Rabu, 18 April 2012

MAHASISWA VS ORDE BARU: Sebuah Memoar Gerakan Konflik di Indonesia

Gelombang tuntutan akan perlunya penataan kembali segala struktur di masyarakat ini menggema di tahun 1998. Sistem yang sentralistik maupun keotoriteran yang dijalankan pemerintah menjadi permasalahan yang kompleks. Akibat dari ini semua maka perlahan mulailah terjadinya tuntutan akan perubahan. Gaung reformasi yang dimotori oleh mahasiswa  menjadi suatu keharusan aspirasi pada waktu itu. Pergeseran akan struktur yang ada terjadi karena timbulnya konflik antara pemerintah dan mahasiswa yang merupakan representasi rakyat pada waktu itu. Jika kita kaitkan dengan pemikiran Dahrendorf, maka kita dapat menganaloikan pemerintah Orba sebagai kelompok superordinan dan mahasiswa sebagai subordinan. Perbedaan akan otoritaslah yang menjadi dasar pendiferensisian kelompok-kelompok ini.
Kedua kelompok ini yaitu Orba (superordinan) dan mahasiswa (subordinan) selalu memiliki kepentingan dikotomi. Pemerintah Orba mencoba mempertahankan segala otoritas yang ada pada dirinya, sementara mahasiswa mwnuntut pelu adanya reformasi maupun suksesi tatanan yang ada. Inilah yang menjadi dasar terbentuknya konflik di kedua belah pihak. Kelompok pemerintah merasa bahwa otoritas yang ada pada dirinya terancam dampak dari suara-suara mahasiswa, sementara itu pengintegrasian nilai-nilai dirasa tidak memungkinkan kembali. Maka terbenturlah dengan jalan konflik. Pemerintah Orba mengerahkan kemampuan wewenangnya baik itu dari segi militer maupun lainnya yang tujuannya demi meredam konflik-konflik yang ada. Baik itu caranya dengan penangkapan dan pengasingan para aktivis, pembubaran demonstrasi, pembredelam media massa dan cara-cara lainnya. Menurut teori Dahrendorf, pemerintah Orba masuk dalam kelompok otoriter dalam menyikapi konflik yang ada. Kelompok ini menghilangkan konflik dengan menghilangkan segala potensi maupun kenyataan konflik yang ada. Mereka cenderung memasung kebebasan demi mencapai tujuannya. Lalu bagaimana dengan kelompok mahasiswa yang dalam hal ini dapat dimasukkan ke dalam kelompok subordinan.
Mahasiswa pada waktu itu telah gerah melihat ketiranian yang ada. Maka dengan upayanya mereka mencoba untuk menggulingkan rezim yang ada dengan melalui jalan konflik. Mereka memilih jalan konflik yang dalam bentuknya berupa demonstrasi bahkan cendernung chaos ini karena jalan inilah yang benar-benar dapat menciptakan perubahan-perubahan yang dinginkan. Jalan diplomasi yang menginginka tercapainya suatu adaptasi maupun integrasi nilai selalu menemui jalan buntu. Pada asalnya gerakan-gerakan mahasiswa yang ada demi menunut reformasi ini merupakan gerakan-gerakan yang berdiri sendiri masing-masing, terpecah-pecah. Satu gerakan belum terikat antara satu dengan yang lainnya. Akan tetapi melalui dinamikanya gerakan ini mulai menyatukan dirinya antara satu dengan yang lain. Mereka semua melihat adanya rasa satu tujuan dan penderitaan. Maka terbentuklah kelompok besar yang bergerak menunutut perubahan. Secara analisis Dahrendorf, pengintegrasian di antara kelompok-kelompok kepentingan itu disebabkan karena adana faktor teknis organisasi serta faktor sosial. Faktor pertama yang wujudnya berupa kesamaan akan ideologi menjadika rasa kesatuuan muncul dan faktor sosial membantu dalam terbentuknya komunikasi aktif di antara organisasi-orgnaisasi yang ada. Yang menarik ada juga faktor politik yang menggerakkan gerakan mahasiswa pada waktu itu. Adanya beberpa kelompok superordnan yang gerah juga dengan pemerintahan yang ada mulai berkoalisasi dengan kelompok subordinan ini. Mereka mencoba terus membuka ruang gerak yang ada guna gerakan mahasiswa ini menjadi benar-benar manifest (nyata). Kaum-kaum intelektual serta cendekiawan pun turut pula bergabung dalam kelompok subordinan ini. Dari sinilha karena terpenuhinya modal sosial, ekonomi dan politik maka gerakan ini mampu menjatuhkan rezim yang ada.
Pada tahun 1998 konflik yang ada antara rezim berkuasa dengan gerakan mahasiswa merupakan suatu konflik yang besar. Bagaimana di berbagi daerah tuntutan akan reformasi terus-terus mengalir. Konflik pu meluas di berbgai sektor dari ekonomi, sosial, politik. Kecamuk sosial dan ekonomi yang ada mendorong konflik menjadi lebih besar. Penjarahan, krisis, harga melambung semakin mebuat banyaknya kelompok-kelompok yang turut terlibat konflik. Dalam perspektif Dahrendof maka koonflik ini telah mencapai intensitas yang cukup tinggi karena tingkat mobilitasnya yang terus meningkat. Kekerasan akibat konflik pu tidak mau kalah juga. Bentuk-bentuk demonstrasi yang berupa menjadi chaos membuktikan bagaimana kekerasan konflik pada waktu itu. Kita ingat bagaimana peristiwa Semanggi serta Tanjung Priuk pada waktu itu yang menelan korban konflik yang cukup banyakserta belum kasus orang hilang. Akan tetapi dari itu semua itulah gambaran memoir konflik pada masa transisi reformasi pada waktu itu. Memoar konflik yang berhasil merubah wajah bangsa Indonesia ke arah demokrasi.