A.
Pendahuluan
Sastra
merupakan bentuk kreatif dan produktif dalam menghasilkan sebuah teks yang
memiliki nilai rasa estetis serta mencerminkan realitas sosial kemasyarakatan.
Istilah “sastra” dipakai untuk menyebut gejala budaya yang dapat dijumpai pada
semua masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi, dan keagamaan keberadaannya
tidak merupakan keharusan. Hal ini berarti bahwa sastra merupakan gejala yang
universal.[1]
Sebagai
wujud seni budaya, sastra memiliki dunia sendiri yang merupakan pengejawantahan
kehidupan sebagai hasil pengamatan sastrawan terhadap kehidupan sekitarnya. Oleh
sebab itu, karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil dari
imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di
sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari
kehidupan masyarakat. Pengarang sebagai subjek individual mencoba menghasilkan
pandangan dunianya kepada subjek kolektifnya. Signifikansi yang
dilaborasikan subjek individual terhadap realitas sosial di sekitarnya
menunjukkan sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan masyarakat
tertentu. Keberadaan sastra yang demikian itu, menjadikan sastra dapat diposisikan
sebagai dokumen sosialnya. [2]
Prosa, khususnya novel, dianggap
paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat
dikemukakan, di antaranya: a) novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling
lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah
kemasyarakatan yang paling luas, b) bahasa novel cenderung merupakan bahasa
sehari-hari, bahasa yang paling umum digunakan dalam masyarakat. Oleh karena
novel merupakan genre yang paling sosiologis dan responsif sebab sangat
peka terhadap fluktuasi sosiohistoris.[3]
Sosiologi
sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini
banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin
masyarakat.[4] Sosiologi
sastra diterapkan dalam penelitian ini karena tujuan dari sosiologi sastra
adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan
masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan dalam
hal ini karya sastra dikonstuksikan secara imajinatif, tetapi kerangka
imajinatifnya tidak bisa dipahami di luar kerangka empirisnya dan karya sastra
bukan semata-mata merupakan gejala individual tetapi gejala sosial.[5]
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karya sastra lahir dari latar belakang
dan dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya. Karya sastra
dipersepsikan sebagai ungkapan realitas kehidupan dan konteks penyajiannya
disusun secara terstruktur, menarik dan disusun melalui refleksi pengalaman dan
pengetahuan sehingga merefleksikan kehidupan.
B.
Landasan
Teori
Sosiologi
sastra berkembang dengan pesat sejak penelitian-penelitian dengan memanfaatkan
teori strukturalisme dianggap mengalami kemunduran, stagnasi, bahkan dianggap
sebagai involusi. Analisis strukturalisme dianggap mengabaikan relevansi
masyarakat yang merupakan asal-usulnya. Dipicu oleh kesadaran bahwa karya
sastra harus difungsikan sama dengan aspek-aspek kebudayaan lain maka dilakukan
pengembalian karya sastra di tengah-tengah masyarakat, sebagai bagian yang tak
terpisahkan dengan sistem komunikasi secara keseluruhan.
Ratna
mengemukakan bahwa sastra memiliki
kaitan erat dengan masyarakat sebagai berikut:
a.
Karya sastra ditulis oleh pengarang,
diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek
tersebut adalah anggota masyarakat.
b.
Karya sastra hidup dalam masyarakat,
menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada
gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
c.
Medium karya sastra, baik lisan maupun
tulisan dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah
mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.
d.
Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama,
adat istiadat dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika,
etik, bahkan logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga
aspek tersebut.
e.
Sama dengan masyarakat, karya sastra
adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam
suatu karya.[6]
Tujuan
dari sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam
kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan rekaan tidak berlawanan dengan
kenyataan. Karya sastra jelas dikonstruksikan secara imajinatif, tetapi
kerangka imajinatifnya tidak bisa dipahami di luar kerangka empirisnya. Karya
sastra bukan semata-mata gejala individual tetapi gejala social.[7]
Menurut
menurut Ian Watt sebagaimana disadur
oleh Endeswara, fungsi sosial sastra berkaitan dengan pertanyaan: seberapa jauh
nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sampai seberapa jauh nilai
sastra dipengaruhi oleh nilai sosial. Dalam hal ini ada tiga hal yang perlu
diungkap: (a) sudut pandang kaum romantik yang menganggap sastra sama
derajatnya dengan karya pendeta atau nabi, dalam pandangan ini tercakup wawasan
agar sastra berfungsi sebagai pembaharu atau perombak; (b) sudut pandang bahwa
karya sastra bertugas sebagai penghibur belaka; (c) semacam kompromi dapat
dicapai dengan meminjam slogan klasik sastra harus mengajarkan ke suatu dengan
jalan menghibur.[8]
Wilayah
sosiologi sastra cukup luas. Wellek dan Warren menemukan setidaknya tiga jenis
pendekatan yang berbeda dalam sosiologi sastra, yaitu: (a) sosiologi pengarang
yang memasalahkan tentang status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang
menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra; (b) Sosiologi karya sastra
yang memasalahkan karya sastra itu sendiri; dan (c) sosiologi sastra yang
memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.[9]
Ian
Watt juga menemukan tiga macam pendekatan, yaitu sebagai berikut: (a) konteks
sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya
dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa
mempengaruhi diri pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi
karya sastranya; (b) sastra sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah
sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat, dan
(c) fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai
sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra
dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan
masyarakat bagi pembaca.[10]
Jabrohim memberikan penjelasan yang
lebih rinci tentang pendekatan penelitian sosiologi sastra sebagai berikut:
a. Konteks
sosial sastrawan
Konteks sosial sastrawan berkaitan
dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat
pembaca. Faktor-faktor yang diteliti antara lain adalah: (1) bagaimana
sastrawan mendapatkan pencaharian; (2) profesionalisme dalam kepengarangan; (3)
masyarakat yang dituju oleh sastrawan.
b. Sastra
sebagai cermin masyarakat
Sejauh mana sastra dianggap sebagai
mencerminkan keadaan masyarakat. Kata “cermin” di sini dapat menimbulkan
gambaran yang kabur, dan oleh karena itu sering disalahtafsirkan dan
disalahgunakan. Dalam hubungan ini terutama yang harus mendapatkan perhatian adalah:
(1) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia
ditulis; (2) sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang atau sastrawan
sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya;
(3) genre sastra sering merupakan sikap sosial seluruh kelompok tertentu, dan
bukan sikap sosial seluruh masyarakat; (4) sastra yang berusaha menampilkan
keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya
sebagai cermin masyarakat atau sebaliknya. Oleh sebab itu, pandangan sosial
sastrawan harus dipertimbangkan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin
masyarakat.
c. Fungsi
sosial sastra
Di sini, pendekatan sosiologi sastra berusaha
menjawab pertanyaan seperti “Sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan
nilai sosial?” dan “Sampai seberapa sejauh nilai sosial mempengaruhi nilai
sastra?” Ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu: (1) sudut pandang yang
menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi; (2)
sudut pandang lain yang menganggap bahwa sastra bertugas sebagai penghibur
belaka atau seni untuk seni; dan (3) sudut pandang kompromistis seperti
tergambar dalam slogan “sastra harus mengajar dengan menghibur.”[11]
Dari
berbagai pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra
itu sendiri. Adapun tujuan analisis sosiologi sastra yaitu untuk memaparkan
dengan cermat fungsi dan keterkaitan antarunsur yang membangun sebuah karya
sastra dari aspek kemasyarakatan pengarang, pembaca dan gejala sosial yang ada.
C.
Ringkasan
Novel Perempuan Berkalung Sorban
Awal pagi yang kini mulai berpendar menggantikan malam. Nisa
sedang bermain bersama kakanya Rizal, di tengah perwaan yang tidak begitu
lebat. Nisa yang hendak keluar untuk belajar pacu kuda itu seurius sekali untuk
menatap hari, namun restu orang tua tak kunjung mengijinkan anaknya tersebut
untuk belajar berkuda.
Sepulang di rumah nisa kangsung dipergoki oleh orang tuanya
karena bermain tanpa izin, hingga kakanya Rizal terjatuh kedalam kolam, mau tak
mau tetap nisalah yang terkena dan disalahkan.
Hingga pada suatu hari dimana Nisa sudah mencapai masa
baligh, nisa belajar qir’ah dan
berpacu kuda secara sembunyi-bunyi, belajar qir’ah ke maemunah dan berpacu kuda kepada Lek Khudori, bukan
dia tidak tahu namun bujukan nisa selalu dapat membuatnya melatih wanita yang
beranjak baligh tersebut.
Lek Khudorilah yang mengjari nisa sepeti itu, di masa yang
baligh itu nisa sudah mengalmai rasanya dilemma cinta, nisa sdar jika
mengutarakannya makan aka nada salah paham yang terjadi, nisa akan rindu
terhadap pujianya tiap sore ketika berlatih kuda, rindu memancing bersamanya,
karena kurang lebih 2 minggu lagi Lek Khudori akan pergi ke Kairo, setelah
mendengar kabar itu nisa tak kuat menahan air mata karena akan berpisah,
bersamanya.
Nisa, itulah dia yang akhrinya dia sudah khatam alu-qur’an
dan mendapatkan hadiah kenang-kenangan dari Lek Khudori. Hadiah lukisan dengan
seorang putrid budur menaiki buraq. Di masanya yang baligh ini nisa di
perintahkan oleh orang tuanya untuk mengikuti perintah allah untuk menggunakan
penutup aurat.
Semenjak Lek Khudori nisa enggan untuk menatap dunia, enggan
untuk menerima sinar matahari yang indah, karena 1-1nya pembelaku sudah pergi,
aku rindu dia.
Setelah berminggu-minggu nisa menunggu surat dari Lek Khudori
yang kini tengah menuntut ilmu di al-azhar kairo, akhirnya tiba juga. Namun
begitu indahnya setiap puisi Lek Khudori dimata nisa, hingga nisa sulit untuk
mencari pusisi balasan yang indah dan baik. Karena sangat ingin yang terbaiklah
untuk membalas puisi dari Lek Khudori, nisa nekat bersama aisyah untuk pergi ke
kota mencari buku.
Di kota itu nisa pergi ke took buku al-hikmah dan setelah
dirasa dapat yang di inginkan nisa dan aisyah pergi ke bioskop sebelah, namun
rugi mengunjungi mereka. Mereka di hadang seorang germo yang etngah haus di
tengah fatamorgana, namun untung ada pak tasmin kepala desanya datang dan
membantu menjauhi mereka dari terkaman germo yang tengah mencari mangsa.
Malam mulai datang kembali mencekam. Setelah beberapa hari
dari kejadian tersebut nisa menjalankan aktivitasnya seperti biasanya. Hingga
tiaba pada 1 malam nisa mendengarkan bahwa dia akan di jodohkan dalam usia
belasan tahu. Sungguh bak hantaman godam bagi nisa dia terpanjat dan menangis.
Bertahun-tahun berlalu hingga dia hanya tamat Sd dan langsung
dinikahkan dengan laki-laki bernama Samsudin, tiap malam nisa hanya merintih
karena harus mau mengikuti nafsu dari suaminya itu. Hingga datang pada suatu
hari seorang janda bernama kalsum datang untuk meminta pertanggung jawabannya.
Dan terjadilah poligami antara Samsudin dengan kalsum dan Annisa.
Namun karena perlakuan gila dari Samsudin kedua istri
tersebut sama sekali tidak merasakan keadilan dari Samsudin bahkan hubungan
suami istri pun sering kali tidak normal, dan tidak manusiawi karena melanggar
kebebasan wanita.
Bertahun-tahun kini akhrinya tiba juga Lek Khudori balik ke
kampungnya dan memenamni Annisa yang tengah berada di dalam penderitaan bersama
Samsudin. Namun karena mereka dekat and lebih Nampak seperti orang pacaran
sehingga tak canggung untuk keduanya bermesraan karena pada kenyataannya mereka
adalah saudara.
Ibu Mutmainah tidak pernah tau akan siksaan dari Samsudin
kepada Annisa dan ada 1 waktu dimana semua itu terungkap, karena malunya ibu
Mutmainah menagis sejadi-jadinya.
Karena cerita itu ayah dari Annisa mengalami sakit-sakitan
yang berat. Tiba pada 1 malam Annisa dan keluarga berembuk dan akhrinya merek
lebih memilih untuk menceraikan Annisa dari tangan bejad Samsudin. Dan
terjadilah perceraian yang mengubah status Annisa menjadi janda.
Dukungan-dukungan terus di terima oleh Annisa dari Khudori,
wildan, aisyah teman karibya, orangtuanya bahwa Annisa lebih baik untuk lebih
mengenyam dunia pendidikan.
Setelah hubungan Lek Khudori kian lama kian tercium akhirnya
keluarga pun mengetahuinya dan karena tak ingin timbul fitnah akhirnya
terjadilah pernikahan sederhana antara Annisa dengan Khudori. Dimana pernikahan
itu di awali dari sebuah pertemuan Annisa dengan Khudori di sebuah kosan di
dekat kampus di Yogyakarta. Hari itu sangat indah dimana Annisa di lamar secara
tidak langsung oleh Khudori.
Namun ketika malam pertama tidak terjadi seperti apa ayng
telah terjadi pada malam pertama dengan Samsudin, karena trauma Annisa begitu
hebat akhirnya tidak terjadi hubungan suami istri.
Malam-malam telah berlalu akhirnya pergaulan suami istri yang
didapati dari Khudori terhadap Annisa begitu nikmat dan dapat menghilangkan
semua traumatik dari mantan suaminya Samsudin.
Esok harinya Annisa telah mejadi sosok yang baru, karena
beban yang selama ini telah memikulnya telah bebas, namun karena penghapus tak
selalu bersih menghapus, ingatan tentang Samsudin selalu mengiangi Annisa.
Pernikahan Annisa dan khudhori akhirnya telah terjalin dengan
indah, dimana tak ada kekurangan sama sekali, harta, tauladan, sikap yang baik,
Akhirnya tiba pada suatu hari hubungan suami istri mereka
membuahkan seorang anak yang diberi nama mahbub. Aktivitas mereka sangat indah
karena hari-hari mereka dihiasi oleh seorang anugrah harta terindah dalam dunia
ini.
Waktu adalah jawaban dari semua hal, Khudhori mengalami
sakit-sakitan yang sangat parah, hingga sakitnya itu memanggilnya dari dunia
dan bertemu dengan tuhannya.
D.
Pembahasan
Novel Perempuan Berkalung Sorban
1.
Kehidupan
Sosial Pengarang Novel Perempuan
Berkalung Sorban.
Abidah
El Khalieqy tidak hanya dikenal sebagai penyair, tapi juga novelis yang
produktif. Lima novel telah ditulisnya,
selain buku kumpulan puisi dan kumpulan cerita pendek. Salah satu novelnya,
Geni Jora, memenangi Lomba Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta 2004.
Perempuan kelahiran Jombang, 1 Maret 1965, yang mulai menulis sejak usia 12
tahun ini pernah memperoleh penghargaan seni dari Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (1998). Tahun lalu ia menerima Ikapi dan Balai Bahasa Award.[12]
Melalui
karya-karyanya, istri penyair Hamdy Salad ini menyuarakan persoalan perempuan.
"Dalam benak saya, perempuan di Indonesia masih termarginalkan. Jadi,
menurut saya, kondisi perempuan sudah sangat parah," ujar ibu tiga anak
ini.
Namanya
melambung setelah novelnya, Perempuan
Berkalung Sorban (2001), diangkat ke layar lebar oleh sutradara Hanung
Bramantyo. Apalagi setelah film tersebut menuai kontroversi. Beberapa adegan di
film Perempuan Berkalung Sorban (PBS)
dianggap melecehkan pesantren dan kiai. Namun perempuan yang pernah mengenyam
pendidikan di Pondok Pesantren Putri Modern Persis, Bangil, Pasuruan, Jawa
Timur, dan IAIN Kalijaga, Yogyakarta, ini berpendapat lain. Hal itu justru
menunjukkan kecintaannya terhadap kiai
dan pesantren dengan mengetengahkan kritikan konstruktif.[13]
Perempuan Berkalung Sorban
pada awalnya merupakan ide YKF (Yayasan Kesejahteraan Fatayat), LSM milik
Nahdlatul Ulama Yogyakarta, untuk membuat suatu novel tentang pemberdayaan
perempuan. Novel ini bertujuan mensosialisasi hak-hak reproduksi perempuan yang
sudah diratifikasi oleh PBB. Penulis diminta mengadakan riset tentang hak-hak
reproduksi perempuan selama hampir dua tahun. Riset lapangan untuk memberi
setting tempat dan yang fisik-fisik selama tiga bulan, di Kaliangkrik, Kajoran,
Magelang, Jawa Tengah. Di satu kampung ada banyak pesantren salaf. Lokasinya di
pegunungan. Di situ abidah juga menemukan orang-orang yang naik kuda. Untuk mempertegas karangannya Abidah
mengikuti seminar-seminar yang dilakukan oleh YKF selama hampir dua tahun,
kemudian ia menulis selama sembilan bulan.
Proyek penulisan Novel Berkalung Sorban dibiayai oleh YKF dan Ford
Foundation, sebuah LSM yang bermarkas di New York. Ford Foundation mempunyai
motto, “Working with Visionaries on the
Frontlines of Social Change Worldwide.” YKF dan Ford Foundation telah sering
bekerjasama dalam penerbitan buku atau novel, antara lain, “Pesantren Mengkritisi KB dan Aborsi”, ”
Menghapus Perkawinan Anank, Menolak Ijhar”, “Menolak Mut’ah dan Sirri,
Memberdayakan Perempuan”, “Menghapus Poligami, Mewujudkan Keadilan”, “HIV/AIDS: Pesentren Bilang Bukan Kutukan”,
dan “Ketika Pesantren Membincang Jender.”
Awal-awal kuliah, Abidah aktif di HMI (Himpunan
Mahasiswa Islam) namun tidak tertarik masalah politik. Ketika itu, isu tentang
feminisme yang ditulis dalam novel seperti Perempuan di Titik Nol karya Nawal
El Sadawi dibahas di mana-mana. Ia juga mulai tertarik untuk membahas persoalan
perempuan. Dalam pandangan Abidah, perempuan di Indonesia masih termarginalkan.
Kondisi perempuan sudah sangat parah. Ia sependapat bahwa harus dicari akar
permasalahannya dan disuarakan sekeras-kerasnya. Artinya, harus ada revolusi
pemikiran bahwa ini adalah sesuatu yang sangat mendesak. Selama ini soal
perempuan memang sudah banyak ditulis, soal penderitaan mereka dan
keterpinggiran mereka. Tetapi bagaimana solusi ke depan untuk menyikapi kondisi
seperti ini belum ditulis. Itulah yang melatarbelakangi kenapa Abidah bersedia
menulis Perempuan Berkalung Sorban.
Ia ingin perempuan memiliki kemandirian, perempuan harus menguasai ilmu. Ilmu
pengetahuanlah yang akan menjawab nasib perempuan. Derajat ditentukan dengan
ilmu.[14]
Novel
Perempuan Berkalung Sorban untuk
pertama kali diterbitkan oleh Ford Foundation. Selanjutanya terbitan ke-2
hingga ke-8 Arti Bumi Intaran.[15]
2.
Cerminan
Masyarakat dalam Novel Perempuan
Berkalung Sorban.
Ayah pergi ke kantor
Ibu memasak di dapur
Budi bermain di halaman
Ani mencuci piring
a. Mencerminkan
anak perempuan sering dipersalahkan.
“Kita jaring
betinanya!”, teriak Rizal, kakakku.
“Dia mau
bertelur, jangan diganggu!”, sergahku. [Annisa] (h.2)
Rizal tercebur ke dalam blumbang, dan Annisa
menolongnya.
“Kamu lama
sekali! Kalau saja terlambat sedetik, aku bisa mati. Bodoh!” [Rizal]
“Eh, sudah
ditolong, bukannya terima kasih, malah maki-maki” [Annisa]
“Tetapi janji
ya, nggak bilang sama Bapak. Janji?” [Rizal] (h.4)
Pada saat Rizal dan Annisa sampai di rumah, ayah
mereka mendapati mereka basah kuyup dan tahu mereka pasti melakukan sesuatu
sehingga memarahi mereka. Namun, Rizal menyalahkan Annisa dan Ayah
membenarkannya.
“Bocah
bagus…bocah pinter…anak Bapak, coba sekarang katakana, kemana saja kalian
berpetualang seharian!” tandasnya dengan tegas
“Dia yang
mengajak, Pak,” Rizal mencari alasan dengan menunjuk mukaku.
“Tetapi
kamu mau. Salah sendiri,” aku tak mau
kalah.
“O…jadi rupanya
kamu yang punya inisiatif bocah wedhok. Kamu yang ngajari kakakmu jadi penyelam
seperti ini ya? Kamu yang membujuk kakakmu mengembara?”(h.6)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa anak perempuan
sering dipersalahkan. Pertama, saat Annisa menolong Rizal saat dia tercebur,
Rizal menyalahkannya karena kurang cepat, padahal Annisa sudah berusaha
melarangnya mengejar katak betina. Kedua, ayah menyalahkan Annisa karena Rizal
tercebur tanpa terlebih dahulu berusaha mengetahui duduk persoalannya.
b. Mencerminkan
anak perempuan sering diperlakukan berbeda dari anak laki-laki sehingga anak
perempuan tidak memiliki hak yang sama dengan anak laki-laki.
“Ow…ow…ow…jadi
begitu. Apa Ibu belum mengatakan padamu kalau naik kuda hanya pantas dipelajari
oleh kakakmu Rizal, atau kakakmu Wildan. Kau tahu, mengapa? Sebab kau ini anak
perempuan, Nisa. Nggak pantas, anak perempuan kok naik kuda, pencilakan,
apalagi keluyuran mengelilingi lading, sampai ke blumbang segala. Memalukan!
Kau ini sudah besar masih bodoh juga, hehh!!” Tasbih bapak bergerak lamban,
mengena kepalaku.(h.7)
“Benar, Mbak.
Habis Rizal dan Wildan boleh kembali tidur, sementara Nisa harus membersihkan
tempat tidur dan mambantu ibu memask di dapur. Sementara Rizal dan Wildan masuk
lagi ke kamar, katanya mau belajar, padahal Nisa lihat sendiri mereka kembali
tidur sehabis shalat shubuh.”(h.21)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa anak perempuan
diperlakukan sangat berbeda dari anak laki-laki. Dalam hal ini, anak perempuan
tidak diperkenankan belajar menunggang kuda, dan harus membantu ibu
membersihkan rumah sehabis shalat shubuh. Sementara, hak “istimewa” tidur
setelah shalat shubuh didapat oleh anak laki-laki.
c. Mencerminkan tingkat pendidikan kadang tidak menjamin
seseorang berperilaku baik.
“…Ia seorang
sarjana hukum dan putra seorang kiai ternama. Apalagi yang kurang dari dirinya.
Segalanya ia miliki. Dan ia memang laki-laki yang memikat”. (h.105)
“Hentikan
kelakuanmu! Atau aku pergi dari rumah ini.”
“Waduh, waduh!
Galak amat!” Ia tertawa dan terus tertawa melecehkan.
“Kau pikir,
karena kau suamiku, kau bisa seenaknya memperlakukan aku?”
“Apa yang kau katakana,
Nisa? Aku hanya ingin main-main denganmu.”
“ Main – main?
Permainanmu sangat menyebalkan.”
“ O, yang mana
lebih menyebalkan, permainanku atau nada bicaramu.”
“ Kita lihat
saja nanti.”
Ia membuang puntung rokok dan serta merta
di luar perkiraanku, laki-laki bernama Samsudin itu meraih tubuhku dalam
gendongannya. Lalu membawaku ke kamar dan menidirkanku di atas ranjang.
Kemudian berusaha merayuku dengan suara lelaki di sama kerejaan Majapahit. Lalu
mengguling-gulingkan tubuhku dengan paksa. Dengan paksa pula ia buka bajuku,
dan semua yang menempel di badan. Aku meronta kesakitan tetepi ia kelihatan
semakin buas dan tenaganya semakin lama semakin berlipat-lipat. Matanya
mendelik ke wajahku. Kedua tangannya mencengkeram bahuku sekaligus menekan
kedua lenganku. Beban gajihnya begitu berat menindih tubuhku hingga semuanya
menjadi tak tertahankan. Seperti ada pelulu karet yang menembus badanku.
(h.96-97)
Ia [Samsudin]
mencabut gigi taringnya dari tubuhku, seperti harimau lapar tengah berhadapan
dengan mangsanya. Lalu menggeram untuk kemudian menekan kuat-kuat wajahku di
atas bantal sambil mengeluarkan sumpah serapah tujuh turunan dan kata-kata
makian yang diambil dari kamus kebun binatang. Setelah menampar, mencekik dan
menjambak rambutku dengan penuh kebiadaban, setelah melihat tenagaku lemas tak
berdaya, ia pergi sambil meludahi wajahku berkali-kali. Busuk sekali bau
ludahnya. (h.103)
…Ia [Khudori]
selalu memberiku cerita-cerita yang membesarkan hati. Member semangat untuk
terus belajar sampai mati. “Kau mesti belajar dan mencari ilmu sampai jasadmu
berbaring diantara dua batu nisan,” begitu kata Lek Khudori yang selalu
kuingat. “Tapi jangan juga tergantung pada saya. Kau bisa belajar di mana saja,
dan kapan saja. Kau mesti terus sekolah sampai jadi sarjana.”(h.26)
“Dan siapa
bilang aku [Khudori] melarangmu kuliah.
Justru yang kuinginkan, pendidikanmu jauh lebih tinggi dariku. Jika kau dapat
meraih gelar dkctor, itu adalah sebuah kebanggaan buatku dan anak-anak kita
nanti.” (h.200)
…SetiapMas
Khudori mulai menyibakkan rambutku dan menciumi leherku, tubuhku mengejang dan
keringat dingin mulai mengalir pelan.
“Mengapa harus
takut, sayang. Kita sudah menikah, kan. Apa kau takut padaku dan membayangkan
aku berubah menjadi hantu. Todakkan, Nisa. AKu ini suamimu, Khudori namnya, dan
tidak punya bakat untuk menakutimu.”
“Tidak! Tidak!
Sama sekali tidak, Mas. Bukan itu. Bukan itu yang membuat aku takut.”
“Lalu apa?”
“Mungkin
bayangan itu, Mas.”
“Bayangan.
Bayangan sispa?”
“Samsudin.
Bayangan Samsudin saat memperkosaku, Mas.”
“Oh, Nisa, aku
tahu sekarang.”
Tiba-tiba Mas
Khudori menghentikan semua serbuan mesranya. Lalu bangkit dan berusaha rasa
demam di tubuh.
“Aku bikini
minum, ya…Mau?” (h.218-219).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak
selalu mempunyai garis tegak lurus dengan perilaku seseorang. Dalam novel ini,
kondisi ini diwakili oleh Samsudin dan Khudori. Baik Samsudin maupun Lek
Khudori mempunyai latar pendidikan tinggi. Samsudin memiliki perilaku yang
negatif sementara Lek Khudori mempunyai
perilaku positif. Salah satunya adalah dalam memperlakukan Anisa baik secara
fisik maupun mental. Samsudin selalu merendahkan Annisa dan menganggap Anisa
sebagai budak nafsunya. Sementara, Lek Khudori selalu memotivasi Annisa untuk
terus belajar dan mengejar cita-citanya.
d. Mencerminkan
perjodohan masih terjadi ditengah-tengah masyarakat.
“Tetapi
anak peremouan kan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Sudah cukup jika telah
mengaji dan khatam. Sudah ikut sorogan kitab kuning. Kami juga tidak terlalu
keburu. Ya, mungkin menunggu si Udin wisuda kelak. Yang penting …. Kita sepakat
untuk saling menjaga. Mengenai kapan dilangsungkannya pernikahan, nanti kan
bisa direbuk lagi. Bukankah begitu, Pak Hanan? Kita ini kan sama-sama orang
tua…,” suara lelaki sang tamu mempengaruhi.”
Mendengar
kata-kata itu, darahku berasa beku. Aku bertahan dan berdiam seperti patung.
Rupanya mereka tengah merundingkan sesuatu untuk masa depanku. Alahkah jauhnya
mereka melalui nasibku. (h.90)
Kutipan diatas
menunjukkan bahwa budaya perjodohan masih melekat di tengah-tengah masyarakat
dengan berbagai alasan dan tujuan.
e. Mencerminkan
suatu bentuk poligami yang tidak lazim
…Berkali-kali
Samsudin mencemoohku sebagai perempuan mandul, frigid dan egois. Akupun
mengamininya dan berharap ia menceraikanku secepatnya. Dan pada suatu hari,
ketika ia mengancam akan poligami, akupun mengamininya. Bahkan, aku malah
menyuruhnya untuk membawa seorang perempuan lain ke rumah. Dan akan kusambut
semua itu dengan senyuman serta menyuguhinya makanan sambil mengatakan welcome.
Ahlan wa sahlan. (h.113-114)
…Ia
[Kalsum] pun mulai mengatur menu makanan dan mengubah letak perabotan.
…Mengatur keuangan, mengatur belanja dan segala keperluan, juga keperluanku.
Aku
[Annisa] tak pernah peduli dengan semua itu….Aku pun tak pernah merasa ada
pesaing di sisiku, apalagi memiliki rasa cemburu. (h. 117)
Karena
terharu akan kejujurannya, kupeluk Kalsum dan ia mendekapku seperti seorang ibu
mendekap anaknya yang hilang sekian waktu. Kami berdua sesenggukan meluapkan
keharuan, seakan gunung es yang begitu tinggi telah mencair dan kami berada
dalam kehangatan kasih yang lahir dari sebuah pengertian baru tentang makna dan
warna kehidupan. (h.125)
Kutipan di atas menggambarkan suatu
bentuk poligami yang tidak lazim. Dalam hal ketidaklaziman itu terlihat pada:
(1) Annisa mengizinkan Samsudin untuk berpoligami tanpa beban; (2) Annisa
mengizinkan Samsudin membawa istri mudanya, Kalsum, hidup bersama satu atap
dengannya; (3) Annisa tidak merasa terganggu dengan keberadaan wanita lain di
rumahnya; (4) Annisa tidak pernah merasa iri dan cemburu; dan (5) Annisa
memberikan dukungan moril kepada Kalsum berkenaan dengan perilaku bejad
Samsudin.
f. Mencerminkan
pernikahan menjadi sempuna jika segera mempunyai momongan.
“Tidak
kesepian nih, Neng Nisa tanpa momongan? Tunggu apalagi, Neng Nisa, segalanya
sudah tersedia kan?”
“Kesian
bagamana, Mbak Ayu ini? Kan sekarang sudah momongan, sekalipun dari yang lain,”
kata Bu Sumi gendut, mengomentari ibu yang lain.
“Tetapi
kan beda dengan anak sendiri?”
“Jika
tanah tandus dan gersang, ubi pun jadilah dimakan,” kata bu Mila…(h.152)
“Aku
takut dan khawatir, Mas. Jika pada saatnya kelak, ternyata aku tak dapat member
keturunan bagimu. Apa Mas akan tetap mencintaiku?” (h. 249)
Kutipan di atas menggambarkan
tentang keadaan masyarakat yang memandang bahwa suatu pernikahan dikatakan
sempurna jika memiliki momongan. Jika dalam kurun waktu tertentu belum memiliki
momongan, hal itu akan menjadi aib bagi keluarga tersebut, selalu menuai
sindiran orang sekitar. Bahkan, dengan tidak adanya momongan dapat menjadi
badai dalam rumah tangga.
3. Fungsi
Sosial Novel Perempuan Berkalung Sorban
a. Fungsi
Pembaharu atau Pendobrak
Ada beberapa fungsi penbaharu yang terdapat dalam
novel Perempuan Berkalung Sorban,
antara lain:
1) Pembaharu
dalam dunia pendidikan pesentren. Dalam hal ini Annisa mendobrak kebiasaan di
mana seorang santri tidak diperkenankan untuk menyanggah seorang Kyai.
2) Pembaharu
dalam hal kedudukan anak perempuan. Dalam hal ini Annisa menunjukkan bahwa anak
perempuan juga bisa melakukan aktivitas yang selama ini dianggap sebagai
kegiatan anak laki-laki seperti menunggang kuda.
3) Pendobrak
anggapan bahwa anak perempuan tidak perlu mempunyai pendidikan yang tinggi.
Dalam novel ini tokoh Annisa dengan segala upaya berusaha menyelesaikan
pendidikan Sarjana.
b. Fungsi
Pendidikan
1) Novel
ini mengajarkan bahwa ajaran agama tidak dapat dipahami hanya secara harfiah.
2) Dalam
rumah tangga seorang suami harus memperlakukan istri sebagai sahabat dan
partner kerja dalam kehidupan, bukan sebagai budak atau pembantu yang mengurusi
semua keperluan suami dan anak.
3) Novel
ini mengajarkan bahwa segala sesuatu yang dipaksakan akan berdampak tidak baik.
4) Novel
ini mengajarkan bahwa seorang perempuan tidak harus menggantungkan kehidupannya
kepada siapa pun termasuk kepada suami. Dia harus bisa tegar dan berdiri di
atas kakinya sendiri.
E.
Simpulan
- Novel Perempuan Berkalung Sorban Jogja merupakan novel karangan Abidah El Khalieky yang pernah Pondok Pesantren Putri Modern Persis, Bangil, Pasuruan dan lulus dari jurusan Syarial IAIN Kalijaga, Yogyakarta. Dengan latar belakang demikian, Abidah dengan cermat mampu menuangkan pokok-pokok pikirannya yang melihat banyak hal tentang perempuan yang mesti dirombak dan diperbaiki, baik dalam kehidupannya di rumah, di masyarakat, bahkan di pesantren sekali pun. Hal ini juga tercermin dalam karya-karyanya yang lain baik berupa puisi maupun novel. Namun dalam penulisan novel Perempuan Berkalung Sorban Abidah tidak bekerja sendirian. Ide awal penulisan novel ini dicetuskan oleh YKF (Yayasan Kesejahteraan Fatayat), LSM milik Nahdlatul Ulama Yogyakarta. Selanjutnya, biaya penelitian selama 3 tahun dan penerbitan perdana ditanggung oleh Ford Foundation yang memiliki motto, “Working with Visionaries on the Frontlines of Social Change Worldwide.” Dapat kita simpulkan, bahwa novel ini jelas mencoba membawa pengaruh terutama dalam tatanan pesantren terutama yang berkaitan dengan persoalan perempuan.
- Gambaran masyarakat yang tercermin dalam novel Perempuan Berkalung Sorban merupakan hasil pengamatan penulis atas segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat. Dalam novel ini bagian-bagian cerita yang menggambarkan bahwa anak perempuan sering persalahkan dan diberlakukan berbeda dengan anak laki-laki. Juga terdapat gambaran hubungan pendidikan dengan tingkah laku seseorang yang kadang tidak berbanding lurus. Di samping itu novel ini juga menggambarkan beberapa budaya yang masih melekat dalam masyarakat seperti budaya perjodohan, bentuk poligami yang tidak lazim, dan kesempurnaan keluarga terciderai tanpa kehadiran momongan.
- Novel Perempuan Berkalung Sosial dalam masyarakat memiliki fungsi pembaharu, pendobrak, dan pendidikan. Pembaharu dalam hal-hal yang selama ini tidak diperkenalkan kepada perempuan. Pendobrak sejumlah tatanan yang membatasi ruang dan gerak perempuan. Pendidikan dalam hal bahwa perempuan memerlukan pendidikan sebagaimana halnya laki-laki.
Daftar Pustaka
Endah, “Abidah El Khalieqy: Saya Cinta Kiyai
dan Pesantren,” Goodreads Indonesian
Discussion, 19 Oktober 2011, 19:00:07 <http: //www.goodreads.com/topic/show/106649-abidah-el-khalieqy-saya-cinta-kyai-dan-pesantren>, hal. 1-4
Endeswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Sastra, Yogyakarta, CAPS, 2003
H.T., Faruk, Sosiologi Sastra Indonesia, Yogyakarta, KMSI Fakultas Sastra UGM, 2005
Jabrohim, Metodologi
Penelitian Sastra, Yogyakarta, Haninditha Graha Widia, 2001
Khalieqy, Abidah El, Perempuan Berkalung Sorban, Yograkarta, Arti Bumi Intaran, 2008
Ratna, Nyoman Kutha, Teori Metode dan Teknik Penulisan Sastra. Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2006
[1]
Jabrohim, Metodologi Penelitian Sastra,
(Yogyakarta, Haninditha Graha Widia, 2001), h.10
[2] Ibid, h.
59
[3] Nyoman Kutha Ratna, Teori Metode dan Teknik Penulisan Sastra. (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2006) h. 335-336.
[4] Suwardi
Enderswara, Metodologi Penelitian Sastra,
(Yogyakarta, CAPS, 2003), h.77
[5] Ratna,
loc.cit, h. 11
[6] Ibid, h.
332-333
[7] Ibid, h.
11
[8]
Enderwara, loc.cit., h. 81
[10] Ibid,
h. 4
[11]
Jabrohim, loc.cit., h. 170-171
[12] Endah,
“Abidah El Khalieqy: Saya Cinta Kiyai dan Pesantren,” Goodreads Indonesian Discussion, 19 Oktober 2011, 19:00:07 < http://www.goodreads.com/topic/show/106649-abidah-el-khalieqy-saya-cinta-kyai-dan-pesantren>, hal. 1
[13]
Ibid
[14] Ibid,
h. 3
[15] Abidah
El Khalieqy, Perempuan Berkalung Sorban, (Yogyakarta,
Arti Bumi Intaran, 2008), h. i