Rabu, 18 April 2012

PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN DALAM KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA


 
A.    Pendahuluan
Sastra merupakan bentuk kreatif dan produktif dalam menghasilkan sebuah teks yang memiliki nilai rasa estetis serta mencerminkan realitas sosial kemasyarakatan. Istilah “sastra” dipakai untuk menyebut gejala budaya yang dapat dijumpai pada semua masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi, dan keagamaan keberadaannya tidak merupakan keharusan. Hal ini berarti bahwa sastra merupakan gejala yang universal.[1]
Sebagai wujud seni budaya, sastra memiliki dunia sendiri yang merupakan pengejawantahan kehidupan sebagai hasil pengamatan sastrawan terhadap kehidupan sekitarnya. Oleh sebab itu, karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil dari imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang sebagai subjek individual mencoba menghasilkan pandangan dunianya kepada subjek kolektifnya. Signifikansi yang dilaborasikan subjek individual terhadap realitas sosial di sekitarnya menunjukkan sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan masyarakat tertentu. Keberadaan sastra yang demikian itu, menjadikan sastra dapat diposisikan sebagai dokumen sosialnya. [2]
Prosa, khususnya novel, dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat dikemukakan, di antaranya: a) novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang paling luas, b) bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang paling umum digunakan dalam masyarakat. Oleh karena novel merupakan genre yang paling sosiologis dan responsif sebab sangat peka terhadap fluktuasi sosiohistoris.[3]
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin masyarakat.[4] Sosiologi sastra diterapkan dalam penelitian ini karena tujuan dari sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan dalam hal ini karya sastra dikonstuksikan secara imajinatif, tetapi kerangka imajinatifnya tidak bisa dipahami di luar kerangka empirisnya dan karya sastra bukan semata-mata merupakan gejala individual tetapi gejala sosial.[5]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karya sastra lahir dari latar belakang dan dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya. Karya sastra dipersepsikan sebagai ungkapan realitas kehidupan dan konteks penyajiannya disusun secara terstruktur, menarik dan disusun melalui refleksi pengalaman dan pengetahuan sehingga merefleksikan kehidupan.

B.     Landasan Teori
Sosiologi sastra berkembang dengan pesat sejak penelitian-penelitian dengan memanfaatkan teori strukturalisme dianggap mengalami kemunduran, stagnasi, bahkan dianggap sebagai involusi. Analisis strukturalisme dianggap mengabaikan relevansi masyarakat yang merupakan asal-usulnya. Dipicu oleh kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan sama dengan aspek-aspek kebudayaan lain maka dilakukan pengembalian karya sastra di tengah-tengah masyarakat, sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem komunikasi secara keseluruhan.
Ratna  mengemukakan bahwa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat sebagai berikut:
a.       Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat.
b.      Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
c.       Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.
d.      Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat istiadat dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etik, bahkan logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.
e.       Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.[6]
Tujuan dari sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra jelas dikonstruksikan secara imajinatif, tetapi kerangka imajinatifnya tidak bisa dipahami di luar kerangka empirisnya. Karya sastra bukan semata-mata gejala individual tetapi gejala social.[7]
Menurut menurut Ian Watt  sebagaimana disadur oleh Endeswara, fungsi sosial sastra berkaitan dengan pertanyaan: seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sampai seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial. Dalam hal ini ada tiga hal yang perlu diungkap: (a) sudut pandang kaum romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi, dalam pandangan ini tercakup wawasan agar sastra berfungsi sebagai pembaharu atau perombak; (b) sudut pandang bahwa karya sastra bertugas sebagai penghibur belaka; (c) semacam kompromi dapat dicapai dengan meminjam slogan klasik sastra harus mengajarkan ke suatu dengan jalan menghibur.[8]
Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Wellek dan Warren menemukan setidaknya tiga jenis pendekatan yang berbeda dalam sosiologi sastra, yaitu: (a) sosiologi pengarang yang memasalahkan tentang status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra; (b) Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri; dan (c) sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.[9]
Ian Watt juga menemukan tiga macam pendekatan, yaitu sebagai berikut: (a) konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi diri pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya; (b) sastra sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat, dan (c) fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan masyarakat bagi pembaca.[10]
Jabrohim memberikan penjelasan yang lebih rinci tentang pendekatan penelitian sosiologi sastra sebagai berikut:
a.       Konteks sosial sastrawan
Konteks sosial sastrawan berkaitan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Faktor-faktor yang diteliti antara lain adalah: (1) bagaimana sastrawan mendapatkan pencaharian; (2) profesionalisme dalam kepengarangan; (3) masyarakat yang dituju oleh sastrawan.
b.      Sastra sebagai cermin masyarakat
Sejauh mana sastra dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakat. Kata “cermin” di sini dapat menimbulkan gambaran yang kabur, dan oleh karena itu sering disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Dalam hubungan ini terutama yang harus mendapatkan perhatian adalah: (1) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis; (2) sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang atau sastrawan sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya; (3) genre sastra sering merupakan sikap sosial seluruh kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat; (4) sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya sebagai cermin masyarakat atau sebaliknya. Oleh sebab itu, pandangan sosial sastrawan harus dipertimbangkan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat.
c.       Fungsi sosial sastra
Di sini, pendekatan sosiologi sastra berusaha menjawab pertanyaan seperti “Sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial?” dan “Sampai seberapa sejauh nilai sosial mempengaruhi nilai sastra?” Ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu: (1) sudut pandang yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi; (2) sudut pandang lain yang menganggap bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka atau seni untuk seni; dan (3) sudut pandang kompromistis seperti tergambar dalam slogan “sastra harus mengajar dengan menghibur.”[11]
Dari berbagai pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri. Adapun tujuan analisis sosiologi sastra yaitu untuk memaparkan dengan cermat fungsi dan keterkaitan antarunsur yang membangun sebuah karya sastra dari aspek kemasyarakatan pengarang, pembaca dan gejala sosial yang ada.
C.    Ringkasan Novel Perempuan Berkalung Sorban
Awal pagi yang kini mulai berpendar menggantikan malam. Nisa sedang bermain bersama kakanya Rizal, di tengah perwaan yang tidak begitu lebat. Nisa yang hendak keluar untuk belajar pacu kuda itu seurius sekali untuk menatap hari, namun restu orang tua tak kunjung mengijinkan anaknya tersebut untuk belajar berkuda.
Sepulang di rumah nisa kangsung dipergoki oleh orang tuanya karena bermain tanpa izin, hingga kakanya Rizal terjatuh kedalam kolam, mau tak mau tetap nisalah yang terkena dan disalahkan.
Hingga pada suatu hari dimana Nisa sudah mencapai masa baligh, nisa belajar qir’ah dan berpacu kuda secara sembunyi-bunyi, belajar qir’ah ke maemunah dan berpacu kuda kepada Lek Khudori, bukan dia tidak tahu namun bujukan nisa selalu dapat membuatnya melatih wanita yang beranjak baligh tersebut.
Lek Khudorilah yang mengjari nisa sepeti itu, di masa yang baligh itu nisa sudah mengalmai rasanya dilemma cinta, nisa sdar jika mengutarakannya makan aka nada salah paham yang terjadi, nisa akan rindu terhadap pujianya tiap sore ketika berlatih kuda, rindu memancing bersamanya, karena kurang lebih 2 minggu lagi Lek Khudori akan pergi ke Kairo, setelah mendengar kabar itu nisa tak kuat menahan air mata karena akan berpisah, bersamanya.
Nisa, itulah dia yang akhrinya dia sudah khatam alu-qur’an dan mendapatkan hadiah kenang-kenangan dari Lek Khudori. Hadiah lukisan dengan seorang putrid budur menaiki buraq. Di masanya yang baligh ini nisa di perintahkan oleh orang tuanya untuk mengikuti perintah allah untuk menggunakan penutup aurat.
Semenjak Lek Khudori nisa enggan untuk menatap dunia, enggan untuk menerima sinar matahari yang indah, karena 1-1nya pembelaku sudah pergi, aku rindu dia.

Setelah berminggu-minggu nisa menunggu surat dari Lek Khudori yang kini tengah menuntut ilmu di al-azhar kairo, akhirnya tiba juga. Namun begitu indahnya setiap puisi Lek Khudori dimata nisa, hingga nisa sulit untuk mencari pusisi balasan yang indah dan baik. Karena sangat ingin yang terbaiklah untuk membalas puisi dari Lek Khudori, nisa nekat bersama aisyah untuk pergi ke kota mencari buku.
Di kota itu nisa pergi ke took buku al-hikmah dan setelah dirasa dapat yang di inginkan nisa dan aisyah pergi ke bioskop sebelah, namun rugi mengunjungi mereka. Mereka di hadang seorang germo yang etngah haus di tengah fatamorgana, namun untung ada pak tasmin kepala desanya datang dan membantu menjauhi mereka dari terkaman germo yang tengah mencari mangsa.
Malam mulai datang kembali mencekam. Setelah beberapa hari dari kejadian tersebut nisa menjalankan aktivitasnya seperti biasanya. Hingga tiaba pada 1 malam nisa mendengarkan bahwa dia akan di jodohkan dalam usia belasan tahu. Sungguh bak hantaman godam bagi nisa dia terpanjat dan menangis.
Bertahun-tahun berlalu hingga dia hanya tamat Sd dan langsung dinikahkan dengan laki-laki bernama Samsudin, tiap malam nisa hanya merintih karena harus mau mengikuti nafsu dari suaminya itu. Hingga datang pada suatu hari seorang janda bernama kalsum datang untuk meminta pertanggung jawabannya. Dan terjadilah poligami antara Samsudin dengan kalsum dan Annisa.
Namun karena perlakuan gila dari Samsudin kedua istri tersebut sama sekali tidak merasakan keadilan dari Samsudin bahkan hubungan suami istri pun sering kali tidak normal, dan tidak manusiawi karena melanggar kebebasan wanita.
Bertahun-tahun kini akhrinya tiba juga Lek Khudori balik ke kampungnya dan memenamni Annisa yang tengah berada di dalam penderitaan bersama Samsudin. Namun karena mereka dekat and lebih Nampak seperti orang pacaran sehingga tak canggung untuk keduanya bermesraan karena pada kenyataannya mereka adalah saudara.
Ibu Mutmainah tidak pernah tau akan siksaan dari Samsudin kepada Annisa dan ada 1 waktu dimana semua itu terungkap, karena malunya ibu Mutmainah menagis sejadi-jadinya.
Karena cerita itu ayah dari Annisa mengalami sakit-sakitan yang berat. Tiba pada 1 malam Annisa dan keluarga berembuk dan akhrinya merek lebih memilih untuk menceraikan Annisa dari tangan bejad Samsudin. Dan terjadilah perceraian yang mengubah status Annisa menjadi janda.
Dukungan-dukungan terus di terima oleh Annisa dari Khudori, wildan, aisyah teman karibya, orangtuanya bahwa Annisa lebih baik untuk lebih mengenyam dunia pendidikan.
Setelah hubungan Lek Khudori kian lama kian tercium akhirnya keluarga pun mengetahuinya dan karena tak ingin timbul fitnah akhirnya terjadilah pernikahan sederhana antara Annisa dengan Khudori. Dimana pernikahan itu di awali dari sebuah pertemuan Annisa dengan Khudori di sebuah kosan di dekat kampus di Yogyakarta. Hari itu sangat indah dimana Annisa di lamar secara tidak langsung oleh Khudori.
Namun ketika malam pertama tidak terjadi seperti apa ayng telah terjadi pada malam pertama dengan Samsudin, karena trauma Annisa begitu hebat akhirnya tidak terjadi hubungan suami istri.
Malam-malam telah berlalu akhirnya pergaulan suami istri yang didapati dari Khudori terhadap Annisa begitu nikmat dan dapat menghilangkan semua traumatik dari mantan suaminya Samsudin.
Esok harinya Annisa telah mejadi sosok yang baru, karena beban yang selama ini telah memikulnya telah bebas, namun karena penghapus tak selalu bersih menghapus, ingatan tentang Samsudin selalu mengiangi Annisa.
Pernikahan Annisa dan khudhori akhirnya telah terjalin dengan indah, dimana tak ada kekurangan sama sekali, harta, tauladan, sikap yang baik,
Akhirnya tiba pada suatu hari hubungan suami istri mereka membuahkan seorang anak yang diberi nama mahbub. Aktivitas mereka sangat indah karena hari-hari mereka dihiasi oleh seorang anugrah harta terindah dalam dunia ini.
Waktu adalah jawaban dari semua hal, Khudhori mengalami sakit-sakitan yang sangat parah, hingga sakitnya itu memanggilnya dari dunia dan bertemu dengan tuhannya.
D.    Pembahasan Novel Perempuan Berkalung Sorban
1.      Kehidupan Sosial Pengarang Novel Perempuan Berkalung Sorban.
Abidah El Khalieqy tidak hanya dikenal sebagai penyair, tapi juga novelis yang produktif.  Lima novel telah ditulisnya, selain buku kumpulan puisi dan kumpulan cerita pendek. Salah satu novelnya, Geni Jora, memenangi Lomba Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta 2004. Perempuan kelahiran Jombang, 1 Maret 1965, yang mulai menulis sejak usia 12 tahun ini pernah memperoleh penghargaan seni dari Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (1998). Tahun lalu ia menerima Ikapi dan Balai Bahasa Award.[12]
Melalui karya-karyanya, istri penyair Hamdy Salad ini menyuarakan persoalan perempuan. "Dalam benak saya, perempuan di Indonesia masih termarginalkan. Jadi, menurut saya, kondisi perempuan sudah sangat parah," ujar ibu tiga anak ini.
Namanya melambung setelah novelnya, Perempuan Berkalung Sorban (2001), diangkat ke layar lebar oleh sutradara Hanung Bramantyo. Apalagi setelah film tersebut menuai kontroversi. Beberapa adegan di film Perempuan Berkalung Sorban (PBS) dianggap melecehkan pesantren dan kiai. Namun perempuan yang pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Putri Modern Persis, Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, dan IAIN Kalijaga, Yogyakarta,  ini berpendapat lain. Hal itu justru menunjukkan kecintaannya  terhadap kiai dan pesantren dengan mengetengahkan kritikan konstruktif.[13]
Perempuan Berkalung Sorban pada awalnya merupakan ide YKF (Yayasan Kesejahteraan Fatayat), LSM milik Nahdlatul Ulama Yogyakarta, untuk membuat suatu novel tentang pemberdayaan perempuan. Novel ini bertujuan mensosialisasi hak-hak reproduksi perempuan yang sudah diratifikasi oleh PBB. Penulis diminta mengadakan riset tentang hak-hak reproduksi perempuan selama hampir dua tahun. Riset lapangan untuk memberi setting tempat dan yang fisik-fisik selama tiga bulan, di Kaliangkrik, Kajoran, Magelang, Jawa Tengah. Di satu kampung ada banyak pesantren salaf. Lokasinya di pegunungan. Di situ abidah juga menemukan orang-orang yang naik kuda.  Untuk mempertegas karangannya Abidah mengikuti seminar-seminar yang dilakukan oleh YKF selama hampir dua tahun, kemudian ia menulis selama sembilan bulan.  Proyek penulisan Novel Berkalung Sorban dibiayai oleh YKF dan Ford Foundation, sebuah LSM yang bermarkas di New York. Ford Foundation mempunyai motto, “Working with Visionaries on the Frontlines of Social Change Worldwide.”  YKF dan Ford Foundation telah sering bekerjasama dalam penerbitan buku atau novel, antara lain, “Pesantren Mengkritisi KB dan Aborsi”, ” Menghapus Perkawinan Anank, Menolak Ijhar”, “Menolak Mut’ah dan Sirri, Memberdayakan Perempuan”, “Menghapus Poligami, Mewujudkan Keadilan”,  “HIV/AIDS: Pesentren Bilang Bukan Kutukan”, dan “Ketika Pesantren Membincang Jender.”
Awal-awal  kuliah, Abidah aktif di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) namun tidak tertarik masalah politik. Ketika itu, isu tentang feminisme yang ditulis dalam novel seperti Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Sadawi dibahas di mana-mana. Ia juga mulai tertarik untuk membahas persoalan perempuan. Dalam pandangan Abidah, perempuan di Indonesia masih termarginalkan. Kondisi perempuan sudah sangat parah. Ia sependapat bahwa harus dicari akar permasalahannya dan disuarakan sekeras-kerasnya. Artinya, harus ada revolusi pemikiran bahwa ini adalah sesuatu yang sangat mendesak. Selama ini soal perempuan memang sudah banyak ditulis, soal penderitaan mereka dan keterpinggiran mereka. Tetapi bagaimana solusi ke depan untuk menyikapi kondisi seperti ini belum ditulis. Itulah yang melatarbelakangi kenapa Abidah bersedia menulis Perempuan Berkalung Sorban. Ia ingin perempuan memiliki kemandirian, perempuan harus menguasai ilmu. Ilmu pengetahuanlah yang akan menjawab nasib perempuan. Derajat ditentukan dengan ilmu.[14]
Novel Perempuan Berkalung Sorban untuk pertama kali diterbitkan oleh Ford Foundation. Selanjutanya terbitan ke-2 hingga ke-8 Arti Bumi Intaran.[15]

2.      Cerminan Masyarakat dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban.
Ayah pergi ke kantor
Ibu memasak di dapur
Budi bermain di halaman
Ani mencuci piring
a.       Mencerminkan anak perempuan sering dipersalahkan.

“Kita jaring betinanya!”, teriak Rizal, kakakku.
“Dia mau bertelur, jangan diganggu!”, sergahku. [Annisa] (h.2)
Rizal tercebur ke dalam blumbang, dan Annisa menolongnya.
“Kamu lama sekali! Kalau saja terlambat sedetik, aku bisa mati. Bodoh!” [Rizal]
“Eh, sudah ditolong, bukannya terima kasih, malah maki-maki” [Annisa]
“Tetapi janji ya, nggak bilang sama Bapak. Janji?” [Rizal] (h.4)

Pada saat Rizal dan Annisa sampai di rumah, ayah mereka mendapati mereka basah kuyup dan tahu mereka pasti melakukan sesuatu sehingga memarahi mereka. Namun, Rizal menyalahkan Annisa dan Ayah membenarkannya.
“Bocah bagus…bocah pinter…anak Bapak, coba sekarang katakana, kemana saja kalian berpetualang seharian!” tandasnya dengan tegas
“Dia yang mengajak, Pak,” Rizal mencari alasan dengan menunjuk mukaku.
“Tetapi kamu  mau. Salah sendiri,” aku tak mau kalah.
“O…jadi rupanya kamu yang punya inisiatif bocah wedhok. Kamu yang ngajari kakakmu jadi penyelam seperti ini ya? Kamu yang membujuk kakakmu mengembara?”(h.6)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa anak perempuan sering dipersalahkan. Pertama, saat Annisa menolong Rizal saat dia tercebur, Rizal menyalahkannya karena kurang cepat, padahal Annisa sudah berusaha melarangnya mengejar katak betina. Kedua, ayah menyalahkan Annisa karena Rizal tercebur tanpa terlebih dahulu berusaha mengetahui duduk persoalannya.

b.      Mencerminkan anak perempuan sering diperlakukan berbeda dari anak laki-laki sehingga anak perempuan tidak memiliki hak yang sama dengan anak laki-laki.

“Ow…ow…ow…jadi begitu. Apa Ibu belum mengatakan padamu kalau naik kuda hanya pantas dipelajari oleh kakakmu Rizal, atau kakakmu Wildan. Kau tahu, mengapa? Sebab kau ini anak perempuan, Nisa. Nggak pantas, anak perempuan kok naik kuda, pencilakan, apalagi keluyuran mengelilingi lading, sampai ke blumbang segala. Memalukan! Kau ini sudah besar masih bodoh juga, hehh!!” Tasbih bapak bergerak lamban, mengena kepalaku.(h.7)
“Benar, Mbak. Habis Rizal dan Wildan boleh kembali tidur, sementara Nisa harus membersihkan tempat tidur dan mambantu ibu memask di dapur. Sementara Rizal dan Wildan masuk lagi ke kamar, katanya mau belajar, padahal Nisa lihat sendiri mereka kembali tidur sehabis shalat shubuh.”(h.21)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa anak perempuan diperlakukan sangat berbeda dari anak laki-laki. Dalam hal ini, anak perempuan tidak diperkenankan belajar menunggang kuda, dan harus membantu ibu membersihkan rumah sehabis shalat shubuh. Sementara, hak “istimewa” tidur setelah shalat shubuh didapat oleh anak laki-laki.

c.       Mencerminkan  tingkat pendidikan kadang tidak menjamin seseorang berperilaku baik.
“…Ia seorang sarjana hukum dan putra seorang kiai ternama. Apalagi yang kurang dari dirinya. Segalanya ia miliki. Dan ia memang laki-laki yang memikat”. (h.105)
“Hentikan kelakuanmu! Atau aku pergi dari rumah ini.”
“Waduh, waduh! Galak amat!” Ia tertawa dan terus tertawa melecehkan.
“Kau pikir, karena kau suamiku, kau bisa seenaknya memperlakukan aku?”
“Apa yang kau katakana, Nisa? Aku hanya ingin main-main denganmu.”
“ Main – main? Permainanmu sangat menyebalkan.”
“ O, yang mana lebih menyebalkan, permainanku atau nada bicaramu.”
“ Kita lihat saja nanti.”
      Ia membuang puntung rokok dan serta merta di luar perkiraanku, laki-laki bernama Samsudin itu meraih tubuhku dalam gendongannya. Lalu membawaku ke kamar dan menidirkanku di atas ranjang. Kemudian berusaha merayuku dengan suara lelaki di sama kerejaan Majapahit. Lalu mengguling-gulingkan tubuhku dengan paksa. Dengan paksa pula ia buka bajuku, dan semua yang menempel di badan. Aku meronta kesakitan tetepi ia kelihatan semakin buas dan tenaganya semakin lama semakin berlipat-lipat. Matanya mendelik ke wajahku. Kedua tangannya mencengkeram bahuku sekaligus menekan kedua lenganku. Beban gajihnya begitu berat menindih tubuhku hingga semuanya menjadi tak tertahankan. Seperti ada pelulu karet yang menembus badanku. (h.96-97)
Ia [Samsudin] mencabut gigi taringnya dari tubuhku, seperti harimau lapar tengah berhadapan dengan mangsanya. Lalu menggeram untuk kemudian menekan kuat-kuat wajahku di atas bantal sambil mengeluarkan sumpah serapah tujuh turunan dan kata-kata makian yang diambil dari kamus kebun binatang. Setelah menampar, mencekik dan menjambak rambutku dengan penuh kebiadaban, setelah melihat tenagaku lemas tak berdaya, ia pergi sambil meludahi wajahku berkali-kali. Busuk sekali bau ludahnya. (h.103)
…Ia [Khudori] selalu memberiku cerita-cerita yang membesarkan hati. Member semangat untuk terus belajar sampai mati. “Kau mesti belajar dan mencari ilmu sampai jasadmu berbaring diantara dua batu nisan,” begitu kata Lek Khudori yang selalu kuingat. “Tapi jangan juga tergantung pada saya. Kau bisa belajar di mana saja, dan kapan saja. Kau mesti terus sekolah sampai jadi sarjana.”(h.26)
“Dan siapa bilang aku [Khudori]  melarangmu kuliah. Justru yang kuinginkan, pendidikanmu jauh lebih tinggi dariku. Jika kau dapat meraih gelar dkctor, itu adalah sebuah kebanggaan buatku dan anak-anak kita nanti.” (h.200)
…SetiapMas Khudori mulai menyibakkan rambutku dan menciumi leherku, tubuhku mengejang dan keringat dingin mulai mengalir pelan.
“Mengapa harus takut, sayang. Kita sudah menikah, kan. Apa kau takut padaku dan membayangkan aku berubah menjadi hantu. Todakkan, Nisa. AKu ini suamimu, Khudori namnya, dan tidak punya bakat untuk menakutimu.”
“Tidak! Tidak! Sama sekali tidak, Mas. Bukan itu. Bukan itu yang membuat aku takut.”
“Lalu apa?”
“Mungkin bayangan itu, Mas.”
“Bayangan. Bayangan sispa?”
“Samsudin. Bayangan Samsudin saat memperkosaku, Mas.”
“Oh, Nisa, aku tahu sekarang.”
Tiba-tiba Mas Khudori menghentikan semua serbuan mesranya. Lalu bangkit dan berusaha rasa demam di tubuh.
“Aku bikini minum, ya…Mau?” (h.218-219).
            Kutipan di atas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak selalu mempunyai garis tegak lurus dengan perilaku seseorang. Dalam novel ini, kondisi ini diwakili oleh Samsudin dan Khudori. Baik Samsudin maupun Lek Khudori mempunyai latar pendidikan tinggi. Samsudin memiliki perilaku yang negatif  sementara Lek Khudori mempunyai perilaku positif. Salah satunya adalah dalam memperlakukan Anisa baik secara fisik maupun mental. Samsudin selalu merendahkan Annisa dan menganggap Anisa sebagai budak nafsunya. Sementara, Lek Khudori selalu memotivasi Annisa untuk terus belajar dan mengejar cita-citanya.

d.      Mencerminkan perjodohan masih terjadi ditengah-tengah masyarakat.

“Tetapi anak peremouan kan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Sudah cukup jika telah mengaji dan khatam. Sudah ikut sorogan kitab kuning. Kami juga tidak terlalu keburu. Ya, mungkin menunggu si Udin wisuda kelak. Yang penting …. Kita sepakat untuk saling menjaga. Mengenai kapan dilangsungkannya pernikahan, nanti kan bisa direbuk lagi. Bukankah begitu, Pak Hanan? Kita ini kan sama-sama orang tua…,” suara lelaki sang tamu mempengaruhi.”
Mendengar kata-kata itu, darahku berasa beku. Aku bertahan dan berdiam seperti patung. Rupanya mereka tengah merundingkan sesuatu untuk masa depanku. Alahkah jauhnya mereka melalui nasibku. (h.90)      
Kutipan diatas menunjukkan bahwa budaya perjodohan masih melekat di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai alasan dan tujuan.

e.       Mencerminkan suatu bentuk poligami yang tidak lazim

…Berkali-kali Samsudin mencemoohku sebagai perempuan mandul, frigid dan egois. Akupun mengamininya dan berharap ia menceraikanku secepatnya. Dan pada suatu hari, ketika ia mengancam akan poligami, akupun mengamininya. Bahkan, aku malah menyuruhnya untuk membawa seorang perempuan lain ke rumah. Dan akan kusambut semua itu dengan senyuman serta menyuguhinya makanan sambil mengatakan welcome. Ahlan wa sahlan. (h.113-114)
…Ia [Kalsum] pun mulai mengatur menu makanan dan mengubah letak perabotan. …Mengatur keuangan, mengatur belanja dan segala keperluan, juga keperluanku.
Aku [Annisa] tak pernah peduli dengan semua itu….Aku pun tak pernah merasa ada pesaing di sisiku, apalagi memiliki rasa cemburu. (h. 117)
Karena terharu akan kejujurannya, kupeluk Kalsum dan ia mendekapku seperti seorang ibu mendekap anaknya yang hilang sekian waktu. Kami berdua sesenggukan meluapkan keharuan, seakan gunung es yang begitu tinggi telah mencair dan kami berada dalam kehangatan kasih yang lahir dari sebuah pengertian baru tentang makna dan warna kehidupan. (h.125)
            Kutipan di atas menggambarkan suatu bentuk poligami yang tidak lazim. Dalam hal ketidaklaziman itu terlihat pada: (1) Annisa mengizinkan Samsudin untuk berpoligami tanpa beban; (2) Annisa mengizinkan Samsudin membawa istri mudanya, Kalsum, hidup bersama satu atap dengannya; (3) Annisa tidak merasa terganggu dengan keberadaan wanita lain di rumahnya; (4) Annisa tidak pernah merasa iri dan cemburu; dan (5) Annisa memberikan dukungan moril kepada Kalsum berkenaan dengan perilaku bejad Samsudin.

f.       Mencerminkan pernikahan menjadi sempuna jika segera mempunyai momongan.

“Tidak kesepian nih, Neng Nisa tanpa momongan? Tunggu apalagi, Neng Nisa, segalanya sudah tersedia kan?”
“Kesian bagamana, Mbak Ayu ini? Kan sekarang sudah momongan, sekalipun dari yang lain,” kata Bu Sumi gendut, mengomentari ibu yang lain.
“Tetapi kan beda dengan anak sendiri?”
“Jika tanah tandus dan gersang, ubi pun jadilah dimakan,” kata bu Mila…(h.152)
“Aku takut dan khawatir, Mas. Jika pada saatnya kelak, ternyata aku tak dapat member keturunan bagimu. Apa Mas akan tetap mencintaiku?” (h. 249)
            Kutipan di atas menggambarkan tentang keadaan masyarakat yang memandang bahwa suatu pernikahan dikatakan sempurna jika memiliki momongan. Jika dalam kurun waktu tertentu belum memiliki momongan, hal itu akan menjadi aib bagi keluarga tersebut, selalu menuai sindiran orang sekitar. Bahkan, dengan tidak adanya momongan dapat menjadi badai dalam rumah tangga.

3.      Fungsi Sosial Novel Perempuan Berkalung Sorban
a.       Fungsi Pembaharu atau Pendobrak
Ada beberapa fungsi penbaharu yang terdapat dalam novel Perempuan Berkalung Sorban, antara lain:
1)      Pembaharu dalam dunia pendidikan pesentren. Dalam hal ini Annisa mendobrak kebiasaan di mana seorang santri tidak diperkenankan untuk menyanggah seorang Kyai.
2)      Pembaharu dalam hal kedudukan anak perempuan. Dalam hal ini Annisa menunjukkan bahwa anak perempuan juga bisa melakukan aktivitas yang selama ini dianggap sebagai kegiatan anak laki-laki seperti menunggang kuda.
3)      Pendobrak anggapan bahwa anak perempuan tidak perlu mempunyai pendidikan yang tinggi. Dalam novel ini tokoh Annisa dengan segala upaya berusaha menyelesaikan pendidikan Sarjana.
b.      Fungsi Pendidikan
1)      Novel ini mengajarkan bahwa ajaran agama tidak dapat dipahami hanya secara harfiah.
2)      Dalam rumah tangga seorang suami harus memperlakukan istri sebagai sahabat dan partner kerja dalam kehidupan, bukan sebagai budak atau pembantu yang mengurusi semua keperluan suami dan anak.
3)      Novel ini mengajarkan bahwa segala sesuatu yang dipaksakan akan berdampak tidak baik.
4)      Novel ini mengajarkan bahwa seorang perempuan tidak harus menggantungkan kehidupannya kepada siapa pun termasuk kepada suami. Dia harus bisa tegar dan berdiri di atas kakinya sendiri.

E.     Simpulan
  1.  Novel Perempuan Berkalung Sorban Jogja merupakan novel karangan Abidah El Khalieky yang pernah Pondok Pesantren Putri Modern Persis, Bangil, Pasuruan dan lulus dari jurusan Syarial IAIN Kalijaga, Yogyakarta. Dengan latar belakang demikian, Abidah dengan cermat mampu menuangkan pokok-pokok pikirannya yang melihat banyak hal tentang perempuan yang mesti dirombak dan diperbaiki, baik dalam kehidupannya di rumah, di masyarakat, bahkan di pesantren sekali pun. Hal ini juga tercermin dalam karya-karyanya yang lain baik berupa puisi maupun novel. Namun dalam penulisan novel Perempuan Berkalung Sorban Abidah tidak bekerja sendirian. Ide awal penulisan novel ini dicetuskan oleh YKF (Yayasan Kesejahteraan Fatayat), LSM milik Nahdlatul Ulama Yogyakarta. Selanjutnya, biaya penelitian selama 3 tahun dan penerbitan perdana ditanggung oleh Ford Foundation yang memiliki motto, “Working with Visionaries on the Frontlines of Social Change Worldwide.”  Dapat kita simpulkan, bahwa novel ini jelas mencoba membawa pengaruh terutama dalam tatanan pesantren terutama yang berkaitan dengan persoalan perempuan.
  2. Gambaran masyarakat yang tercermin dalam novel Perempuan Berkalung Sorban  merupakan hasil pengamatan penulis atas segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat. Dalam novel ini bagian-bagian cerita yang menggambarkan bahwa anak perempuan sering persalahkan dan diberlakukan berbeda dengan anak laki-laki. Juga terdapat gambaran hubungan pendidikan dengan tingkah laku seseorang yang kadang tidak berbanding lurus. Di samping itu novel ini juga menggambarkan beberapa budaya yang masih melekat dalam masyarakat seperti budaya perjodohan, bentuk poligami yang tidak lazim, dan kesempurnaan keluarga terciderai tanpa kehadiran momongan.
  3. Novel Perempuan Berkalung Sosial dalam masyarakat memiliki fungsi pembaharu, pendobrak, dan pendidikan. Pembaharu dalam hal-hal yang selama ini tidak diperkenalkan kepada perempuan. Pendobrak sejumlah tatanan yang membatasi ruang dan gerak perempuan. Pendidikan dalam hal bahwa perempuan memerlukan pendidikan sebagaimana halnya laki-laki.



Daftar Pustaka
Endah, “Abidah El Khalieqy: Saya Cinta Kiyai dan Pesantren,” Goodreads Indonesian Discussion, 19 Oktober 2011, 19:00:07 <http: //www.goodreads.com/topic/show/106649-abidah-el-khalieqy-saya-cinta-kyai-dan-pesantren>, hal. 1-4
Endeswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Sastra, Yogyakarta, CAPS, 2003
H.T., Faruk, Sosiologi Sastra Indonesia, Yogyakarta, KMSI Fakultas Sastra UGM, 2005
Jabrohim, Metodologi Penelitian Sastra, Yogyakarta, Haninditha Graha Widia, 2001
Khalieqy, Abidah El, Perempuan Berkalung Sorban, Yograkarta, Arti Bumi Intaran, 2008
Ratna, Nyoman Kutha, Teori Metode dan Teknik Penulisan Sastra. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006






[1] Jabrohim, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta, Haninditha Graha Widia, 2001), h.10
[2] Ibid, h. 59
[3] Nyoman Kutha Ratna, Teori Metode dan Teknik Penulisan Sastra. (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006) h. 335-336.
[4] Suwardi Enderswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta, CAPS, 2003), h.77
[5] Ratna, loc.cit, h. 11
[6] Ibid, h. 332-333
[7] Ibid, h. 11
[8] Enderwara, loc.cit., h. 81
[9] Faruk, H.T., Sosiologi Sastra Indonesia. (Yogyakarta, KMSI Fakultas Sastra UGM, 2005), h. 9
[10] Ibid, h. 4
[11] Jabrohim, loc.cit., h. 170-171
[12] Endah, “Abidah El Khalieqy: Saya Cinta Kiyai dan Pesantren,” Goodreads Indonesian Discussion, 19 Oktober 2011, 19:00:07 < http://www.goodreads.com/topic/show/106649-abidah-el-khalieqy-saya-cinta-kyai-dan-pesantren>, hal. 1
[13] Ibid
[14] Ibid, h. 3
[15] Abidah El Khalieqy, Perempuan Berkalung Sorban, (Yogyakarta, Arti Bumi Intaran, 2008), h. i