunia. Berikut ini
beberapa pengertian pluralisme.
Pertama, menurut
sosiologi fungsional, pluralisme adalah diferensiasi (perbedaan)
masyarakat yang dapat diamati pada level individu sebagai diferensiasi
peran, pada level organisasional sebagai kompetisi organisasi-organisasi
formal, dan pada level masyarakat sebagai pembatasan-pembatasan
terhadap fungsi institusi.
Kedua,
dalam wacana ilmu sosial, pluralisme dalam arti pengakuan terhadap
keragaman dalam masyarakat dan berbagai prasyarat bagi pilihan dan
kebebasan individu, dihadapkan pada dua ekstrem yang berlawanan. (1)
pluralisme berhadapan dengan berbagai monisme, seperti teokrasi, negara
absolut, monopoli,
masyarakat total,
kesadaran terasing, dan kebudayaan monolitik, (2) pluralisme
mengimplikasikan struktur yang dapat diidentifikasi. Di mana pluralisme
dapat secara simultan dihadapkan pada sesuatu tanpa bentuk seperti
anarki, anomie dalam arti kognitif maupun normatif, relativisme
epistimologis, dan posmodernisme yang tidak koheren.
Dengan kalimat
lain, pluralisme menekankan pengertian deskriptif dan evaluatif, di satu
sisi, konsep pluralisme berarti kesadaran akan banyaknya subentitas,
sebaliknya di sisi lain mengungkapkan pengakuan positif terhadap
pluralisme. Dari beberapa definisi tentang pluralisme di atas, adapun
yang dimaksud dengan pluralisme agama adalah adanya pengakuan bahwa
seluruh manusia di bumi ini tidak hanya menganut satu agama tetapi
menganut banyak agama.
Pluralisme manjadi
situasi nyata sebagai masalah yang harus dihadapi oleh manusia. Sebagai
reaksi terhadap pluralisme yang menekan, ada beberapa macam reaksi yang
timbul, yaitu: (1) Fundamentalis, yaitu reaksi menolak pluralisme dan
memperkukuh posisi sendiri; (2) Proselitisme, yaitu usaha mentobatkan
pengikut agama lain agar masuk agama sendiri dengan cara-cara yang tidak
wajar; (3) Sinkretisme, yaitu reaksi kompromis dengan cara mencampur
adukkan kedua keyakinan agama yang bertemu.
Munculnya fenomena
pluralisme agama yang dapat ditelusuri dari tiga mazhab teori besar
dalam sosiologi agama diantaranya teori fungsionalisme (Emile Durkheim),
kognitivisme (Max Webber) dan teori kritis (Karl Marx). Pandangan tiga
mazhab teori itu tentang agama misalnya fungsionalisme melihat bahwa
agama sebagai institusi yang dibangun demi integrasi sosial.
Kognitifisme memandang agama sebagai pandangan dunia yang memberi makna
bagi individu dan kelompok. Sementara teori kritis menginterpretasikan
agama sebagai ideologi yang melegetimasi struktur kekuasaan masyarakat.
Fenomena pluralisme
seperti yang dikemukakan oleh Talcot Parson (1967) adalah sebagai
pembedaan sistematik pada semua level, baik itu level pembedaan peran
maupun level pembedaan sosial dan budaya. Bagi kaum kognitivis, seperti
yang diwakili oleh Peter L. Berger mengemukakan fenomena pluralisme
sebagai gejala sosio-struktural yang pararel dengan sekularisasi
kesadaran (Berger, 1967:127). Menurut Berger, sekularisasi membawa pada
demonopolisasi tradisi-tradisi agama dan pada peningkatan peran rakyat
jelata. Sementara di kalangan teoritisi kritis seperti yang diwakili
oleh Houtart, Habermas atau Bourdieu menganalisis pluralisme agama bukan
suatu tema yang menarik perhatian, karena dalam tradisi Marxis, agama
bukanlah penyebab penting bagi perubahan struktural dan emansipasi
manusia.
Saat ini pluralisme
yang dipahami dan dipraktekkan oleh sebagian manusia adalah “pluralisme
semu” (pseudo pluralism). Di mana pluralisme hanya sebatas dan belum
sepenuhnya menjadi entitas yang harus disadari dan diakui sebagai
kenyataan sosial dalam masyarakat. Pluralisme semu adalah bentuk
pengakuan terhadap keragaman masyarakat (toleransi) yang terdiri dari
budaya, suku, dan agama yang berbeda-beda, namun tidak bersedia
menyikapi dan menerima suatu keberagaman sebagai kenyataan sejarah
(historical necessity) dan kenyatan sosio-kultural (socio-cultural
necessity).
Dengan kalimat
lain, pluralisme semu merupakan bentuk pengakuan atas perbedaan yang
ada, namun penerimaan akan adanya suatu perbedaan belum sepenuhnya
nampak dari sebagian sikap sebagian manusia. Sikap mendua atau standar
ganda (double standard) dapat berimplikasi pada keretakan hubungan
antarumat beragama, yang lambat laun berpotensi melahirkan konflik
agama. Semestinya, pluralisme harus dipahami sebagai bentuk kesedian
menerima kelompok lain secara sama sebagai suatu kesatuan. Adanya
komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup, sebab yang terpenting
adalah bahwa komunitas-komunitas itu harus diperlakukan sama oleh
negara. Di sinilah konsep pluralisme memberikan kontribusi nyata
terhadap agenda demokrasi dan anti-diskriminasi. Perhatian yang besar
terhadap persamaan (equality) dan anti-diskriminasi kaum minoritas telah
menghubungkan pluralisme dengan demokrasi. Dua kondisi inilah yang
diperjuangkan oleh Cak Nur dan Gus Dur.
Jadi, Pluralisme
bukan hanya mempresentasikan adanya kemajemukan (suku atau etnik,
bahasa, budaya dan agama) dalam masyarakat yang berbeda-beda. Akan
tetapi, pluralisme harus memberikan penegasan bahwa dengan segala
keperbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik.
OLEH:
AHMED TSAR BLEZINSKY
Sumber: http://edukasi.kompasiana.com/2010/01/13/pluralisme-kajian-sosiologi-agama-1/